Oleh: Ishak Hariyanto[1]
Email. ishakharianto@yahoo.co.id
Berbicara tentang eksistensi
sesungguhnya disini merujuk pada keberadaan serta tradisi yang ada dalam masyarakat sasak. Tradisi disini
sesungguhnya terkait tentang sebuah kebiasaan yang ada
disebuah komunitas masyarakat, salah satunya adalah tradisi ngorek[2] yang ada di masyarakat Lombok. Ngorek ini adalah sebuah tradisi yang
menggunakan benda-benda tajam seperti pisau, pedang untuk membacok diri sendiri—kebiasaan
ini sering dilakukan oleh para pemuda dan bahkan anak-anak sasak yang ada di Lombok
Tengah, hal ini dilakukan sebagai sebuah simbol kekuatan yang sengaja
dipertunjukkan ketika dalam sebuah acara nyongkolan[3]
(seremonial perkawinan).
Tradisi ngorek ini hanya ada di Lombok secara umum dan secara khusus di Lombok
Tengah. Penulis sendiri tidak tau secara pasti kapan dan apa yang
melatarbelakangi terjadinya kebiasaan ngorek ini, akan tetapi sejauh analisis penulis; hal
ini dilatar belakangi oleh sebuah perlawanan para pemuda, baik dari dominasi
politik, ekonomi dan sosial, dari dominasi tersebut hal ini ditunjukkan dari
tradisi ngorek/membacok diri di depan orang banyak sebagai manifestasi bahwa
sesungguhnya pemuda sasak memiliki power
sebagai sebuah perlawanan.
Tradisi
ngorek ini dalam sejarahnya tidak ada—karena dalam budaya sasak ketika ada
orang kawin maka akan ada tradisi nyongkolan
saja; yakni iring-iringan keluarga serta kerabat pengantin laki-laki ke rumah
pengantin perempuan dan di iringi dengan musik tradisional sasak yang disebut gamelan. Acara iring-iringan pengantin
ini pada awalnya berjalan dengan damai serta aman karena murni di iringi dengan
musik serta iring-iringan keluarga serta kerabat pengantin—Akan tetapi seiring
perkembangan zaman tradisi nyongkolan
ini tidak hanya di iringi oleh musik
gamelan[4] serta kerabat, keluarga penganti saja—akan tetapi tetapi saat ini nyongkolan dalam tradisi sasak ini juga di
iringi oleh tradisi ngorek tersebut.
Seperti
penulis katakan di atas bahwa sejak kapan tradisi ngorek ini mulai berkembang dan mengakar di tengah-tengah
masyarakat sasak—oleh karena itu asumsi sementara penulis hal ini di latar-belakangi
oleh adanya dominasi politik, ekonomi dan
sosial. Asumsi penulis ini diperkuat dengan adanya masyarakat sasak yang
melakukan sebuah perlawanan serta menunjukkan kebolehan ngorek/membacok diri di ketika acara nyongkolan sedang berlansung.
Ngorek ini
dilakukan oleh para pemuda dan bahkan anak-anak, pada saat acara nyongkolan (seremonial pernikahan)
masyarakat sasak. Eksistensi ngorek saat ini sudah menjadi sebuah kebiasaan
yang ada di masyarakat sasak[5] Lombok Tengah sebagai sebuah
tontonan ketika melakukan iringan pengantin—dan dalam ngorek
ini ada hal-hal yang bersifat mistik yang tidak bisa dijangkau oleh logika
kita, karena ngorek ini dilakukan dengan penuh nuansa mistik.[6]
Pengertian mistik
misalnya menurut—Margaret Smith mendeskripsikan mistisme; sebagai bagian
terpenting dari semua agama yang benar, yang bangkit menentang formalitas beku
dan ketumpulan religius, tujuan mistisme menurutnya untuk membangun hubungan
sadar dengan yang absolut dimana manusia
menemukan objek
cinta yang bersifat
personal (personal object of love). Dalam hal mistik juga Evelyn
Underhill tidak kalah penting dalam memberikan pengertian mistik. Mistik menurutnya
adalah—kesatuan antara tuhan dan jiwa manusia dan pengertian lebih lanjut Underhill
mengatakan jalan mistik utamanya dipahami sebagai sebuah proses sublimasi yang menuntun
hubungan diri manusia dengan tuhan sampai pada tingkat yang lebih tinggi
daripada hubungan yang terjadi pada kesadaran moral.[7]
Sebelum
melakukan ngorek terlebih dahulu sang
pengorek harus memiliki mantera atau doa-doa serta ritual yang harus dijalani,
karena kebiasaan masyarakat sasak dulu—masih kuatnya dunia kepercayaan terhadap
sesuatu baik itu benda dan bahkan roh-roh yang memiliki kekuatan supranatural
untuk memberikan kekuatan, dan mungkin hal ini sejalan seperti apa yang telah
dikatakan oleh E.B Tylor dalam konsep animismenya.[8] Dalam konsep yang lain juga E.B Tylor menyebutnya dengan
dinamisme dalam bahasa yunani berasal dari kata dunamos.[9]
Menarik
dalam konteks masyarakat sasak seperti apa yang dikatakan oleh E.B. Tylor di
atas sama halnya dengan kepercayaan yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat
sasak—yakni kepercayaan terhadap benda-benda yang memiliki sebuah kekuatan
natural tersendiri, salah satunya tradisi ngorek
ini maish berlaku dan bahkan semakin berkembang di masyarakat sasak—hal ini di
tandai oleh tradisi ngorek tersebut,
karena ngorek ini dilakukan dengan
penuh nuansa mistik maka masyarakat sasak masih senang menjaga tradisi ngorek tersebut. Ngorek seperti penulis
katakana di atas bahwa—membacok diri sendiri dengan benda-benda tajam, akan
tetapi sebelum membacok diri sendiri dengan benda tajam terlebih dahulu sang-pengorek
harus berdoa agar tubuhnya tidak tembus oleh benda tajam tersebut. Biasanya
para sesepuh
atau orang tua memberikan sejenis rokok kepada sang-pengorek yang sudah
diberikan mantera-mantera dan juga disuruh mengunyah buah pinang dan bahkan daun sirih yang sudah
diberikan mantera-matera juga. Ketika sang-pengorek sudah menghisap
rokok dan juga mengunyah daun sirih
tersebut tubuh sang-pengorek akan terasa gatal dan obatnya hanya
menggunakan benda tajam untuk membacok diri dan itulah yang disebut dengan ngorek.[10]
Membacok
diri sendiri yang disebut dengan ngorek
yang ada di masyarakat sasak ini sekarang sudah
mengakar dan menjadi sebuah kebiasaan masyarakat sasak,
khususnya di Lombok Tengah Desa Penujak dan sekitarnya, berbeda dengan
desa-desa lain. Suatu hal yang
membuat ngorek ini menjadi menarik yakni harus di iringi dengan musik gendang beleq atau sejenis gamelan, apabila musik gendang beleq ini
sudah di tabuh maka para pemuda mengeluarkan pedangnya untuk membacok diri dan
bahkan menggorok leher sendiri, akan tetapi setelah musik berenti di tabuh maka
berenti pula aktifitas ngorek itu, karena ngorek ini penuh dengan nuansa mistik
karena harus ada doa-doa yang harus dibaca supaya menjadi kebal dan benda-benda
tajam tidak bisa melukai tubuh sang-pengorek, hal ini memang terlihat sangat
menarik karena bagian dari tontonan masyarakat yang belum pernah melihat
tradisi tersebut dan bahkan pula tradisi ini oleh orang menganggap bahwa ngorek
ini sangat ekstrim dan bahkan menakutkan sekali karena menggunakan benda-benda
tajam untuk membacok diri.
Ngorek ini
kadang-kadang bisa berakibat sangat fatal bagi sang-pengorek karena walaupun
sudah menggunakan doa, menghisap rokok yang sudah dikasih mantera-mantera
itupun bisa membuat sang pengorek terkena oleh parangnya sendiri apabila tidak memiliki
ilmu kebal yang lebih kuat. Dan yang cukup mengherankan juga ngorek ini hanya
bisa dilaksanakan ketika proses nyongkolan
atau iring-iringan pengantin, karena mantera-mantera dari rokok dan daun sirih
yang digunakan sang-pengorek itu hanya berlaku pada momen nyongkolan itu saja,
dan apabila sudah keluar dari barisan nyongkolan atau bahkan nyongkolan sudah
berahir maka mantera-mantera ngorek itu berahir juga dan tidak bisa digunakan
lagi.
Dari
sinilah kita bisa melihat kekuatan mantera-mantera serta doa yang dipakai
seseorang agar menjadi kebal ketika proses ngorek itu dilkasanakan, dan bahkan
antara ngorek dan juga musik gendang belek memiliki hubungan yang kuat, seperti
penulis katakan di atas bahwa ketika musik sudah mulai ditabuh maka para pemuda
yang ingin ngorek lansung membacok dirinya dan menggorok lehernya. Penulis
menganggap bahwa ngorek ini mulai muncul dan menjadi sebuah tradisi ketika
tahun 2007-an dan ketika itu penulis baru selesai di bangku Sekolah Menengah
Atas (SMA).
Tulisan yang
singkat ini berdasarkan pengalaman penulis dan terjun lansung dalam menyaksikan fenomena ngorek
di tengah-tengah masyarakat sasak. Fenomena ngorek
ini sudah
menjadi sebuah kebiasaan para pemuda disana. Kemunculan ngorek ini sangat menarik minat penulis untuk meneliti serta
menganalisisnya, apa yang melatarbelakangi sehingga muncul fenomena ngorek ini. Asumsi sementara penulis tentang keberadaan ngorek ini muncul
sebagai sebuah bentuk perlawanan kaum laki-laki terhadap kondisi politik,
ekonomi dan sosial—dan juga kemunculan ngorek ini dipicu oleh sikap kaum laki-laki yang ingin
menunjukkan kejantanan serta superioritas mereka dalam menunjukkan eksistensinya
di tengah-tengah masyarakat sasak.
Akan tetapi fenomena
ngorek ini tidak bisa dipahami tanpa merujuk pada sistem
perkawinan masyarakat sasak yakni—sistem perkawinan merarik (kawin lari). Merarik
kawin lari yang ada di lombok sebagai sebuah tradisi dalam menjalankan
perkawinan. Antara tradisi ngorek
dengan merarik ini saling terkait dan
memiliki hubungan yang sangat erat—karena ngorek ini terjadi apabila ada perkawinan
dalam masyarakat sasak yang berujung pada prosesi nyongkolan yang dilakukan
oleh masyarakat sasak. Memang konsep merarik
memiliki keunikan tersendiri dan juga
memiliki tujuan, dimana keunikan perkawinanan merarik (kawin lari) ini
harus dilakukan dengan memaling[11]
mencuri gadis terlebih dahulu sebagai calon istri,
sedangkan tujuan dari kawin lari ini dilakukan untuk mempertahankan budaya
lombok dan juga sebagai sebuah perlawanan kaum laki-laki terhadap kondisi
politik, ekonomi dan sosial. Fenomena budaya kawin lari ini sangat menarik
karena merujuk pada masyarakat yang menganut sistem perkawinan yang meyakini
bahwa secara kebudayaan adalah sebuah cara yang paling disetujui oleh kaum
laki-laki dalam menunjukkan superioritas dan kejantanannya sebagai respon dari
dominasi politik dan ekonomi dari kekuatan-kekuatan internal dan eksternal.
Keberadaan
suatu tradisi tentu memiliki penyebabnya, baik itu ekonomi, politik dan juga
perubahan sosial—diantara tradisi itu adalah ngorek yang ada di masyarakat sasak Lombok Tengah. Keberadaan tradisi ngorek
ini tentu bukanlah hal yang kebetulan “sunnatullah” terjadi begitu saja secara
alami. Penulis menekankan keberadaan suatu tradisi di dalam masyarakat manapun
pasti ada penyebabnya—terlebih lagi fenomena ngorek di Lombok, maka dari itu akan menjadi tugas kita untuk
meneliti secara mendalam dan menganalisisnya secara lebih jauh guna mendapatkan
pemahaman dibalik “sunnatullah”. Penulis sendiri sangat menghindari corak
pemikiran “sunnatullah” karena cenderung akan terjebak dalam pemikiran apologetis—maka alangkah baiknya dibalik
fenomena sunnatullah ini kita cari jawabannya agar muncul nalar ilmiah yang
lebih kritis dan sistematis.
Dalam tulisan
yang singkat ini penulis ucapkan banyak terimaksih, kami tunggu comment,
kritikan, sanggahan serta masukan saudara-saudara. Matur tampiasih..!!!
[1]Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta Jurusan Filsafat Islam (Prodi Agama dan Filsafat).
[2]Ngorek ini adalah istilah dalam bahasa
sasak yang memilki makna membacok diri
dengan benda-benda tajam sebagai bentuk
perlawanan kaumlaki-laki atas dominasi politik, ekonomi dan sosial. Ngorek ini juga bertujuan menunjukkan
eksistensi kaum laki-laki bahwa diri mereka perkasa, akan tetapi ngorek ini akan menuai kontroversi
bahkan dapat mengakibatkan permusuhan diantara masyarakat, karena ngorek ini
tidak lain hanya bertujuan untuk menunjukkan sikap superioritas serta
keberanian kaum laki-laki bahwa diri mereka kebal atas benda-benda tajam.
[3]Konsep Nyongkolan ini dilakukan dengan iring-iringan menuju rumah orang
tua pengantin perempuan ini para masyarakat disana semua berdandan, berhias dan
juga menggunakan pakaian adat sasak untuk ikut mengiringi pengantin menuju
kerumah orang tua pengantin perempuan sambil diiringi musik ciloka’ dan gamelan. Sedangkan dipihak keluarga perempuan juga akan menyiapkan musik dan segala hal untuk
menyambut datangnya pasangan pengantin untuk proses sorong serah (serah terima) pengantin yang sayah dimata sosial masyarakat
dan juga hukum Islam.
[4]Gamelan dan gendang belek
adalah musik tradisional suku sasak. Gendang belek ini tidak jauh berbeda
dengan gamelan yang ada di budaya
Bali, alat musik yang digunakan hampir semuanya sama akan tetapi
yang membedakan hanya dari segi pakaian
yang digunakan oleh pemain musik.
[5]Kata sasak
merujuk pada suku yang ada di pulau Lombok, sasak ini adalah nama suku asli
penduduk pulau Lombok yang sering disebut dengan masyarakat suku sasak.
[6] Mistik (mysticism)
adalah keyakinan dalam penyatuan dengan hakikat ilahi lewat cara-cara
kontemplasi ekstatik, dan keyakinan dalam kekuatan akses spiritual
menujurealitas ultimate atau wilayah pengetahuan yang terbuka bagi pemikiran
sehari-hari. Lihat Simon Blackburn dalam The
Oxford Dictionari of Philosophy, terj. Yudi Santoso, cet ke-I 2013, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 581.
[8]Kata animisme berasal dari
bahasa latin, anima yang berarti roh,
yaitu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada dibalik sesuatu. Animisme adalah bentuk pemikiran paling tua yang
dapat ditemukan dalam setiap sejarah umat manusia. Lihat Daniel l. Pals, Seven Theories of Religion,
terj. Inyiak Ridwan Muzir, cet ke-II (Yogyakarta, IRCiSoD, 2012). 41.
[9]Dinamisme dan di
inggriskan menjadi dynamis yang dalam
bahasa indonesia berarti kekuatan, kekuasaan atau khasiat. Selanjutnya kata
tersebut menurut Honig dalam Ahmad Abd Syakur dinamisme diartikan dengan jenis
paham dan perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai bagian dunia, pada
berjenis-jenis bangsa dan menunjukkan banyak persamaan. Baca Ahmad Abd Syakur dalam E.B. Tylor. Islam dan kebudayaan
Akulturasi Nilai-Nilai Islam Dalam Budaya Sasak. (Yogyakarta, Fak Adab
Press UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 19.
[10]Akibat mengkonsumsi rokok,
daun sirih, atau dalam bahasa sasak pamaQ
yang sudah diberikan mantera-mantera oleh sesepuh maka sang-pengorek merasakan
hal yang berbeda dalam tubuh mereka, tubuh sang pengorek mulai merasakan gatal-gatal
serta mereka menjadi percaya diri karena diakibatkan oleh mantera-mantera tadi.
Dan untuk menghilangkan rasa
gatal dalam tubuh mereka, maka sang pengorek harus membacokkan diri mereka
dengan benda-benda tajam sebagai obatnya.
[11]Memaling dalam
bahasa Indonesia adalah mencuri, akan tetapi memaling ini memiliki makna yang
lebih sfesifik yakni sebuah perkawinan, pernikahan atau konsep dalam masyarakat
suku sasak ketika menjalankan tradisi perkawinan, karena fenomena budaya kawin
lari ini sangat menarik karena merujuk pada masyarakat yang menganut sistem
perkawinan yang meyakini bahwa secara kebudayaan adalah sebuah cara yang paling
disetujui karena ini termasuk dalam penjagaan
kearifan lokal (local wisdom) yang dimana kaum laki-laki dalam
menunjukkan superioritas dan kejantanannya adalah sebagai respon dari dominasi
politik dan ekonomi dari kekuatan-kekuatan internal dan eksternal.