Sabtu, 01 November 2014

BERUGAQ INSTITUTE

Posted by Unknown On 00.47 | No comments





“Cita-Cita Luhur Berugaq Institute”

Berugaq Institute adalah sebuah wadah yang memiliki harapan besar melalui pengurus-pengurusnya, dimana harapan besar ini antara lain; dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap permasalahan-permasalahan sosial masyarakat sasak, kualitas pendidikan yang lebih baik, jaminan kesehatan yang terjangkau dan dapat dijangkau oleh masyarakat miskin sasak, nilia-nilai budaya sasak yang dapat menjadi nilai-nilai utuh sebagai warisan leluhur, keberfihakan kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap masyarakat kelas bawah. Dengan harapan dan kepentingan ini, maka kepentingan-kepentingan yang bersifat privat para pengurus Berugaq Institute dapat dijalankan dengan professional, agar keharmonisan dan komitmen yang ada tetap terjaga dengan baik.

Berugaq Institute sebagai wadah memandang penting terhadap permasalahan sosial masyarakat sasak yang selama ini menjadi momok yang menakutkan. Program pro-rakyat yang selama ini dijalankan, masih terjadi kejanggalan-kejanggalan dalam aplikasi walau secara perencanaan tersusun dengan rapi. Kemiskinan sebagai wajah Lombok yang nyata telah berdampak negative terhadap standar hidup masyarakat sasak, dimana kebutuhan pokok masyarakat sasak (masyarakat kelas bawah) dalam menjalankan hidup sehari-hari seperti “sandang, pangan dan papan” membutuhkan perjuangan yang berat. Selain dibenturkan dengan kerasnya persaingan melawan pemodal-pemodal besar, juga dibenturkan dengan minimnya kebijakan-kebijakan pro-rakyat.

Selain itu, dampak dari kemiskinan dapat dilihat dari segi pendidikan, banyak generasi muda harus dibenturkan dengan kenyataan pahit, mahalnya biaya pendidikan membuat mereka harus memiliki keputusan yang tidak sesuai dengan harapannya, mereka harus memutuskan untuk mencari nafkah agar dapat bertahan hidup dan pendidikan harus terabaikan. Dari sisi kesehatan, masyarakat miskin membutuhkan uluran tangan pemerintah agar dapat membiayai segala bentuk yang harus dibayar. Permasalahan ini tentu saja merupakan bagian yang harus dikaji sedalam-dalamnya untuk menemukan solusi yang nyata, selain untuk meningkatkan sumber daya manusia Lombok, juga guna kemandirian masyarakat Lombok yang utuh.

Dengan kondisi ini, maka Berugaq Institute menekankan agar hal-hal yang digambarkan diatas dapat dikaji secara terus menerus. Berugaq Institute membutuhkan komitmen yang jelas terhadap para pengurus sebagai pelaksana dari tujuan maupun kepentingan Berugaq Institute, cita-cita luhur demi kesejahteraan sosial adalah beban yang diberikan secara utuh kepada para pengurus. Oleh karena itu, Berugaq Institute membutuhkan ide-ide yang cemerlang dari setiap pengurus yang ada, agar cita-cita luhur tersebut dapat terwujud semaksimal mungkin. Dengan kata lain, para pengurus Berugaq Institute harus memiliki ikatan yang kuat dengan Berugaq Institute sebagai wadah itu sendiri, ikatan itu harus mampu disatukan bagai ikatan kekasih yang tak dapat dipisahkan.

Dengan demikian, konsep hubungan antara wadah dengan yang diwadahi (Berugaq Institute dengan para pengurusnya) tidak tumpang tindih secara internal maupun eksternal. Sehingga cita-cita luhur demi keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai kepentingan mutlak dari Berugaq Institute dapat diwujudkan oleh para pengurus.

Maka dengan ini, Berugaq Institute menghimbau kepada seluruh pengurus untuk tetap eksis dalam menjalankan diskusi “satu kali dalam seminggu” yang sudah ditetapkan saat dibentuknya Berugaq Institute sebagai wadah dalam menunjang keilmuan dan memberikan manfaat terhadap orang lain, karena “sebaik-baiknya manusia adalah orang-orang yang hidupnya bermanfaat buat orang lain”.




Tertanda;

Direktur Berugaq Institute                                               Sekjen Berugaq Institute



Salimuddin, S.Th.I                                                              Syukur, S.Sos.I


Senin, 27 Oktober 2014

Agama dan Modernisasi "diskusi ke-2"

Posted by Unknown On 21.45 | No comments

Agama, Modernitas, Dan Masyarakat Sasak; Bisakah di Sandingkan??[1] 
Oleh: MSI (M. Salimudin Ishak)


Dr. Al-Makin, seorang doktor sekaligus adalah dosen Sosiologi Agama-UIN Sunan Kalijaga dalam sebuah diskusi (seminar) menyatakan “Indonesia adalah Negeri tersubur di dunia”. Indonesia selain sebagai negara yang sangat kental dengan adat dan tradisi, gotong royong dan religiusitas (keberagamaan) yang tinggi juga merupakan negara yang sangat terbuka, subur, legowo dan lainnya. Kesuburan ini terlihat dengan jumlah agama yang menjamur di Indonesia saat ini,[2] baik yang merupakan agama pribumi asli maupun juga agama bawaan masyarakat luas. Begitu juga jika dilihat dari aliran yang ada di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat; adanya aliran Syi’ah yang bernegara di Iran, Ahmadiyah di India, Wahhabi di Saudi Arabia dan sekitarnya, dan tak terlupakan ISIS yang saat ini masih ‘memanas’. Kesemua aliran keagamaan tersebut terlihat merupakan bawaan atau Islam Transnasional yang dibawa ke Indonesia. Karena pada dasarnya Indonesia, dalam sejarahnya hanya mengenal istilah Islam Nahdliyin (NU/NW) di Jawa, dan Lombok, Muhammadiyah di Jogjakarta, Persis di Jawa Barat, al-Washitiyah di daerah Sumatera. Semua organisasi Islam pribumi tersebut  pada intinya memiliki ruh yang sama, yakni Islam Keindonesiaan.

Wacana Indonesia ‘subur’ diatas membawa penulis kepada pembahasan yang lebih kepada permasalahan sosial masyarakat Sasak terkait kemodernan. dan tetntunya sudah bisa ditebak bahwa, Indonesia saat ini, dimanapun, Desa terpencil-pun sudah terkena dengan arus modernisasi. Ini bisa dibuktikan dengan- sebagaimana tulis Fakhr al-Rasyid[3]-menjamurnya americanisasi, Chinaisasi, Inggrisisasi, dan Indomart, Alfamart, dan sejenisnya yang merupakan produk modern Barat. Di satu sisi juga membuktikan, tesa di atas; Indonesia adalah negara tersubur.

Namun kemudian, selain permasalahan sosial versus modern tersebut, tema krusial dan fundamental adalah masalah keberagamaan masayarakat Indonesia (dalam hal ini masyarakat Sasak) dalam menghadapi arus modernisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Ini artinya, modernisasi adalah sudah mutlak adanya, dan masyarakat beragama harus menjadikan abad modern menjadi kawan, bukan lawan. Sampai disini, pertanyaan yang akan di jawab adalah; Bagaimana Karakter keberagamaan dalam Masyarakat Sasak secara umum? Sudah siapkah masyarakat Sasak menerima Kemodernan? Bagaimana Solusi Konkrit untuk Menyeimbangi antara Agama dan Kemodernan yang tidak, jika di baca dalam perspektif al-Qur’an?

Jawaban Pertama, Pada dasarnya, dalam masyarakat Sasak, Agama merupakan elemen yang sangat penting. Agama tidak hanya menjadi pondasi sosial dalam membina moralitas individu dan kelompok, melainkan agama juga harus menopang segala lini sistem sosial, tradisi, budaya, maupun politik. Karenanya, melanggar agama juga sekaligus melanggar adat/tradisi. dianggap melanggar tradisi (sebagai contoh, sistem awek-awek yang diterapkan di beberapa Desa misalkan menyatakan: jika berzina atau mabuk di tempat atau desa tertentu, maka akan melanggar tradisi setempat. Disni terlihat agama mengikat dan seiring sejalan dengan tradisi). Sampai disini, dapat dikatakan agama dalam masyarakat Sasak akan terus menjadi ujung tombak kemajuan dan memajukan peradaban dalam segala aspek. Namun, sekali lagi akan tetap terjadi, jika peran agama di maksimalkan dalam berkehidupan.

Jawaban Kedua, terkait kesiapan masyarakat Sasak dalam menghadapi arus modernisasi. Dalam kacamata pribadi penulis, sekali lagi dalam pandangan “pribadi” penulis, Masyarakat Sasak terlihat belum siap dalam menerima arus Globalisasi dan/atau modern. Beberapa alasan bisa disebutkan disini:, pertama, bahwa masyarakat Sasak saat ini kebablakan dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan munculnya berbagai perubahan tersebut, meniscayakan adanya persaingan antar kelompok dan individu (individualisme). Hal demikian sedikit banyak pasti akan berdampak pada kualitas keberagamaan menjadi terkikis. Kedua, masyarakat kalangan remaja seiring pergumulannya dengan modern, ingin berpenampilan ‘modern’ nan gaul. Ini terbukti dengan mulainya bermunculan gengster, pergaulan bebas baik anak Mahasiswa maupun Sekolah Menengah, seks bebas yang merupakan ‘anak angkat’ dari kemajuan IT, serta perjudian dan minum-minuman yang sudah menjadi hiasan masyarakat perkotaan bahkan pinggiran desa di masyarakat Sasak. Ini semua, pada akhirnya akan memberangus nilai-nilai agama di masyarakat Sasak. Ini artinya, karakter keberagamaan (penjelasan pada jawaban pertama) masyarakat Sasak sudah mulai berubah-jika tidak ingin mengatakan menghilang-.

Jawaban Ketiga, bagaimana sikap yang ditawarkan al-Qur’an?. Al-Qur’an memang bukanlah kitab modern, tapi juga bukanlah semata untuk masyarakat ‘Arab’ semata-yang pada waktu itu belum adanya istilah modern, globalisasi, IT, dan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan, al-Qur’an dalam beberapa tempat juga mewanti-wanti akan adanya arus masa depan.[4] Terkait hal ini, al-Qur’an dalam surat al-Baqarah memberikan suatu ungkapan “ummatan wasathan” yang penulis terjemahkan dengan umat yang moderat. Ayat tersebut, kiranya menjadi tawaran al-Qur’an dalam menyikapi modernisasi. Moderat diartikan dengan tidak menolak secara mentah, begitu juga tidak menerima modernisasi seadanya. Perlu diadakannya filter atau klarifikasi/selektif, yang mana nantinya akan membawa  kepada peradaban masyarakat yang memiliki mental dan Iman yang kuat.

Problema diatas, tentunya menjadi masalah dan tanggung jawab bersama, begitu juga Berugaq Institute. Dengan demikian solusi sekaligus tawaran dari penulis adalah: pertama, Respon cepat yang harus ditunjukkan oleh para pemegang ‘amanah’ rakyat (pemerintah-pemangku adat dan Agama) terhadap bahaya modernisasi yang di khawatirkan. Dengan demikian, perlu diadakannya filterisasi terhadap budaya asing yang masuk ke dalam masyarakat Sasak. Kedua, diadakannya pembugaran kembali (Refresh) akan budaya asli Sasak kepada masyarakat (terlebih kalangan muda) yang diiringi dengan pemahaman karakter agama Islam yang kokoh. Dengan demikian akan didapat pemahaman agama yang lebih arif dan ramah terhadap lokal. Begitu pula, dengan pemahaman agama yang kuat, akan berimplikasi pada penyaringan yang sehat oleh masyarakat terhadap budaya asing, apakah budaya tersebut sesuai dengan ruh agama atau tidak.[5]




[1] Disampaikan dalam diskusi rutin nan wajib BERUGAQ INSTITUTE, Malam Kamis, tanggal 22 Oktober 2014. Di depan Gedung Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38%, sensus tersebut berdasarkan agama-agama yang resmi di Indonesia. Namun sebenarnya terdapat ratusan agama (tidak resmi) pribumi dan juga agama luar. http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=agama-2&info1=e  diakses pada tanggal 22 oktober 2014
[3] Fakhr al-Rasyid adalah Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, juga merupakan Koordinator dalam bidang Kajian dan Advokasi di Berugaq Institute.
[4] Penulis menangkap bahwa, penggunaan kata dengan fiil mudharek dalam setiap tempatnya al-Qur’an memberikan pemahaman bahwa, adanya relasi masa depan yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan.
[5] Sampai disini, perlu ditegaskan bahwa, tidak semua wajah agama yang ada menerima arus perubahan modern. Dalam Islam tercatat tidak sedikit aliran-aliran yang sangan ‘sinis’ dengan kemajuan. Dengan dalih, hidup harus disesuaikan dengan zaman Nabi, segala tindak tanduk harus mencontohi kehidupan nabi Muhammad yang 15 Abad silam.

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this