Oleh;
Rohani Inta Dewi
I.
Pendahuluan
Perempuan adalah
makhluk tuhan yang paling sexy, exotic, dan selalu menjadi hal yang menarik
untuk di bahas dari ujung rambut sampai ujung kaki khususnya oleh kaum adam.
Namun menariknya perempuan untuk di bahas oleh para kaum adam pada umumnya tidak
berbanding lurus dengan apa yang orang-orang atau masyarakat konstruksikan
terhadap makhluk tuhan yang bernama perempuan
ini. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai stereotype yang melekat pada
perempuan misalnya bahwa perempuan itu tempatnya hanya di kasur, dapur, dan
sumur yang berarti bahwa perempuan selalu dilekatkan dengan peran domestik.
Kemudian secara sifat perempuan dilekatkan sebagai makhluk yang cengeng, lemah,
Berbeda dengan laki-laki yang memiliki
peran di ranah publik dimana mereka dikatakan sebagai pemimpin, kuat, tegar,
ahli waris, dll. hal tersebut seolah-olah menvalidkan bahwa jenis kelamin
secara biologis sudah menunjukkan siapa orang tersebut baik laki-laki maupun
perempuan dan sudah dianggap sebagai hal yang kodrati dan tidak mau kompromi dengan jenis kelamin
secara gender.
Fenomena tersebut
diakibatkan oleh pemahaman masyarakat akibat tercekoki dengan
konstruksi-konstruksi yang sudah lama dan mengakar pada suatu masyarakat, suku,
agama atau etnic tertentu terkait sex
dan gender. Perbincangan masalah gender baik di dalam forum yang berisikan
perempuan saja maupun forum yang melibatkan laki-laki dan perempuan seringkali menimbulkan suasana yang
panas “hot” bahkan konfrontatif. Hal
tersebut disebabkan Karena adanya kerancuan pendapat terkait sex dan gender
yang dimana berbicara tentang gender dianggap hanya berbicara tentang persoalan
perempuan saja padahal tidak demikian, gender adalah problem bersama laki-laki
dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis
kelamin tersebut, baik dalam kehidupan di ranah domestik maupun publik.[1]
Kesalahpahaman
masyarakat terhadap kedua istilah yang secara konseptual maupun implikasinya
sangat berbeda tersebut, disebabkan oleh beberapa hal:[2]
pertama, istilah gender yang tergolong bahasa asing bukanlah bahasa baku yang
muncul dalm kosakata kamus bahasa Indonesia, namun dari kosakata bahasa inggris
gender yang berarti jenis kelamin.
Kedua, fenomena dan problem gender dianggap sebagai problem yang tidak ada di
sini tetapi hanya ada “di sana”. Padahal sesungguhnya fenomena gender terdapt
di sekitar kita, baik fenomena keadilan maupun ketidakadilan gender. Ketiga,
kondisi di atas mengakibatkan tidak adanya sensitivitas baik pada laki-laki
maupun perempuan sendiri terhadap fenomena ketidak adilan gender yang terjadi,
baik dilingkungan sekitar maupun terhadap dirinya sendiri. Keempat, rendahnya
daya asertivitas terhadap persoalan gender, sehingga perempuan terutama merasa
“kurang mampu” menyuarakan problemnya, baik kepada sesama perempuan maupun
kepada laki-laki. Oleh karena itu mutlak diperlukan perjuangan melawan
ketidakadilan gender, yang membuat perempuan mampu mendialogkan pendapat dengan
self evidence (penuh percaya diri)
tanpa melanggar hak orang lain.
Fenomena-fenomena
tersebut juga terjadi dan dialami oleh perempuan
sasak baik dari permasalahan stratifikasi sosial, perkawinan, pendidikan,
dan peluang mengakses ranah publik dll.
Dimana hal tersebut yang notabenenya tumbuh dan berkembang dalam sitem
patriarkhi yang secara terus menerus mengakar dan terjadi melalui proses yang
sangat panjang dan beragam yang kemudian mengkonstrukikannya seolah-olah
menjadi sesuatu hal yang kodrati (given)
baik di ranah domestik maupun publik. Sehingga muncul pertanyaan dari penulis
yaitu bisakah perempuan sasak merekonstruksi konstruksi sosial yang membuat
dirinya dilemma dan tak berdaya dengan aturan adat istiadat baik dari kalangan
sasak konservatif maupun sasak kontemporer?.
II.
Klarifikasi
Terminlogis: Sex Versus Gender
Klarifikasi
terminlogi perlu dilakukan terutama pada wilayah pemaknaan atas dua kata utama
sex dan gender. Sex mengacu pada pelabelan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan karena hal
tersebut bersifat kodrati atau pemberian Tuhan. Dalam label ini misalnya,
perempuan berbeda secara mendasar dengan laki-laki terutama dalam hal
menstruasi, menyusui, melahirkan, mengandung. Ataupun laki-laki secara fisik
memiliki jakun, beralat vital penis dengan sperma sebagai bekal reproduksinya
yang tidak dimiliki perempuan. Dengan kata lain, seks mengacu pada jenis
kelamin yang bersifat bilogis, alamiah, kodrati dan karenanya tak bisa diubah
dalam kondisi dan situasi serta budaya masyarakat manapun, sehingga seks tidak
mengenal pembatasan ruang dan waktu.
Sementara itu,
gender mengacu pada pelabelan yang bisa dipertukarkan antara laki-laki dan
perempuan, karena definisi kelamin yang disematkan merupakan produk dari
kategori-kategoei soiologis yang ada disatu masyarakat. Misalnya dimilikinya sifat
pemarah yang tidak saja menjadi monopoli kaum laki-laki namun juga perempuan.
Proses definisi bagi label-label gender ini berjalan seiring dengan reproduksi
kebudayaan di masyarakat tertentu, yang berarti juga menyediakan ranah
perbedaan antara satu masyarakat dengan lainnya. Bisa saja di masa lalu
perempuan sasak menduduki fungsi
sebagai ibu rumah tangga berbeda dengan perempuan Padang sebagai pencari
nafkah. Tapi hal tersebut mungkin saja berbeda saat ini dengan kata lain
definisi gender dideterminasikan oleh proses-proses sosial di satu masyarakat
yang menyertakan di dalamnya sistem nilai, pandangan hidup, ataupun norma yang berlaku
di masyarakat tersebut.
Dari sini
perbedaan mendasar atas kedua definisi kelamin dalam seks dan gender
menunjukkan beberapa perbedaan. Seks mengacu pada kondisi-kondis biologis,
diterima sebagai sesuatu yang bersifat given, dan karenanya tidak bia dirubah.
Sementara jenis kelamin gender merujuk pada konstruksi sosiologis satu
kebudayaan masyarakat dengan segenap sistem yang dimilikinya, tidak dimiliki
sejak lahir, dan karenanya bisa diubah. Konsepsi-konsepsi ini perlu dipahami
lebih sebagai upaya untuk menghindarkan diri pada keterjebakan kategoris dalam
menelusuri akar-akar ketidaksetaraan gender (gender inequality) yang ada di satu masyarakat. Hal lain juga
penting dalam kerangka ini adalah upaya untuk membedah tingkat kemapanan
realitas perbedaan peran-peran laki-laki dan perempuan. Dengan demikian
dimungkinkan tampilnya satu gerak analisis yang menembus realitas (beyond reality) yang seringkali
mengusung selubung-selubung ideologis tertentu yang pada kelanjutannya harus
kita bongkar untuk menyajikan satu fakta perbedaan yang nuchter, indigenous, dan asli. Pembongkaran inilah yang kemudian
meniscayakan dimilikinya kerangka operasional yang jelas untuk melakukan
“materialisasi” kerangka normatif yang ada. Maka melalui pemikiran ini
prosesnya tidak melalui pembongkaran terhadap realitas doktrin, ideology maupun
norma sosial, tetapi juga harus terderivasi kedalam kesadaran praktis, baik
secara individu maupun kolektif masyarakat.[3]
III.
Perempuan
Sasak dan Stratifikasi Sosial
Strafikisasi sosial
adalah penggolongan untuk pembedaan orang-orang dalam suatu sistem sosial
tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarkhis menurut dimensi kekuasaan dan
prestise. Penggolongan untuk pembedaan artinya setiap individu menggolongkan
dirinya sebagi orang yang termasuk dalam suatu lapisan tertentu untuk digolongkan
ke dalam lapisan tertentu.[4]
Munculnya
stratifikasi sosial disebabkan karena adanya perbedaan tinggi rendah kedudukan
seseorang dalam masyarakat sehingga menyebabkan adanya kedudukan yang dinilai
lebih tinggi dari kedudukan yang lainnya.[5]
Sistem ini merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarkat yang
hidupnya teratur. Begitu juga dengan masyarakat suku Sasak di Lombok. Pelapisan
masyarakat di daerah ini didasarkan pada kebijaksanaaan, keberanian, kebesaran
darma, dan asal usul keturunan.[6]
III.I Stratifikasi Sosial Perempuan Sasak Bangsawan
Konsep
stratifikasi sosial pada suku Sasak pada umumnya banyak ditentukan oleh susunan
keluarga yang berawal dari perkawinan yang disebut nurut mame[7].
Artinya garis keturunan darah ditekankan pada laki-laki (garis bapak). Sehingga ketika ada perkawinan antara
perempuan bangsawan sasak dengan laki-laki dari kalangan jajar karang (rakyat biasa) maka secara otomatis kebangsawanan yang
tersemat pada si perempuan sasak tersebut akan hilang dan pada tarap yang
paling extreme adalah perempuan tersebut akan di buang dari keluarga “teketeh”. Berbeda dengan laki-laki
bangsawan dia berhak untuk memilih dengan kalangan mana dia ingin menikah baik
dari kalangan perwangsa (dende), triwangsa (baiq), ataupun jajar karang (kalangan biasa).
Tidak hanya itu
berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku di suku Sasak membuat status
perempuan perwangsa dan triwangse memiliki kedudukan yang tinggi
dan mahal harganya oleh karena gelar kebangsawanan yang disandangnya sehingga
menghalangi orang luar atau laki-laki biasa yang ingin mengawininya karena
biaya ajikrama (mas kawin) yang harus dibayar jumlahnya sangat
mahal bahkan terkadang diluar kesanggupan orang untuk membayarnya maka dari itu
beban lebih banyak dipikul atau di emban oleh perempuan sasak. Di sisi lain
bagi perempuan sasak kalangan bangsawan yang tetap mengikuti aturan bahwa
perempuan bangsawan harus menikah dengan laki-laki bangsawan juga, dan apbila
ada dari kalangan laki-laki biasa yang ingin mengawininya maka harus berani
membayar ajikrama (mas kawin) yang sangat mahal tersebut. Aturan
tersebut tidak sedikit membuat para perempuan bangsawan tidak menikah sehingga
mereka menjadi “mosot/dedare toaq” (perawan
tua).[8]
Aturan-aturan
tersebut yang masih kuat dikalangan bangsawan sasak konservatif yang mereka anggap
sebagai tradisi dan kearifan lokal yang harus tetap di jaga dan di lestarikan, membuat
perempuan sasak menjadi terkungkung termarginalkan, tersubordinasi, memiliki
beban ganda, serta mendapatkan pelabelan yang dimana hal-hal tersebut membatasi
ruang gerak perempuan Sasak untuk mengakses diri keranah publik.
III.2 Stratifikasi Sosial Perempuan Sasak Berpendidikan Tinggi
Berbicara tentang
pendidikan sedikit menjadi angin segar bagi para perempuan sasak. Bagaimana
tidak di balik masalah pelik yang dihadapi perempuan sasak akibat dari nilai,
norma, adat istiadat yang masih dipegang teguh oleh kalangan konservatif Sasak yang tentunya banyak merugikan kalangan
perempuan sasak itu sendiri. Namun, dengan bolehnya perempuan sasak mengenyam
pendidikan sebagai langkah awal dan terobosan baru bagi para perempuan sasak
untuk mengeluarkan dirinya dari keterkungkungan akibat norma-norma tersebut.
Sebagian besar masyarakat sasak kontemporer sudah sadar akan pentingnya
pendidikan bagi anak dan cucu mereka baik bagi laki-laki maupun perempuan sudah
tidak dibedakan lagi. Di masa kontemporer ini stratifikasi seseorang lebih
dilihat dari tingkat pendidikannya dan hal tersebut sedikit menggeser bahkan
memudarkan pemahaman bahwa perempuan bangsawan memiliki stratifikasi lebih
tinggi dari perempuan sasak kalangan biasa.
Namun, bagi
penulis hal tersebut juga akan menjadi sesuatu yang dilematis bagi perempuan
sasak di sisi lain yaitu ketika pasca mereka menuntut ilmu di perguruan tinggi
yang nantinya sebagai makhluk sosial yang normal berkeinginan untuk membina
rumah tangga dengan laki-laki yang dicintai dan mencintainya namun berada pada
tingkat pendidikan yang berbeda misalnya si perempuan lulusan S1 dan si
laki-laki lulusan SMP/SMA, maka standar ajikrame
(mas kawin) berdasarkan tingat
pendidikan juga akan menjadi masalah bagi perempuan sasak itu sendiri, karena
indikatornya adalah semakin tinggi tingkat pendidikan maka harga si perempuan
sasak itu sendiripun akan tinggi. Meskipun di satu sisi perempuan sasak sudah
memiliki kebebasan untuk mengakses ranah publik seluas-luasnya tanpa harus
dibedakan lagi dengan laki-laki. Hal tersebutpun akan menjadi persoalan yang
tidak kalah rumitnya dengan perempuan sasak di kalangan konservatif dengan
perempuan sasak di kalangan kontemporer, yang dimana untuk kesekian kalinya
menempatkan perempuan menjadi objek yang harus memikul beban tersebut.
IV. Penutup
Melakukan
rekonstruksi atau konstruksi kembali terhadap nilai-nilai dan aturan adat
istiadat yang merugikan perempuan sasak terhadap hal yang sudah terkonstruksi
secara mengakar dalam masyarakat sasak adalah bukan perkara yang mudah. Hal tersebut
membutuhkan waktu dan perjuangan yang cukup lama. Akan tetapi hal tersebut
tidak menuntut kemungkinan bisa terjadi ”there
is will there is way” (dimana ada keinginan disitu ada jalan). Peran dari
tokoh budaya dan masyarakat adalah faktor yang sangat penting dalam dinamika
peradaban di muka bumi ini wabilkhusus untuk masyarakat perempuan sasak. Hal
tersebut dikarenakan keduanya yaitu budaya dan agama adalah hal yang memiliki
andil besar dalam mengkonstruksi tatanan sosial kultural masyarakat.
Selanjutnya
kritik dan saran terhadap stratifikasi sosial yang bias gender dan lebih
merugikan kaum perempuan sasak penting dilakukan lewat tulisan, forum diskusi, media
dialog dan negosiasi dengan tokoh adat, tokoh agama, tokoh budaya, dan pemangku
kebijakan. Karena apabila hal tersebut tidak dilakukan maka hal-hal yang sudah
terkonstruksi akan tetap berlangsung tanpa ada kesempatan untuk
merekonstruksinya. Bagi pemangku kebijakan perlunya melakukan refleksi terkait
bagaimna meminimalisir setiap kebijakan dari bias gender, sehingga tercipta
tatanan masyarkat yang aman, dinamis, berkeadilan bagi setiap lapisan masyarakat
yang terkandung dalam nilai-nilai pancasila sila ke-5 yang tentunya tanpa
membedakan identitas gendernya.
Maka dari itu
diharapkan semua pihak baik dari kalangan mahasiswa, forum diskusi, lembaga
terkait sasak, masyarakat sasak, tokoh adat, tokoh budaya, tokoh agama, dan
pemangku kebijakan untuk saling bersinegi satu sama lain guna menciptakan
tatanan sosial yang adil dan tatanan hidup berdasarkan asas keadilan dan
kesetaraan gender di kalangan masyarakat sasak.
[1] Dr. umi sumbulah, M.Ag., Gender Dan Demokrasi. Malang; program
sekolah demokrasi PLaCID’s (Public Policy
Analysis And Community Development Studies). 2008.
[2] Ibid
[3] Zaini Rahman. Mengurai Kepemimpinan Perempuan. 2008,
pp 133-136.
[4] M. Harfin Zuhdi. Praktik Merarik Wajah Soisal Masyarakat
Sasak. Bagian ke-3 Tentang Stratifikasi Sosial Dalam Masyarkat Suku Sasak.
Pp 33.
[5] Wayan Geriye, Beberapa Segi Tentang Masyarakat Dan Sistem
Sosial (Denpasar: Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas
Udayana, 1981), pp 36.
[6] Departemen pendidikan dan
kebudayaan, Upacara Tradisional Daerah
Nusa Tenggara Barat, Upacara Kematian. (Mataram: departemen pendidikan dan
kebudayaan , 1985), pp 3.
[7] Idrus Abdullah, Penyelesain Sengketa Melalui Mekanisme
Pranata Lokal Dikabupaten Lombok Barat, Disertasi (Jakarta: Fakultas Hukum
Program Pasca Sarjana UI, 2000), pp. 105.
[8] M. Harfin Zuhdi. Praktik Merarik Wajah Soisal Masyarakat
Sasak. Bagian ke-3 Tentang Stratifikasi Sosial Dalam Masyarkat Suku Sasak,
pp 43-44.