A.
Latar Belakang
Arus perubahan
masyarakat sasak dari tradisional menuju modernisasi merupakan bagian yang
harus dilihat dari sisi positif dan negatif, banyak orang menganggap bahwa
modernisasi adalah biang kerok terhadap keterpurukan moral manusia, pasalnya
dunia modernisasi telah membuat instannya hidup, banyak terjadi kekerasan
(KDRT, Anak terlantar, kekerasan seksual “anak maupun dewasa” dan persoalan
sosial lainnya). Disisi lain, modernisasi adalah sebuah harapan baru untuk
perubahan yang lebih baik “masa depan yang gemilang”. Tentu saja perbedaan ini
terlahir dari sudut pandang yang berbeda, jika modernisasi dipandang dari sudut
negatif maka hasilnya juga negatif, dan begitu juga sebaliknya.
Kemiskinan
merupakan sebuah permasalahan sosial yang tidak hanya dihadapi oleh bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang berkembang, kemiskinan juga menjadi persoalan
bagi negara-negara maju. Kemiskinan dapat menunjuk pada kondisi individu,
kelompok maupun situasi kolektif masyarakat. Di negara-negara maju kemiskinan
lebih bersifat individu, misalnya, akibat mengalami kecacatan (fisik atau
mental), ketuaan, sakit yang parah dan berkepanjangan, atau kecanduan alcohol.
Kondisi ini biasanya melahirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari
atau keluarga-keluarga tunggal (single parents or single families) yang
hidupnya tergantung pada bantuan sosial dari pemerintah.
Masyarakat
sasak yang saat ini masih banyak terjadi persoalan sosial, seperti: kemiskinan,
premanisme birokrasi, pernikahan dini, menjadi TKI atau TKW, perceraian,
perampokan, pencurian, kecurangan terhadap ‘petani, nelayan, buruh’, perang
saudara, bahkan eksploitasi seksual yang masih sedikit muncul dipermukaan.
Sehingga persoalan inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakberfunsian sosial
yang utuh dalam tatanan masyarakat sasak, dan berakibat pada kemiskinan yang
tiada ujung. Seperti lagu yang sering dinyanyikan oleh Rhoma Irama dimasa
kejayaannya dan masih terdengar asik sampai saat ini “yang kaya makin kaya dan
yang miskin makin miskin” dan yang miskin “gali lobang tutup lobang” yang
ujung-ujungnya meninggal dunia karena tidak mampu melunasi hutangnya. Sesungguhnya
semua persoalan ini adalah persoalan bersama, namun sebagai negara pemerintah
berkewajiban untuk meyelesaikan semua persoalan tersebut secara terus menerus
untuk memberikan kenyaman dan kedamaian bagi rakyatnya.
Kondisi ini
tentu saja tidak terlepas dari birokrasi sebagai pemangku kebijakan tertinggi,
yang mana dalam bukunya John Scott menjelaskan bahwa birokrasi adalah bentuk
maju dari organisasi administratif berskala besar yang hadir dalam kapitalisme
lanjut, dan kadang-kadang diambil menjadi ciri khas dari kapitalisme tersebut.
Bagaimanapun, seperti yang ditujukkan Weber birokrasi tidak membatasi
kapitalisme. Birokrasi berkembang dan memperkuat monopoli kondisi. Bagi Weber,
birokrasi memiliki karakter structural yang berbeda dan juga beberapa
ciri internal yang berkaitan dengan hal tersebut. Karakteristik
structural birokrasi meliputi pola otoritasnya yang terpusat (sentralistik) dan
jelas dengan banyak tingkat hierarki, pembagian kerja yang rumit antara
spesialisasi yang luas dan resmi dari aktivitas-aktivitas mereka.
Penjelasan ini
menggambarkan bahwa kapitalisme birokrasi merupakan sebuah wajah yang nyata,
yang mana birokrasi memiliki kekuatan dan otoritas yang tinggi dalam menentukan
suatu kebijakan. Kembali pada persolan sosial yang muncul dalam tatanan
masyarakat, hal tersebut adalah hasil dari ciptaan orang-orang kapitaslime
untuk menentukan pasar bebas dalam negara berkembang. Seperti yang tergambar
dalam sebuah film “Teenage Mutand Ninja Turtles” yang mana menceritakan
tentang sebuah penciptaan “penyakit dan obat”. Ketika disebarkan wabah kepada
masyarakat sebagai upaya untuk memperkenalkan obat, maka sekali lagi, rakyat
adalah korban dari ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh orang-orang hebat
untuk menentukan pasar dominan dalam pasar international yang disebarkan
melalui kehidupan nyata masyarakat maupun melalui media.
B.
Rumusan Masalah
Masyarakat
Sasak: Wacana Masa Depan Sasak “Lombok” kajian Teoritis merupakan sebuah wacana
yang menggambarkan keadaan masa kini dan masa yang akan datang. Menganalisis
kekuatan-kekuatan masyarakat sasak yang ada untuk melihat bagaimana keadaan
masyarakat sasak di masa yang akan datang. Tentu saja ini adalah sebuah ketidak-mungkinan
kerena masa depan adalah sesuatu yang tidak bisa digambarkan secara jelas,
karena kita tidak tahu apa yang akan trjadi satu menit ke depan, akan tetapi
dalam penulisan ini hanya melihat kesempatan dan peluang baru yang akan merubah
keadaan masyarakat sasak menuju masyarakat yang lebih baik dan sejahtera. Jadi
rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana kesiapan masyarakat sasak
dalam melihat peluang besar terhadap masa depan yang lebih baik?
C.
Pembahasan
Masyarakat
sasak saat ini sedang mengalami perubahan baru, sebuah perubahan yang memberikan
gambaran baru bagi pandangan setiap orang, yang mana perubahan itu adalah
gaya-gaya hidup baru, cara-cara untuk bekerja, cara mencintai, cara berintraksi
satu sama lain, cara berakktivitas baru, yang pada intinya adalah sebuah hidup
yang baru, dan sebuah kesadaran yang ikut berubah. Masyarakat sasak sedang
mengalami lompatan perubahan yang dianggap sebuah “penantian perubahan”, yang
penulis sebut sebagai “gelombang kedua”. Walaupun wacana ini adalah sebuah
wacana gelombang ketiga,
karena masyarakat sasak saat ini masih belum siap menerima perubahan
besar-besaran. Selain dikarenakan masyarakat sasak masih mempertahankan budaya
tradisonal, modernisasi masih dinikmati sebatas awal perubahan.
Perubahan
merupakan sebuah sifat dasar dari masyarakat, mengubah metafor “kehidupan
sosial” seperti kehidupan itu sendiri. mengingat perubahan itu ada di
mana-mana, maka kecepatannya, ruang lingkupnya, kedalamannya dan tempo
perubahannya berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Perubahan terutama sekali adalah dapat merembes, secara cepat dan sangat nyata
dalam masyarakat modern saat ini. Gagasan paling umum dari perubahan
mengindikasikan beberapa peralihan dan hal entitas tertentu yang terjadi dalam
waktu tertentu. Dalam rangka untuk menekankan bahwa kualitas dinamika dari
entitas khusus itu berkaitan dengan masyarakat, sosiologi kontemporer sering
menerapkan konsep bidang atau wilayah sosial (social field), yang
maksudnya adalah jaringan yang berubah-ubah atau tidak tetap dari tindakan, intraksi,
hubungan sosial, dan institusi sosial.
Dua imaji
(gambaran) masa depan yang sangat berbeda mencengkram imajinasi masyarakat
sekarang ini. Sebagian besar rakyat saat ini, pada level di mana mereka tidak
mau pusing memikirkan masa depan sama sekali, mengasumsi dunia yang mereka tahu
akan bertahan dalam waktu yang tak terbatas. Mereka sulit untuk membayang
sebuah pandangan hidup yang benar-benar berbeda bagi diri mereka, apalagi
sebuah peradaban baru secara total. Tentu saja, mereka menyadari bahwa
segalanya sedang berubah. Tetapi, mereka mengasumsi perubahan-perubahan
sekarang ini bagaimanapun juga akan melewati mereka dan tak satupun yang akan
mengoncang kerangka kerja ekonomi dan stuktur politik yang sudah mereka kenal.
Mereka merasa yakin dengan harapannya bahwa masa depan akan terus berlangsung
seperti masa kini.
Kenyataan ini merupakan sebuah gambaran nyata yang diberikan oleh masyarakat
sasak (orang tua tempo dulu) dan penulis sering mendengar kata-kata ini ketika
para orang tua berkumpul sambil bercerita tentang sejarah mereka masing-masing,
bahwa “lemak no tukul-tukul uah dateng jawe, uah dateng luar negeri”
artinya “suatu saat kita hanya sekedar duduk, kita sudah berada di jawa, bahkan
luar negeri”. Dengan kata lain, masyarakat sasak sadar bahwa akan ada
perubahan, namun sebagian besar masyarakat tidak mau tahu tentang perubahan,
mereka lebih baik membiarkan perubahan itu dipikirkan oleh generasi mereka
(generasi saat ini).
1.
Masyarakat
Sasak: Perubahan Masa Kini Kaca Mata Pekerja Sosial
Perubahan
sosial biasanya terkait dengan rangkaian kaitan temporal dan kausal.
Serangkaian perubahan yang saling terkait, baik yang bersifat reproduktif
maupun trnspormatif, disebut dengan proses sosial. Proses-proses sosial semacam
ini mencakup urbanisasi (lihat urbanism), industrialisasi (lihat industialism),
pertumbuhan ekonomi dan globalisasi. Pertanyaan penulis untuk kita semua,
mungkin kita semua menyadari akan perubahan yang terjadi disekitar kita, mulai
dari bentuk fisik (bangunan), tingkah laku, gaya pacaran dulu dengan yang
sekarang, gaya pendidikan, gaya politik, dan hal-hal lain yang ikut serta
meramaikan perubahan. Pertanyaannya adalah pernahkah kita berhenti pada satu
titik dan membuat titik itu tidak berubah? Penulis rasa bahwa terkadang kita terlalu
membela tradisional tanpa memahami makna secara utuh, dan menolah perubahan
tanpa memperkenalkan bentuk tradisional kepada modernisasi secara utuh.
Sehingga wacana ada di mana-mana tentang modernisasi dalam konteks negatif
namun secara aplikasi, mereka ikut andil dan berjalan berkelindan dengan
perubahan tersebut.
Perubahan
adalah model baru dalam membentuk kekuasaan, perubahan adalah iming-iming
kesejahteraan bagi para pemerhati dan pelaku perubahan. Dengan kata lain,
perubahan akan membentuk nasib seseorang, baik yang menyadari maupun yang tidak
menyadari dan acuh tak acuh terhadap perubahan itu sendiri, karena perubahan memiliki
makna bukan tanpa makna. Mungkin kita semua pernah menonton sebuah film yang
membebaskan manusia dari kekuasaan Tuhan, sebuah film yang bagi penulis adalah
imajinasi yang tinggi yang patut dihargai sebagai karya manusia adalah film “In
Time”
yang menceritakan perubahan besar-besar terhadap paradigma manusia saat ini. Di
mana Uang sebagai kekuasaan tertinggi saat ini (Konteks Roda Dunia), tanpa uang
kita tidak bisa hidup dan menjalankan aktivitas sehari-hari, dan Allah SWT adalah
sebagai penguasa dunia dengan ke Maha Besarannya. Namun di film ini, Waktu
adalah segalanya, gaji, hidup, barter, dan segala aktivitas dikendalikan
oleh Waktu. Bahkan dengan waktu manusia bisa hidup berabad-abad, atau bahkan
abadi dengan waktu yang dimilikinya, sehingga Allah tidak ada artinya sama
sekali.
Artinya bahwa,
semua persoalan perubahan ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh bapak
paradigma “Thomas Kuhn” bahwa segala sesuatu tentang ilmu pengetahuan ini akan
berubah, yang lama akan ditelah oleh yang baru, dan yang baru akan ditelan oleh
yang baru lagi, dan begitu seterusnya, sehingga para ilmuan atau filosof
dituntut untuk terus berinovasi. Begitu juga dengan masyarakat sasak saat ini,
mau tidak mau harus menyadari akan perubahan yang dibawa oleh waktu. Contoh
sederhana dari perubahan itu adalah ketika pra-BIL berdiri, masyarakat mencoba
melawan pemerintah dengan mempertahankan tanah mereka, dengan alasan tanah
mereka belum ada ganti rugi. Setelah BIL berdiri banyak masyarakat menerima
manfaat keberadaan BIL, suatu perubahan yang menguntungkan. Bahkan masyarakat
sekitar BIL yang mampu memanfaatkan keadaan menjadi lebih sejahtera dan
mandiri.
Selain itu,
keadaan ini telah menjadi ladang subur baru bagi orang-orang yang kreatif dan
produktif, mulai dari menyediakan jasa transportasi, berdagang, jasa
penginapan, warung makan dll. dalam hal ini, Al-Qur’an Menjelaskan bahwa: “Dan pada pergantian malam dan siang
dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air
hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal”. Artinya bahwa “dan pada
pergantian malam dan siang” pergantian malam dan siang merupakan sebuah
perubahan yang tidak bisa kita hindari, siang dan malam menunjukkan akan arti
penting dari sebuah proses yang kita lakukan, baik dalam konteks kebutuhan
hidup, pekerjaan, inovasi karya, dan hal-hal lain yang dapat digeser oleh waktu
melalui pergantian siang dan malam.
“hujan
yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi
sesudah matinya” dalam konteks ini, Allah SWT. Menunjukkan kepada manusia
tentang sebuah proses perubahan, ketika hujan turun di tanah-tanah yang ada di
Sasak, masyarakat sasak mulai mempersiapkan bibit padi yang unggul untuk
ditanam. Setelah padi kemudian kedelai, atau sebagian lainnya menanam tembakau,
cabai, tomat dll sesuai dengan kondisi tanah yang dimiliki. Perubahan ini
merupakan sebuah perubahan yang memiliki makna, yang mana “bagi kaum yang
berakal” akan selalu bersyukur akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Dengan
kata lain, perubahan harus dimaknai dengan arif-bijaksana, apapun bentuk
perubahan yang terjadi tidak selamanya menjadi sebuah ancaman, akan tetapi
disetiap perubahan ada tanda-tanda yang nyata akan kebesaran Allah SWT.
Mampukan
setiap kepala berpikir tentang perubahan? Dan mampukah setiap sistem tubuh
berproses dalam perubahan?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, perlu kita mengkaji beberapa hal yang terkait dengan
setiap perubahan yang terjadi. Yakni: Pertama, Pergeseran Gaya Hidup.
Secara umum, semua orang menyadari bahwa modernisasi telah merubah gaya hidup (fashion),
yang tradisional (tingkah laku, pakaian, cara berpikir, dll) menuju gaya hidup
yang baru. Kondisi ini tentu saja merupakan sebuah perubahan yang wajar. Tetapi,
terkadang perubahan ini terlalu dipolitisir oleh orang-orang yang memiliki
kepentingan, mengatasnamakan hak dalam menjaga sesuatu yang menjadi warisan
leluhur. Misalnya: Makam Loang Balok sebuah makan yang disakralkan oleh
masyarakat sasak. Dalam hal ini, penulis menemukan dua realitas baru melihat
kondisi loang balok yang dibenturkan dengan obyek wisata. (1) Taman Loang
Balok sebagai wujud dari perubahan bentuk merupakan obyek wisata yang
digemari oleh masyarakat sasak, yang khususnya adalah generasi muda dewasa ini.
(2) Makan Loang Balok yang disakralkan akan tergeser oleh bangunan mewah
(hotel) dan taman loang balok itu sendiri.
Tentu
saja kondisi ini telah melahirkan sebuah gaya hidup baru, yang mana gaya hidup
tradisional berubah menjadi gaya hidup modern. Kesakralan yang selama ini diyakini
menjadi sebuah hal yang biasa, tidak ada bentuk nilai perjuangan untuk
mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki. Tetapi, terkadang sebagian orang
yang dapat memanfaatkan kondisi ini, menjadikan lahan subur untuk menyambung
hidup. Perjuangan yang dilakukan hanya sebatas kepentingan pribadi, tidak pada
menjaga nilai-nilai sakral yang ada. Disisi lain, perubahan yang ada tidak
menjadi suatu persolan yang tidak wajar bagi masyarakat sasak, perjalan waktu,
bergantinya siang dan malam, perubahan bulan demi bulan, dan tahun demi tahun
hanyalah persoalan yang sudah menjadi kehendak Allah. Sehingga dari pada
masyarakat miskin pusing dengan perubahan, lebih baik mereka mengerjakan
sesautu yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kedua,
Pergeseran
Kebutuhan (the Shift on Needs). Kebutuhan generasi 1993 dengan kebutuhan
generasi 2005 sangat jauh perbedaannya. Penulis lebih mencoba menekankan makna
kebutuhan pada apa yang membuat generasi mengenal akan tempat tinggalnya (home),
tidak hanya pada konteks kebutuhan dasar saja. Tahun 1993 para generasi
mengenal rumahnya dengan berbagai kebutuhan yang disuguhkan, mulai dari
permainan, tradisi, dan hal-hal lokal yang membuat generasi muda menjadi lokal
seutuhnya. Dari permainan, misalnya: permainan Benteng, Slodor, Cungklik, Beledokan dan permainan-permainan loal lainnya. Sedangkan para generasi tahun
2005an sudah mengalami perubahan secara perlahan, permainan modern mulai
dikenal, sedangkan permainan lama sudah mulai ditinggalkan. Generasi muda lebih
asik bermain sendiri, lewat HP, bahkan dewasa ini sebagian besar generasi muda
asik bermain “game online” dan Plastation. Maka dunia yang mereka
tampilkan tanpa sadar adalah dunia modernisasi.
Ketiga,
Pergeseran Gaya
Pacaran. Pada konteks ini, penulis sering diceritakan oleh orang tua, paman,
dan orang-orang tua lainnya bahwa gaya pacaran dewasa ini jauh berbeda dengan
gaya pacaran dulu. Di mana gaya pacaran zaman dulu, tidak ada yang namanya
malam minggu, jalan-jalan sampai malam, bahkan ketika ngapel, jarah antara
cowok dengan cewek tidak dekat. Sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan. Gaya pacaran zaman sekarang begitu bebas, keluar tanpa ada control,
hingga berdampak pada pernikahan dini (hamil duluan), penulis juga tidak
munafik akan hal tersebut. Kondisi ini adalah kondisi yang dibuat oleh generasi
muda dewasa ini, sehingga gaya tradisional pacaran tenggelam oleh gaya
modernisasi. Asumsi dasar dari hal tersebut adalah “kita semua sudah dewasa,
tahu mana yang baik dan tidak untuk masa depan”.
a.
Kemiskinan:
Wajah Sasak dalam ketidak-berfungsian Sosial
Bagaimana
memaknai kemiskinan, tentu saja informasi adalah sesuatu yang sangat berharga,
ketika masyarakat harus dibenturkan dan disandingkan dengan kemiskinan.
Setidaknya ada dua aliran pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan
pemahaman mereka terhadap kemiskinan. Golongan pertama, apa yang termasuk dalam
paradigma agrarian populism. Menurut golongan ini, kemiskinan diakibatkan
adanya campur tangan negara yang terlalu luas dan mendalam terhadap masyarakat.
Adanya intervensi ini mengakibatkan masyarakat cendrung obyek yang tidak
memiliki inisiatif memanfaatkan peluang, potensi dan sumber daya yang melimpah
di seputar mereka. Idiologi yang dianut oleh aliran ini adalah antistatetism,
anti negara. Menurut aliran ini, kemiskinan hanya akan hilang dari masyarakat
jika negara meninggalkan campur-tangannya dalam kehidupan masyarakat.
Golongan kedua,
yang biasanya dimotori oleh para pejabat pemerintah, atau para ilmuan kampus
yang sok berlagak jadi pejabat. Adalah mereka yang memandangang kemiskinan
sebagai masalah budaya. Masyarakat menjadi miskin karena mereka memiliki budaya
kemiskinan. Masyarakat menjadi miskin karena malas bekerja, dan tidak memiliki
visi yang jelas tentang masa depannya. Menurut penganut aliran ini, masyarakat
memang sulit untuk diajak untuk maju. Membiarkan masyarakat dalam menentukan
nasibnya sendiri sama saja dengan membiarkan masyarakat dalam kemiskinan yang
abadi. Sehingga jelas kita lihat, penganut golongan ini cenderung mengeluarkan
kebijakan yang menganggap masyarakat hanya sebagai obyek saja, tidak memiliki
inisiatif dan kreativitas.
Berdasarkan dua
gambaran ini, penulis lebih melihat kemiskinan adalah sebuah permasalahan yang
datang dua sisin”pemerintah dan masyarakat”, karena permasalahan kemiskinan
bukan kesalahan yang hanya datang dari pemerintah, juga datang dari diri
masyarakat itu sendiri, sehingga persoalan kemiskinan merupakan tanggungjawab
bersama.
Kemiskinan adalah salah satu persoalan sosial yang hadir dari sudut pandang
seseorang, kemiskinan hanyalah sebuah mindset yang terbangun dari
pandangan kolekif, yang tergabung dari beberapa huruf. mungkin bagi seseorang
kemiskinan bukanlah berpatokan pada materi melainkan iman, ahlaq, sikap,
kesadaran, tingkah laku, dan lainya. Sehingga kemiskinan memiliki berbagai
devinisi yang sesuai dengan konteksnya.
Masyarakat
sasak yang saat ini dibenturkan dengan kemiskinan adalah sebuah persoalan yang
krusial jika dipandang dari sisi perubahan, seperti yang diusung dalam kampaye
politik TGB 2013 (Gubernur NTB Dua Periode) “masyarakat yang berperadaban,
religious, dan berbudaya”. Kampaye politik ini tentu saja tidak hanya
dihidangkan begitu saja, melainkan dipoles sedemikian rupa untuk membangun
masyarakat NTB menuju perubahan yang lebih baik. Hal ini merupakan sebuah
harapan di masa mendatang akan kemandirian masyarakat NTB dan kemiskinan hanya
tinggal sejarah pahit.
Titik tolaknya
adalah membenahi bentuk garis kemiskinan yang memisahkan mereka yang dianggap miskin
dengan yang bukan miskin. Lebih sederhananya adalah menghitung jumlah orang
yang miskin, jurang kemiskinan dan berapa lama orang menjadi miskin, dan hal
ini dibutuhkan semacam garis kemiskinan. Ada dua pendekatan yang digunakan
dalam pendekatan ini, yang secara konvensional disebut pendekatan absolut (absolute
approach) dan pendekatan relatif (relative approach). Cara lain
untuk menggambarkan dua tipe garis ini adalah dengan menggunakan garis tetap (fixed
line) dan garis bergerak (moving line) yang berubah seiring dengan
perubahan pendapatan.
Dan pendekatan ini bisa digunakan oleh pemerintah NTB untuk mengetahui tingkat
kemiskinan yang sesungguhnya, tidak hanya dengan menggunakan data statistic
yang pendekatannya berbeda-beda dan hasilnya juga berbeda.
Terkait dengan
ketidak-berfungsian sosial yang masih menjangkit masyarakat sasak, tentunya
dari gambaran diatas, menjadi sebuah persoalan yang tidak bisa diselesaikan
secara sepihak. Ketika masyarakat tidak memahami dan mampu memanfaatkan
pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah, maka rakyat miskin akan tetap
miskin, bahkan kemiskinan yang terjadi akan terus menjadi penyakit dari
generasi ke generasi. Begitu juga sebaliknya, ketika pemerintah hanya sebatas
wacana dalam melakukan pemberdayaan, maka rakyat pun akan tetap menjadi rakyat
yang miskin.
Hadirnya
kemiskinan dalam hidup seseorang berdampak pada ketidak-siapan generasi muda
untuk berjuang melawan hidup, kebutuhan yang semakin meningkat dan lapangan
kerja yang semakin sulit membuat generasi muda harus mengambil keputusan
sebelum waktu membuatnya menyesal karena terlalu banyak pertimbangan. Misalnya:
Pernikahan Dini, adalah persoalan sosial yang saat ini masih melanda masyarakat
sasak, keputusan untuk berumah tangga karena kekurangan ekonomi dan gaya hidup
yang semakin bebas (akibat modernisasi), membuat generasi muda harus kehilangan
masa depannya. Masa depan yang seharusnya menjadi perjuangan utama demi merubah
nasib, harus terputus dipersimpangan jalan. Tingkat perceraian yang berdampak
pada meningkatnya jumlah janda di sasak (Lombok) adalah dampak dari
ketidak-sadaran para generasi muda akan masa depan yang lebih baik. Namun,
dibalik itu, penulis juga tidak munafik bahwa pernikahan dini tidak bisa
dihindari akibat dari ekonomi yang mencekik. Persoalan ini merupakan bentuk
dari kekerasan simbolik terhadap perempuan.
Disisi lain, kemiskinan
yang berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan dan ketidak-mampuan masyarakat
dalam mengakses kesehatan merupakan wajah suram yang harus dibersihkan dan
dipoles sedimikian rupa agar masyarakat tidak lagi bergantung pada uluran
tangan pemerintah. Masyarakat harus diberdayakan guna menciptkan roda kondisi
yang kondusif dan produktif agar kesejahteraan menjadi wajah manis. Dalam hal
ini, Aprilliani Theresia, dkk menjelaskan bahwa upaya memberdayakan masyarakat
dapat dilihat dari tigas sisi, yaitu:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
untuk berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian
akan sudah punah. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh
masyarakat (empawering). Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah lebih
positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini
meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Ketiga, memberdayakan
mengandung pula arti melindungi. Dalam hal ini, perlindungan dan pemihakan
kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat.
b.
Politik
Sasak: Kekuasan (Fower) Pembawa Perubahan Etnis
Ada hal yang
menarik ketika penulis membaca surat Mirza Masroor Ahmad
kepada pemimpin dunia, yakni; kepada Perdana Menteri Israel dan Presiden Obama.
Kepada
Menteri Israel.
Oleh karena
itu, permintaan saya kepada anda adalah bukan menghantarkan dunia ke dalam
cengkraman perang dunia, buatlah upaya maksimal untuk menyelamatkan dunia dari
bencana global, dari pada menyelesaikan sengketa dengan kekuatan, Anda harus
mencoba menyelesaikan dengan dialog, sehingga kita dapat memberi “hadian”
generasi masa depan kita dengan masa depan yang cerah daripada memberi “hadiah”
mereka dengan ketidak-berdayaan serta kecacadan.
Kepada
Presiden Obama.
Seperti kita
semua sadari, penyebab utama yang menyebabkan perang dunia kedua adalah
kegagalan liga bangsa-bangsa dan krisis ekonomi, yang dimulai pada tahun 1932.
Hari ini, para ekonom menyatakan banyak persamaan antara krisis ekonomi saat
ini dengan krisis ekonomi tahun 1932. Kami amati bahwa masalah politik dan
ekonomi sekali lagi menyebabkan perang di antara negara-negara kecil, dan
perselisihan internal serta ketidakpuasan menjadi marak dalam negara-negara,
pada akhirnya ini akan menghasilkan kekuatan tertentu yang mencul dengan
mengendalikan pemerintah, yang kemudian akan membawa kita ke perang dunia. Jika
konflik di negara-negara kecil tidak dapat diselesaikan melalui politik atau
diplomasi, hal itu akan membentuk blok dan pengelompokan baru di dunia. Hal ini
akan menjadi pemicu untuk pecahnya perang dunia ketiga. Oleh karena itu, saya
percaya bahwa sekarang, daripada berfokus pada kemajuan dunia, itu memang
penting, tetapi yang lebih penting adalah kita segera meningkatkan upaya kita
untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran ini. Adalah kebutuhan mendesak bagi
umat manusia untuk mengenali Tuhan Yang Maha Tunggal, Yang Menciptakan kita,
karena itu adalah satu-satunya penjamin bagi keberlangsungan hidup umat
manusia, jika tidak, dunia akan terus bergerak cepat kea rah penghancuran
dirinya.
Dari surat ini,
penulis dapat gambaran bahwa, pemimpin pada dasarnya merupakan ujung tombak dari
suatu perubahan yang lebih baik, ketika pemimpin lebih kepada kepentingan
pribadi, atau negara maka rakyat dan generasi muda adalah korban. Padahal
generasi muda adalah calon penerus bangsa, penerus yang akan bertanggungjawab
terhadap kemerdekaan utuh dan membangun peradaban yang lebih baik. Oleh karena
itu, sesungguhnya pemimpin harus memberikan ruang kebebasan berkarya terhadap
generasi muda, memberikan hadiah perdamaian dan kesejahteraan terhadap generasi
muda. Mengajarkan generasi tentang politik sehat untuk menjunjung tinggi nilai
demokrasi yang lebih produktif, karena dengan landasan ini, perubahan akan
menjadi wujud nyata bagi kesejahteraan masyarakat, serta dapat membangun
kekuatan negara secara international.
Selain itu,
persoalan kepentingan politik daerah maupun provinsi yang berbeda akan
berdampak pada doktrinasi kekuasaan segilintir elit, masyarakat memerlukan
penceharan terhadap kekuasaan yang dibangun oleh pemerintah, tidak semata-mata
hadir sebagai pahlawan masa depan dalam kampaye, melainkan pahlawan yang dapat
menjalankan amanah demi kesejahteraan sesuai dengan janji politik yang
dilontarkan kepada publik. Dengan demikian, peran pemerintah tidak hanya
membawa masyarakat pada tingkat kesejahteraan, juga memberi peluang besar
kepada rakyat untuk menentukan masa emas generasi yang ditunggu oleh negara.
Kepiawaian
politik dalam mengajarkan bagaimana berpolitik terhadap manusia adalah sebuah
karya politik yang tidak bisa dipungkiri. Setiap saat wajah politik yang ada di
Indonesia berengkarnasi menjadi wajah politik yang baru, bagaikan “operasi
plastik” yang bisa dilakukan setiap saat oleh orang-orang yang mampu (kaya).
Apalagi wajah politik saat ini telah menciderai demokrasi yang dibangun diatas
tetesan darah dan kematian para pejuang kemerdekaaan Indonesia dan perjuangan
para generasi muda dalam menuntut demokrasi. Para elit politik seakan-akan
tidak tahu caranya menangis dan meneteskan darah, demokrasi dapat dimaknai
sesuka hati mereka, dan rakyat adalah bola yang siap dipermaikan saat berlaga.
Wajah politik
lokal Sasak “Lombok, NTB” sendiri tidak jauh dari wajah politik nasional,
politik lokal adalah manispestasi dari politik nasional, “bergerak dan
menggerakkan” atau “diperintah dan memerintahkan”. Sehingga menyebabkan adanya
sebuah perlawan besar-besaran secara profesional terhadap masyarakat lokal. Masyarakat
Sasak (masyarakat kelas bawah) adalah masyarakat yang pada dasarnya tidak
memahami politik, politik bukanlah alur pergerakan hidup mereka, bagi mereka,
biarkanlah politik berjalan sesuai dengan kehidupan. Dengan kata lain, acuh tak
acuh terhadap politik bukan berarti mereka tidak mengerti politik, namun
kehidupan tanpa politik juga tidak menjadikan mereka mengemis untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari.
c.
Pemberdayaan:
Masyarakat Sasak dalam Perubahan
Masyarakat
adalah sekumpulan orang yang saling berintraksi secara kontinyu, sehingga
terdapat relasi sosial yang berpola dan terorganisasi. Manusia, baik sebagai
individu maupun sebagai warga masyarakat mempunyai kebutuhan. Dalam kehidupan
bermasyarakat, kebutuhan dapat bersifat individual atau kolektif.
Konsekuensinya, selalu ada upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Kebutuhan dapat dibedakan dalam berbagai kriteria, baik dilihat dari sifat,
hierarki, maupun prioritasnya. Terpenuhinya kebutuhan prioritas pertama atau
kebutuhan dasar mendorong usaha untuk memenuhi kebutuhan pada prioritas
berikutnya.
Pemberdayaan
masyarakat sebagai pendekatan yang sedang menjadi arus utama saat ini,
membutuhkan komitmen yang kuat dalam arus teori dan aplikasi, harus ada
kesatuan yang utuh dalam mewujudkan pemberdayaan yang lebih bermutu, jelas,
dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat bawah (miskin), dan terus
berjalan berkelindan dengan arus-arus lain yang terkait dengan membangun sumber
daya manusia yang unggul. Pemberdayaan berarti
berdaya, mampu, tahu, mengerti, paham termotivasi, berkesempatan, melihat
peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu
berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu
mencari dan menangkap impormasi, mampu bertindak sesuai situasi. Pemberdayaan
akan menghasilkan masyarakat yang dinamis dan progresif secara berkelanjutan
sebab didasari oleh adanya motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Istilah
pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang
diinginkan oleh individu, kelompok maupun masyarakat luas agar mereka memiliki
kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannya agar dapat
memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk aksesibilitasnya terhadap sumber daya
yang terkait dengan pekerjaannya, aktivitas sosialnya, dll. Karena itu World
Bank (2001) dalam Aprillia Theresia dkk, menjelaskan bawah perberdayaan sebagai
upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat
(miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan
pendapat, idea tau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk
memilih (choice) sesuatu (konsep, metode, produk, tindakan dll.) yang
terbaik bagi pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Pada
dasarnya pokok pikiran dari teori pembangunan yang berpusat pada rakyat (people
centered development) yang dalam implementasinya dijabarkan ke dalam
pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah sebuah pendekatan yang memberikan
kesempatan, kewenangan yang lebih besar kepada masyarakat terutama masyarakat
lokal untuk mengelola proses pembangunannya.
Namun, aplikasinya yang terjadi di masyarakat sasak masih terjadi tumpang
tindih, pemberdayaan dalam konteks pembangunan sumber daya manusia yang
diprogramkan lebih mengarah pada nilai jual daerah kepada daerah lain, yang
mana kemudian dapat diadopsi menjadi pemberdayaan secara universal, sehingga daerah
penggagas menjadi daerah utama dalam melihat realitas pemberdayaan yang
dilakukan.
2.
Wacana
Masa Depan Sasak sebuah kajian Teoritis
Berawal dari
gambaran di atas, maka yang menjadi pertanyaanya adalah berapa besar target
pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan? Berapa banyak generasi muda
dengan spesialiasi yang berbeda-beda yang ingin diciptakan? Bagaimana cara
pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk memenuhi pengelolaan
sumber daya alam? Apakah pemerintah mau mewujudkan politik sehat? Bagaimana
strategi yang ingin diciptakan dalam mewujudkan politik sehat? Berapa besar
kurs rupiah yang ingin diinvestasikan dalam setiap puluhan jalur dan tingkat
produksi yang berbeda-beda? Dan apakah pemberdayaan merupakan sebuah jalan
untuk mewujudkan kemandirian guna kesejahteraan sosial? Serta dari pertanyaan
ini, kesiapan seperti apa yang dimiliki oleh masyarakat Sasak?
Menjawab
pertanyaan ini, penulis akan mencoba menggambarkan garis-garis besar untuk
dapat melihat bagaimana masa depan sasak di masa mendatang. Adapun garis-garis
besar itu adalah Infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam
(SDA) Inovasi, Ivestasi.
a.
Infrastruktur
Membangun
sebuah konsep infrastruktur dalam kelancaran transportasi yang matang adalah
langkah awal dalam mewujudkan masyarakat yang melek modernisasi. Asumsi dasar
dari hal ini adalah kepentingan sasak menuju sasak yang lebih baik, dengan tingkat
kesejahteraan yang kuat. Karena infrastruktur merupakan jalur yang dapat
memudahkan masyarakat untuk menjalankan aktivitas dengan mudah, mulai dari
berdagang, bertukar informasi, bahkan dapat mengakses pendidikan tanpa kendala.
b.
Sumber
Daya Manusia (SDM)
Membangun
sumber daya manusia untuk mengisi pos-pos kosong sesuai dengan harapan bersama
adalah langkah kedua dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri, masyarakat perlu
pencerahan tentang bagaimana menjadi masyarakat kreatif dan produktif. Dengan
demikian, pemerintah sebagai pemangku kebijakan paling tidak merumuskan bersama
masyarakat dalam menciptakan sumber daya manusia yang ada.
c.
Sumber
Daya Alam
Kekayaan sumber
daya alam yang ada di sasak merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab oleh
pemerintah saat ini, yang mana sumber daya alam akan membeku dan tidak memiliki
arti jika sumber daya alam yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan demikian
perlu ada sebuah rancangan yang matang untuk mengelola sumber daya alam yang
ada. Di mana pengelolaannya dapat dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam sebuah
media online, Lombok disamping sebagai tujuan wisata, juga kaya dengan sumber
daya alam seperti emas dan minyak bumi. Sekotong misalnya, memiliki kekayaan
emas yang luar biasa, tapi pengelolaannya yang belum maksimal. Sementara
masyarakat setempat masih menambang dengan cara-cara tradisional yang dapat membahayakan
keselamatan jiwanya. Selain itu, lanjut H. Hazmi, di kabupaten baru Lombok
Utara, menurut hasil penelitian para ahli, juga telah ditemukan titik sumber
minyak bumi. Namun hal ini butuh penelitian lebih lanjut sambil menunggu
investor yang mau menanamkan modalnya untuk mengelolaannya. "Kalau minyak
bumi ini bisa diolah, tentu Lombok Utara khususnya akan menjadi sebuah
kabupaten yang kaya dan akan mampu bersaing dengan kabupaten-kabupaten yang
sudah maju lainnya di Indonesia", ungkap tuan guru yang memiliki ratusan
ribu jama'ah ini.
d.
Inovasi
Inovasi
kearifan lokal tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung merupakan bagian
yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah, karya-karya murni masyarakat sasak
harus diprioritaskan sebagai daya saing masyarakat sasak dalam menghadapi pasar
bebas. Mulai dari kain tenun sasak, gerabah, kesenian, tradisi, permainan (Gansring,
Slodor, Benteng, Cungklik, dll), dan karya-karya masyarakat lokal yang saat
ini masih dilirik sebelah mata oleh pemerintah.
e.
Investasi
Investasi dalam
mewujudkan pembangunan yang merata diseluruh daerah adalah bagian yang penting
terhadap kemandirian masyarakat. Namun, investasi tidah hanya bersumber dari
investasi asing, melainkan investasi lokal juga perlu ditumbuhkan. Pemerintah
bersama para pengusaha lokal dapat merumuskan hal ini dengan matang, tujuan
utamanya adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pengusaha
lokal untuk mengembang tanah kelahirannya.
Dengan
demikian, kita semua dapat membayangkan sebuah kemandirian baru masyarakat
sasak di masa mendatang, sebuah perubahan yang membawa masyarakat menuju
keadilan sosial yang tinggi, kesejahteraan yang merata, pendidikan yang merata,
akses kesehatan yang mudah,
D.
Kesimpulan
Pada
dasarnya, semua perubahan ini semata-mata tidak dibawa oleh modernisasi,
melainkan pergeseran waktu yang membawa masyarakat untuk lebih luas dalam
berpikir. Bagi penulis, dunia modernisasi salah satu yang membuat perubahan itu
terjadi. Jika modernisasi sebagai biang kerok terhadap hal tersebut, maka masih
banyak masyarakat yang tidak memahami dunia modernisasi dan masih menjalankan
hidup mereka dengan gaya turun-temurun yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Akan tetapi permasalahan sesungguhnya terletak pada generasi muda “mau membawa
ke arah mana masyarakat sasak melalui modernisasi ini”. Apakah tradisional yang
selama ini telah mendarah daging akan dirubah total, bak kacang lupa kulitnya?
Ataukah ada sebuah solusi baru yang ditawarkan?
Slamet, M. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membetuk Pola Perilaku Manusia
Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. (Bogor: IPB
Press, 2003). Hlm. 45