• DISKUSI BERUGAQ INSTITUTE DI UNY

    salah satu agenda diskusi yang diadakan oleh berugaq institute yang lebih konsen terhadap SASAK STUDIES.

  • KAJIAN PENDIDIKAN

    Pendidikan adalah salah satu jalan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimana pendidikan memiliki pengaruh besar terhadap paradigma generasi muda maupun masyarakat dalam melihat realitas sosial yang ada

  • BERUGAK INSTITUTE

    Berugak Institute merupakan wadah yang memiliki warna tersendiri dari setiap warna gerakan sosial lainnya, hal ini didasari atas sikap sadar para pengurus Berugak Institute dalam memandang arus perubahan yang akan terjadi di Lombok, dan miris ketika melihat masyarakat masih terkukung oleh ketidakmampuan bersaing sebagai masyarakat seutuhnya.

  • Slide 4 Title

    This is slide 4 description. Go to Edit HTML and find this content. Replace it your own description.

  • Slide 5 Title

    This is slide 5 description. Go to Edit HTML and find this content. Replace it your own description.

  • Slide 6 Title

    This is slide 6 description. Go to Edit HTML and find this content. Replace it your own description.

Senin, 30 November 2015

Perempuan dalam Kukungan Patriarki

Posted by Unknown On 21.52 | No comments


sumber gambar; lakilakibaru.or.id
oleh; Yayuk Al-Ghazali (Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram)


Kisah Adam dan Hawa dengan segala rumusan yang bisa ditafsirkan bermacam-macam menggambarkan suatu fase dari fase-fase perkembangan manusia dalam meraih pengetahuan secara bertahap dan hubungan pengetahuan tersebut dengan gender dan perempuan adalah, Lebih baik bagi para pemikir dan filosof laki-laki (bila mereka bebas dari cara pandang patriarki) untuk mengetahui bahwa Adam ketika memperoleh pengetahuan yang baik maupun yang jahat dengan cara memakan buah dari suatu pohon, dia sebenarnya tidak “jatuh” melainkan naik dengan kemampuan akal dan kemampuannya dari tingkat hewan. Oleh karena itu Hawa bukanlah penyebab “jatuh”nya Adam melainkan yang menyebabkannya “naik”. Begitu pula seks, bukanlah penyebab “kematian” melainkan yang menyebabkan “kehidupan” serta keberlangsungannya manusia. Dari sini, pandangan dan teori-teori tentang perempua dan seks bisa diubah sehingga kedudukan perempuan bisa diangkat dan seks terlepas dari pemikiran tentang dosa dan kesalahan yang selama ini melekat padanya.
Hanya saja laki-laki mengingkari sejarah, banyak mencurangi hak-hak perempuan dan menempatkan perempuan diposisi yang terhina serta menjadikan kedudukan ini sebagai kehormatan sekaligus agama yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Juga sebagai undang-undang yang menghukum dengan hukuman mati atau penjara bagi siapa saja yang memikirkannya secara objektif.
Kedudukan perempuan yang tinggi didalam masyarakat dan agama sudah cukup  lama dikenal dalam sejarah manusia begitu pula penasaban  anak pada ibunya. perempuan dalam masyarakat matriarki memperoleh kedudukan  dewi dan kedudukan ini tidak dirampas laki-laki kecuali setelah tumbuhnya sistem  patriarki dan penasaban anak pada bapaknya.
Keragaman pendapat tentang sebab-sebab yang menjadikan laki-laki menguasai perempuan dan bukan sebaliknya. Salah satu dari pandangan tersebut  didasarkan pada alasan bahwa perempuan zaman dahulu sibuk melahirkan anak karena zaman menuntut pertambahan keturunan yang besar untuk menggantikan jumlah orang yang meninggal dan untuk mencukupi jumlah tenaga kerja pada lahan pertanian yang baru.
Dengan bertambah banyaknya kepemilikan individu ini, maka terjadilah pembagian kelas dalam masyarakat menjadi tuan dan budak. Hal ini diikuti dengan merosotnya nilai perempuan didalam masyarakat dan keluarga. Laki-laki mulai menguasai perempuan dalam bidang ekonomi, sosial dan agama. Perempuan kehilangan kedudukannya dalam agama dan ritual keagamaan. Laki-laki monopoli urusan keagamaan bagi dirinya sendiri sehingga Tuhan hanyalah milik laki-laki saja sementara kedudukan perempuan merosot kedalam kehidupan keagamaan yang terendah. Laki-laki menjadi kepala keluarga sekaligus pemimpin agama yang mengatur jalannya ritual keagamaan. Dalam masyarakat patriarki ini perempuan sederajat dengan budak yang hidup dan matinya berada ditangan laki-laki. Ia dan anak-anaknya sederajat dengan budak, harta dan tanahnya.
 

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai masyarakat Indonesia berada dalam taraf transisi dan juga dalam proses modernisasi. Masalah nilai-nilai tradisional masih merupakan permasalahan yang belum terselesaikan, dan malah diberbagai masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit dapat diselesaikan.
Salah sebuah masyarakat tradisional yang menjadi bahan perdebatan dan malahan konflik ialah masalah kedudukan dan hak-hak wanita, baik ditengah masyarakat maupun dalam hubungan langsung antara laki-laki dan perempuan secara sosial (kerja, tanggung jawab didepan hukum, dan sebagainya) dan juga pribadi, baik didalam maupun diluar perkawinan. Kita dapat meningat bahwa perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapat kedudukan yang lebih seimbang didalam lembaga perkawinan telah memakan waktu puluhan tahun, dan baru dapat membawa perempuan Indonesia ke Undang-Undang Perkawinan yang beberapa tahun lampau ini telah diundangkan. Meskipun demikian, kita masih dapat melihat bahwa, isteri masih belum sepenuhnya dapat dilindungi dari poligami tanpa persetujuannya.
Malahan kita melihat adanya organisasi wanita yang kedudukan setiap perempuan didalamnya masih tergantung seratus persen dari kedudukan hirarki suaminya didalam birokrasi atau lembaga Negara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia masih harus memperjuangkan haknya lebih banyak lagi, sebelum dia benar-benar menjadi oknum mandiri bersama lelaki didalam masyarakat kita. Dibidang pemburuan masih banyak keluhan mengenai kurang terjaminnya hak-hak perempuan. Sebuah contoh yang mudah iyalah nasib pembantu rumah tangga (yang sebagian besar adalah perempuan) yang setelah hampir setengah abad Indonesia merdeka masih belum dapat pengaturan hukum yang layak, yang menjamin hak-hak sebagai pekerja. Banyak pembantu rumah tangga bekerja tanpa jam kerja praktis nasib mereka sepenuhnya ditangan majikan, apakah jika mereka sakit akan diberikan rawatan dan santunan kerja yang wajar? Atau jika mereka sedang melakukan pekerjaan mendapat kecelakaan, apakah ada asuransi atau jaminan ganti rugi perawatan yang wajar dan bagaimana pula dihari tua mereka?
Kepincangan-kepincangan antara perempuan dan laki-laki masih cukup banyak terdapat dimasyarakat yang sedang berkembang dengan berbagai perbedaan taraf kepincangan negeri-negeri arab terkenal sebagai masyarakat yang kedudukan perempuannya dianggap amat terbelakang jika dibandingkan dengan hasil-hasil perjuangan persamaan kedudukan dan hak antara perempuan dan laki-laki yang telah tercapai, tidak saja dinegeri-negeri barat tetapi juga dibanyak masyarakat lain seperti negeri di Asia dan Amerika Selatan.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa Yang Menjadi Benih Matriarki Di Ranah Patriarki?
2.      Bagaimana Praktik “Maskulinisasi Budaya” Perspektif Gender Dan Studi Wanita?
3.      Bagaimana Perempuan Sebagai Simbol Dan Gerakan Perempuan?
4.      Seperti Apa Peranan Dan Partisipasi Sosial Politik Perempuan Dalam Perspektif Islam?

C.  Manfaat
Penulisan karya tulis ini dikarenakan sebagai penunjang kreatifitas dan penambahan wawasan penulis. Dan penulis berharap karya tulis ilmiah ini bisa bermanfaat kepada pembaca terutama orang banyak. Karena sangat penting sekali isi dari tulisan ini kepada orang lain karena membahas tentang kesetaraan kedudukan kita sebagai manusia.
D.   Tujuan
Penulisan dari karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk:
a.     Memberikan wawasan lebih luas kepada pembaca tentang kukungan yang masih dilakukan kaum laki-laki kepada perempuan
b.     Untuk mengetahui sejarah atau benih dari patriarki dan matriarki tersebut
c.     Untuk mengetahui apa yang menjadi hakikat laki-laki dan perempuan
d.     Untuk mengetahui bagaimana praktek budaya maskulin dalam masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN


1.  Benih Matriarki Diranah Patriarki

Patriaki merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan mebenarkan predominasi pria, menimbulkan pemusatan kekuasaan privilase ditangan kaum pria, dan mengakibatkan sontrol dan subordinasi wanita, menciptakan ketimpangan sosial antaraseks.[1]
Dengan mempelajari sejarah beberapa suku di Afrika bisa dijelaskan bahwa kepemimpinan perpindaha sistem matriarkal menjadi sistem patriarkat berlangsung secara bertahap dan melalui kurun waktu yang tidak sedikit sebagaimana yang terjadi pada sejarah mesir kuno. Suku Astiansi adalah salah satu contoh yang paling jelas untuk masyarakat yang dipimpin oleh seorang perempuan dalam masa peralihan karna mengikuti aturan perkawinan dari luar akan tetapi nasab mengalir melalui ibu. Perempuan menikmati kedudukan yang tinggi dan wibawa yang besar didalam kabilah karena perempuan adalah ibunda ratu. Akan tetapi suku ini sedikit demi sedikit berubah dari masyarakat yang dipimpin oleh seorang perempuan yang menjadi masyarakat yang dikuasai oleh laki-laki. Hal itu erat hubungannya dengan kepemilikan laki-laki atas tanah dan usahanya untuk menguasai anaknya sehingga terjadilah perubahan sistem dalam perkawinan dan nasab dimana laki-laki mulai menjadi pemimpin.[2]
Ada juga suku Afrika yang berdiri diatas batas yang memisahkan dua sistem matriarki dan patriarki seperti suku Yaku di Tenggara Nigeria dan suku Aniaro di Pegunungan Nob di Kota Kardavan. Dalam kedua suku ini, laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja diladang dan sama-sama pula dalam memperoleh makanan. Oleh karena itu anak-anak dinasabkan kepada ibu dan bapak sekaligus.
Kemudian laki-laki mulai melepaskan diri dari kekuasaan perempuan dan memaksanya untuk tinggal dirumahnya setelah perkawinan. Untuk memiliki mesin produksi yaitu perempuan dan tanah, maka ditetapkanlah pewarisan perempuan dari diri keanaknya sebagaimana anak laki-laki mewarisi saudaranya yang perempuan. Demikianlah perubahan yang terjadi didalam suku yang matriarkat.
Diselatan India terdapat pula sebagian daerah yang menganut sistem matriarki yaitu wilayah Kerola, dimana kedudukan perempuan sangat tinggi dan amat dinasabkan kepadanya. Disana juga terdapat suku-suku yang mengalami proses peralihan dari sistem matriarki kesistem patriarkat. Sangat jelas disana bagaimana laki-laki ingin menguasai seluruh alat produksi dan bagaimana pula mereka menguasai gudang keagamaan dan ketuhanan serta upacara-upacara keagamaan. Padahal sebelumnya perempuan ikut serta dalam menjalankan dan menjadi pemimpin dari ritual-ritual keagamaan.[3]
Dengan mempelajari kehidupan suku-suku ini, diketahui bahwa anak dinasabkan pada ibunya karena ibu menikah dengan beberapa laki-laki sehingga bapak anak tersebut sudah tidak diketahui lagi lantaran banyaknya. Meskipun ibu sebagai kepala keluarga dan ia pula yang memberi nafkah suami dan anak-anaknya, akan tetapi kepala suku mulai meletakkan undang-undang dan aturan-aturan tertentu yang mereka sebut berasal dari Dewi Shifa dan dimana tertulis bahwa laki-laki adakah penguasa dan ialah yang mengekuarkan keputusan-keputusan serta membagikan rizki kepada manusia. Dengan mengatas namakan pada undang-undang tersebut, laki-laki mulai menguasai upah yang dihasilkan oleh perempuan dan mengangkat dirinya sebagai kepala keluarga sehingga perempuan hanya menjadi buruh yang bekerja dibawah perintah laki-laki. Sebagian laki-laki mulai menguasai para pekerja perempuan dengan memanfaatkan undang-undang ini dan sebagian yang lain mulai menasabkan anak-anak pada dirinya dan mewajibkan perempuan hanya memiliki satu suami agar bapak anaknya bisa diketahui.
Suku-suku ini dianggap sebagai suku pertengahan dalam proses peralihan antara sebagian sisa masyarakat matriarki seperti di Kerola, sebelah Selatan India, menuju masyarakat patriarki yang menguasai wilayah-wilayah utara Indisa, atau bisa juga dianggapa sebagi suku-suku dalam proses perpindahan dari masyarakat lama yang dipimpin oleh perempuan kepada masyarakat baru yang dikuasai oleh laki-laki. Sangat jelas bahwa laki-laki tidak bisa lepas kekuasaan perempuan kecuali dengan cara ekonomi dan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan menguasai agama dengan cara membuat undang-undang yang diprogramkan berasal dari Tuhan. Mereka juga memonopoli Tuhan dan tempat ibadah yang khusus untuk laki-laki dan melarang masuknya perempuan kedalam tempat-tempat tersebut. Padahal dahulu, perempuanlah yang memiliki kemampuan untuk menciptakan kehidupan sedang laki-laki tidak memilikinya. Perempuan zaman dahulu juga tampak lebih kuat dibanding laki-laki didalam bidang-bidang kehidupan lain selain melahirkan anak.

2.  Membongkar Praktik “Maskulinisasi Budaya” Perspektif Gender Dan Studi Wanita
Tak pelak lagi, bidang studi perempuan telah membidani lahirnya konsep Gender, istilah gender yang dahulu hanya digunakan dalam konteks studi bahasa, kini telah memperoleh arti yang sama sekali dalam studi akademis tentang perempuan.[4] Berbagai peristiwa mutakhir seputar dunia perempuan diberbagai belahan bumi telah menyebabkan masyarakat penelitian dibidang ini membutuhkan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan. Paling tidak ada beberapa masukan konsep gender dalam studi perempuan ini. Pertama, ketidak puasan dengan gagasan stratis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan perempuan menunjuk kepada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti laki-laki dan perempuan dalam berbagai kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori laki-laki dan perempuan merupakan konstruksi sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan.[5]
Karenanya, memandang perempuan dan pembangunan dari sudut pandang gender mendapat positif; memperdalam pengertian kita tentang penyebab-penyebab perbedaan atau ketidaksamaan berkelanjutan yang terdapat antara laki-laki dan perempuan serta membantu mencari strategi-strategi yang baru dan bersifat lebih efektif untuk menanggulanginya.
Disinilah kita melihat betapa efektif gender senantiasa dipertimbangkan dalam kewajiban perempuan dan pembangunan. Gender dipandang sebagai konstruksi sosial dan kodifikasi perbedaan antar seks, konsep ini menunjukkan pada hubungan social antara wanita dan laki-laki. Gender merupakan rekayasa sosial, tidak memiliki identitas berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[6]
Di Indonesi khususnya dilingkungan budaya jawa, kaum perempuan yang belum sanggup mengembangan mentalitas kemandiriannya dan untuk keluar dari seluruh rangkaiannya dominasi yang membelenggunya ternyata perannya masih saja ditemukan sistem kekuasaan Feodal aristokratik. Budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan perempuan sebagai kanca winking (teman dibelakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang berkembang dibawah ilham “halus-kasar” yang secara tegar menjelajahi semua sistem dalam masyarakat jawa. Sistem kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan perempuan untuk memiliki peran atau rule menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” didalam rumah.[7]
Belum lagi penentuan peran semacam itu diubah, perempuanpun masih hidup dalam sosialisasi yang semakin mengukuhkan citra bakunya. Konsep yang mempercayai bahwa kodrat perempuan sebagai makhluk dengan tugas utama (dan mulia) sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, lebih emosional dan fisiknya kurang kuat, menurut para ahli justru ikut mempertahankan kebudayaan gender dalam masyarakat. Meskipun tidak sedikit data disuguhkan untuk menumbangkan asumsi ini, tapi kebudayaan seperti ini terus berlangsung. Ideology domestisitas ataupun domestikasiwanita ternyata tidak hanya melemparkan wanita kedunia dapur, tapi justru dunia dapur kini telah dibawa kembali kedunia public. Sayangnya masuknya wanita kedunia public ini baru lebih banyak menunjukkan keperkasaan media khususnya iklan yang justru dalam perkembangan teknologi informasi lebih menjadi bagian penting dari proyek domestikasi ditingkat simbolik.
Dari contoh singkat ini, kita bisa melihat bahwa konsep ideologi gender dan seksualitas memang muncul dari konstruksi budaya dan berbeda dari satu budaya dengan budaya lain.[8] konsep gender sebenarnya muncul pada tahun 1980-an sebagai model feminis dominan.[9] Joan scoot, seorang sejarahwan, mendifinikan gender sebagai, “a counstitutive element of social relationships based on perceived differences between the sexes, and a primary way of signifying relationships of power”. Teori gender memfokuskan pada bagaimana perilaku dan peran tertentu diberikan makna-makna yang digenderkan, bagaimana para buruh dibagi-bagi dalam menekspresikan perbedaan gender secara simbolik, dan bagaimana struktur-struktur  social yang berbeda, bukan hanya keluarga memasukkan nilai-nilai gender dan menyampaikan manfaat gender. Sementara model peran seks mengasumsikan suatu pengemasan struktur, perilaku, dan sikap-sikap tertentu, model gender menganalisis konstruksi kemasan-kemasan seperti itu. Konsekuensinya perspektif gender secara stimultan menekan analisis pada level-level simbolik, struktural, ideologis dan material, internasional dan institusional.[10]

3.    Perempuan Sebagai Simbol Dan Gerakan Perempuan
Perempuan tidak pernah mempunyai relasi  yang mudah dengan nasionalisme. Meskipun mereka mengalami penderitaan dibawah penindasan kolonialisme dan rasisme, dalam narasi tentang nasionalisme mereka sering diperlakukan tidak lebih sebagai “simbol” pergerakan bangsa dan bukanya sebagai partisipan aktif dalam gerakan nasionalisme untuk mengakhiri kolonialisme dan rasisme.[11]
Apabila dimensi perempuan disertakan dalam narasi nasionalisme akan tampak bahwa partisipasi perempuan dalam perjuangan kemerdekaan adalah sangat penting. Mereka terlibat dalam bermacam-macam aktifitas gerakan Indonesia, baik didalam maupun diluar rumah.[12] untuk kasus Indonesia, setiap partai yang menganut paham nasionalisme dan organisasi organisasi politik lainnya dalam periode penjajahan belanda selalu berusaha membangun organisasi perempuannya sendiri. Hal ini dilakukan oleh organisasi nasionalis, islam, dan juga organisasi kiri atau sosiolis.[13] Organisasi perempuan pertama di Indonesia, Poetri Mandalika, yang berdiri tahun 1912 misalnya berhubungan dengan gerakan nasionalisme Boedi Oetomo.
Sebelum organisasi nasionalis Boedi Oetomo didirikan, Kartini sendiri yang dikenal sebagai pelopor perjuangan emansipasi perempuan Indonesia, sering menemukan ide-idenya yang berdimensi nasionalis. Misalnya ketika ia mendapat  bahwa pendidikan untuk perempuan merupakan salah satu dari kondisi yang paling penting untuk mengangkat derajat bangsanya, karena ibu-ibu yang terdidik akan bisa membesarkan anak-anak mereka dengan lebih baik.[14]
4.    Peranan Dan Partisipasi Sosial Politik Perempuan Dalam Perspektif Islam
Masih ada kesenjangan antara cita, ideal dan relita kultural kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, upaya untuk menghilangkan atau mengurangi adanya kesenjangan tersebut, adalah pertama, melakukan dekonstruksi atau rekonstruksi fiqih perempuan, yang notabene diformulasikan oleh kebanyakan ahli fiqih yang pada umumnya laki-laki. Tentu saja, dalam menyikapi fiqih pun, dalam konteks ini menjadi wacana kontroversial. Artinya, tidak semua fiqih memiliki corak misogenik dan segregatif. Dengan kata lain, telah banyak bermunculan adanya kesadaran yang tidak sama sekali baru seperti hanafi, ibnu jarir al tahbari, Muhammad al-ghazali, dan Mahmud syayaltut yang berpendapat bahwa pada perinsipnya antara laki-laki dan perempuan memiliki peranan dan partisipasi sosial politik yang sama.[15]
Karena wacana kontropersial macam ini “selamanya” akan tetap ada, maka diperlukan adanya keberanian untuk melakukan pemihakan secara konsepsional, bahwa pencitraan streotipe perempuan yang segregatif (subordinatif) dan misogenik, perlu dieliminir.
Persoalan sekarang adalah terletak pada kita untuk merubah kultur dan melakukan reorientasi khususnya kaum perempuan sendiri. Sebab harus juga diakui, disatu sisi sekelompok masyarakat tertentu memperjuangkan adanya kemitra sejajaran berhadapan dengan kebijakan atau kultur sekelompok masyarakat lainnya yang mesoginik.
Apabila kita memperhatikan informasi dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menentukan adanya perbedaan perilaku terhadap laki-laki dan perempuan. Seperti saksi dalam muamalah, hutang piutang dan lain-lain. Tetapi laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama,[16] seperti juga dijelaskan dalam Al-Qur’an  surat Al-Hujarat: 13 yang artinya:
“hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertakwa”. (QS. Al-Hujarat:13).







BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Patriaki merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan mebenarkan predominasi pria, menimbulkan pemusatan kekuasaan privilase ditangan kaum pria, dan mengakibatkan sontrol dan subordinasi wanita, menciptakan ketimpangan sosial antaraseks.
Perempuanpun masih hidup dalam sosialisasi yang semakin mengukuhkan citra bakunya. Konsep yang mempercayai bahwa kodrat perempuan sebagai makhluk dengan tugas utama (dan mulia) sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, lebih emosional dan fisiknya kurang kuat, menurut para ahli justru ikut mempertahankan kebudayaan gender dalam masyarakat. Meskipun tidak sedikit data disuguhkan untuk menumbangkan asumsi ini, tapi kebudayaan seperti ini terus berlangsung. Ideology domestisitas ataupun domestikasiwanita ternyata tidak hanya melemparkan wanita kedunia dapur, tapi justru dunia dapur kini telah dibawa kembali kedunia publik.
Dengan mengatas namakan pada undang-undang tersebut, laki-laki mulai menguasai upah yang dihasilkan oleh perempuan dan mengangkat dirinya sebagai kepala keluarga sehingga perempuan hanya menjadi buruh yang bekerja dibawah perintah laki-laki. Sebagian laki-laki mulai menguasai para pekerja perempuan dengan memanfaatkan undang-undang ini dan sebagian yang lain mulai menasabkan anak-anak pada dirinya dan mewajibkan perempuan hanya memiliki satu suami agar bapak anaknya bisa diketahui.



B.    Saran
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Ia diberikan salah satunya akal sebagai anugrah yang paling sempurna, karena tanpa akal sendiri manusia akan seperti hewan yang tidak akan membedakan antara baik dan buruknya sesuatu itu.
Pada hakikatnya manusia mempunyai hakikat yang sama di pandangan Allah, hanya saja yang membedakannya hanyalah iman dan ketakwaannya saja. Oleh karena itu sebagai manusia yang sempurna tak patut kita menyombongkan diri kepada makhluk-makhluk lain apalagi dengan sesama manusia.
Gender pada dasarnya merupakan kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan, dimana konsep patriarki tidak seharusnya dipakai dalam bermasyarakat maupun dalam aspek lain. Karena perempuan juga mempunyai harkat dan martabat yang tinggi, bukan hanya didalam rumah saja.
Perempuan memiliki kebebasan untuk berekspresi di dunia karir dan tidak hanya berpatokan dengan ketentuan yang diterapkan oleh laki-laki. perempuan yang setelah dia menikah akan selalu terkekang apabila laki-laki tidak mengizinkan untuk menjadi eksis diluar rumah.
Emansipasi wanita sangatlah berpengaruh pada harkat dan martabat perempuan, namun kebanyakan sekarang ini masih belum banyak diterapkan didalam masyarakat itu sendiri.




Daftar Pustaka
Mary Jhon Mananzen, “Feminine Socialization: Women As Victims And Collaborators” Dalam Concilium,1, 1994, Hal. 44-52

Nawal El Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, Pustaka Pelajar:2003. Hal. 16-28

Nawal el Saadawi, Perempuan Dititik Nol, Yayasan Obor Indonesia:1983

Jhon Fiske, Inroduction to Communication Studies, London & New York: Routledge,1990, Hal. 172
Sita van Bemmeler, Gender dan Pembangunan, Apakah yang Baru?, Jakarta:LIPI:1993, Hal.171
Lihat Kompas, Kesetaraan Sama Dengan Pembebasan, 3 September 1995

Umar Kayam, “Peran Wanita Ditentukan System Kekuasaan”, Kompas, 23 Oktober 1995

Evelyn Blackwood, “Sexuality And Gender In Certain Native American Tribes:The Case Of Cross-Gender Female”, Feminist Frontiers III, Hal.140

Myra Marx Ferre, “Feminism And Family Research”, Feminist Frontiers III (New York, 1993) Hal.239

Seperti Dikutip Dalam Myra Marx Ferree,  Ibid.

Buku Karya Betty Friedan, “Gerakan Feminism”, Norton, New York, 1986.

Rana F.Rakow, “Feminist Perspective On Popular Culture”, California, London, New Delhi,1990

Lihat Makalah Thamrin Amal Tomagola, “Majalah Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Sosiologi Media”, 7-9 Desember 1992.

Ashadi Siregar, “Analisis Dengan Perspektif Gender Atas Majalah Wanita Di Indonesia”. Yogyakarta: Fisipol, Ugm,1991

Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual Dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial”, Pustaka Pelajar: 2004. Hal.71

Muhammad Rasyid Ridha, “Tafsir Al Manar, Jus IV, Kairo: Al-Manar, 1367. Hal. 330


[1] Mary Jhon Mananzen, “Feminine Socialization: Women As Victims And Collaborators” Dalam Concilium,1, 1994, Hal. 44-52
[2] Nawal El Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan, Pustaka Pelajar:2003. Hal. 16-28
[3] Nawal el Saadawi, Perempuan Dititik Nol, Yayasan Obor Indonesia:1983
[4] Jhon Fiske, Inroduction to Communication Studies, London & New York: Routledge,1990, Hal. 172
[5] Sita van Bemmeler, Gender dan Pembangunan, Apakah yang Baru?, Jakarta:LIPI:1993, Hal.171
[6] Lihat Kompas, Kesetaraan Sama Dengan Pembebasan, 3 September 1995
[7] Umar Kayam, “Peran Wanita Ditentukan Sistem Kekuasaan”, Kompas, 23 Oktober 1995
[8] Evelyn Blackwood, “Sexuality And Gender In Certain Native American Tribes:The Case Of Cross-Gender Female”, Feminist Frontiers III, Hal.140
[9] Myra Marx Ferre, “Feminism And Family Research”, Feminist Frontiers III (New York, 1993) Hal.239
[10] Seperti Dikutip Dalam Myra Marx Ferree,  Ibid.
[11]Buku Karya Betty Friedan, “Gerakan Feminism”, Norton, New York, 1986.
[12] Rana F.Rakow, “Feminist Perspective On Popular Culture”, California, London, New Delhi,1990
[13] Lihat Makalah Thamrin Amal Tomagola, “Majalah Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Sosiologi Media”, 7-9 Desember 1992.
[14] Ashadi Siregar, “Analisis Dengan Perspektif Gender Atas Majalah Wanita Di Indonesia”. Yogyakarta: Fisipol, Ugm,1991
[15] Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual Dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial”, Pustaka Pelajar: 2004. Hal.71
[16] Muhammad Rasyid Ridha, “Tafsir Al Manar, Jus IV, Kairo: Al-Manar, 1367. Hal. 330

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this