sumber gambar; lakilakibaru.or.id
oleh; Yayuk Al-Ghazali (Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram)
Kisah Adam dan Hawa dengan segala
rumusan yang bisa ditafsirkan bermacam-macam menggambarkan suatu fase dari
fase-fase perkembangan manusia dalam meraih pengetahuan secara bertahap dan
hubungan pengetahuan tersebut dengan gender dan perempuan adalah, Lebih baik
bagi para pemikir dan filosof laki-laki (bila mereka bebas dari cara pandang
patriarki) untuk mengetahui bahwa Adam ketika memperoleh pengetahuan yang baik
maupun yang jahat dengan cara memakan buah dari suatu pohon, dia sebenarnya
tidak “jatuh” melainkan naik dengan kemampuan akal dan kemampuannya dari tingkat
hewan. Oleh karena itu Hawa bukanlah penyebab “jatuh”nya Adam melainkan yang
menyebabkannya “naik”. Begitu pula seks, bukanlah penyebab “kematian” melainkan
yang menyebabkan “kehidupan” serta keberlangsungannya manusia. Dari sini,
pandangan dan teori-teori tentang perempua dan seks bisa diubah sehingga
kedudukan perempuan bisa diangkat dan seks terlepas dari pemikiran tentang dosa
dan kesalahan yang selama ini melekat padanya.
Hanya saja laki-laki mengingkari
sejarah, banyak mencurangi hak-hak perempuan dan menempatkan perempuan diposisi
yang terhina serta menjadikan kedudukan ini sebagai kehormatan sekaligus agama
yang tidak bisa dibantah oleh siapapun. Juga sebagai undang-undang yang
menghukum dengan hukuman mati atau penjara bagi siapa saja yang memikirkannya
secara objektif.
Kedudukan perempuan yang tinggi didalam
masyarakat dan agama sudah cukup lama
dikenal dalam sejarah manusia begitu pula penasaban anak pada ibunya. perempuan dalam masyarakat
matriarki memperoleh kedudukan dewi dan
kedudukan ini tidak dirampas laki-laki kecuali setelah tumbuhnya sistem patriarki dan penasaban anak pada bapaknya.
Keragaman pendapat tentang
sebab-sebab yang menjadikan laki-laki menguasai perempuan dan bukan sebaliknya.
Salah satu dari pandangan tersebut
didasarkan pada alasan bahwa perempuan zaman dahulu sibuk melahirkan
anak karena zaman menuntut pertambahan keturunan yang besar untuk menggantikan
jumlah orang yang meninggal dan untuk mencukupi jumlah tenaga kerja pada lahan
pertanian yang baru.
Dengan bertambah banyaknya
kepemilikan individu ini, maka terjadilah pembagian kelas dalam masyarakat
menjadi tuan dan budak. Hal ini diikuti dengan merosotnya nilai perempuan
didalam masyarakat dan keluarga. Laki-laki mulai menguasai perempuan dalam
bidang ekonomi, sosial dan agama. Perempuan kehilangan kedudukannya dalam agama
dan ritual keagamaan. Laki-laki monopoli urusan keagamaan bagi dirinya sendiri
sehingga Tuhan hanyalah milik laki-laki saja sementara kedudukan perempuan
merosot kedalam kehidupan keagamaan yang terendah. Laki-laki menjadi kepala
keluarga sekaligus pemimpin agama yang mengatur jalannya ritual keagamaan.
Dalam masyarakat patriarki ini perempuan sederajat dengan budak yang hidup dan
matinya berada ditangan laki-laki. Ia dan anak-anaknya sederajat dengan budak,
harta dan tanahnya.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai masyarakat Indonesia berada
dalam taraf transisi dan juga dalam proses modernisasi. Masalah nilai-nilai
tradisional masih merupakan permasalahan yang belum terselesaikan, dan malah
diberbagai masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit dapat
diselesaikan.
Salah sebuah masyarakat tradisional
yang menjadi bahan perdebatan dan malahan konflik ialah masalah kedudukan dan
hak-hak wanita, baik ditengah masyarakat maupun dalam hubungan langsung antara
laki-laki dan perempuan secara sosial (kerja, tanggung jawab didepan hukum, dan
sebagainya) dan juga pribadi, baik didalam maupun diluar perkawinan. Kita dapat
meningat bahwa perjuangan perempuan Indonesia untuk mendapat kedudukan yang
lebih seimbang didalam lembaga perkawinan telah memakan waktu puluhan tahun,
dan baru dapat membawa perempuan Indonesia ke Undang-Undang Perkawinan yang
beberapa tahun lampau ini telah diundangkan. Meskipun demikian, kita masih
dapat melihat bahwa, isteri masih belum sepenuhnya dapat dilindungi dari
poligami tanpa persetujuannya.
Malahan kita melihat adanya
organisasi wanita yang kedudukan setiap perempuan didalamnya masih tergantung
seratus persen dari kedudukan hirarki suaminya didalam birokrasi atau lembaga
Negara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia masih harus
memperjuangkan haknya lebih banyak lagi, sebelum dia benar-benar menjadi oknum
mandiri bersama lelaki didalam masyarakat kita. Dibidang pemburuan masih banyak
keluhan mengenai kurang terjaminnya hak-hak perempuan. Sebuah contoh yang mudah
iyalah nasib pembantu rumah tangga (yang sebagian besar adalah perempuan) yang
setelah hampir setengah abad Indonesia merdeka masih belum dapat pengaturan hukum
yang layak, yang menjamin hak-hak sebagai pekerja. Banyak pembantu rumah tangga
bekerja tanpa jam kerja praktis nasib mereka sepenuhnya ditangan majikan,
apakah jika mereka sakit akan diberikan rawatan dan santunan kerja yang wajar?
Atau jika mereka sedang melakukan pekerjaan mendapat kecelakaan, apakah ada
asuransi atau jaminan ganti rugi perawatan yang wajar dan bagaimana pula dihari
tua mereka?
Kepincangan-kepincangan antara
perempuan dan laki-laki masih cukup banyak terdapat dimasyarakat yang sedang
berkembang dengan berbagai perbedaan taraf kepincangan negeri-negeri arab
terkenal sebagai masyarakat yang kedudukan perempuannya dianggap amat
terbelakang jika dibandingkan dengan hasil-hasil perjuangan persamaan kedudukan
dan hak antara perempuan dan laki-laki yang telah tercapai, tidak saja
dinegeri-negeri barat tetapi juga dibanyak masyarakat lain seperti negeri di
Asia dan Amerika Selatan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Yang Menjadi Benih Matriarki Di
Ranah Patriarki?
2.
Bagaimana Praktik “Maskulinisasi
Budaya” Perspektif Gender Dan Studi Wanita?
3.
Bagaimana Perempuan Sebagai Simbol
Dan Gerakan Perempuan?
4.
Seperti Apa Peranan Dan Partisipasi
Sosial Politik Perempuan Dalam Perspektif Islam?
C. Manfaat
Penulisan
karya tulis ini dikarenakan sebagai penunjang kreatifitas dan penambahan
wawasan penulis. Dan penulis berharap karya tulis ilmiah ini bisa bermanfaat kepada
pembaca terutama orang banyak. Karena sangat penting sekali isi dari tulisan
ini kepada orang lain karena membahas tentang kesetaraan kedudukan kita sebagai
manusia.
D. Tujuan
Penulisan dari
karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk:
a.
Memberikan wawasan lebih luas kepada
pembaca tentang kukungan yang masih dilakukan kaum laki-laki kepada perempuan
b.
Untuk mengetahui sejarah atau benih
dari patriarki dan matriarki tersebut
c.
Untuk mengetahui apa yang menjadi
hakikat laki-laki dan perempuan
d.
Untuk mengetahui bagaimana praktek
budaya maskulin dalam masyarakat
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Benih Matriarki Diranah
Patriarki
Patriaki
merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan mebenarkan predominasi pria,
menimbulkan pemusatan kekuasaan privilase ditangan kaum pria, dan mengakibatkan
sontrol dan subordinasi wanita, menciptakan ketimpangan sosial antaraseks.[1]
Dengan
mempelajari sejarah beberapa suku di Afrika bisa dijelaskan bahwa kepemimpinan
perpindaha sistem matriarkal menjadi sistem patriarkat berlangsung secara
bertahap dan melalui kurun waktu yang tidak sedikit sebagaimana yang terjadi
pada sejarah mesir kuno. Suku Astiansi adalah salah satu contoh yang paling
jelas untuk masyarakat yang dipimpin oleh seorang perempuan dalam masa
peralihan karna mengikuti aturan perkawinan dari luar akan tetapi nasab
mengalir melalui ibu. Perempuan menikmati kedudukan yang tinggi dan wibawa yang
besar didalam kabilah karena perempuan adalah ibunda ratu. Akan tetapi suku ini
sedikit demi sedikit berubah dari masyarakat yang dipimpin oleh seorang
perempuan yang menjadi masyarakat yang dikuasai oleh laki-laki. Hal itu erat
hubungannya dengan kepemilikan laki-laki atas tanah dan usahanya untuk
menguasai anaknya sehingga terjadilah perubahan sistem dalam perkawinan dan
nasab dimana laki-laki mulai menjadi pemimpin.[2]
Ada juga suku Afrika yang berdiri diatas batas
yang memisahkan dua sistem matriarki dan patriarki seperti suku Yaku di
Tenggara Nigeria dan suku Aniaro di Pegunungan Nob di Kota Kardavan. Dalam
kedua suku ini, laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja diladang dan
sama-sama pula dalam memperoleh makanan. Oleh karena itu anak-anak dinasabkan
kepada ibu dan bapak sekaligus.
Kemudian
laki-laki mulai melepaskan diri dari kekuasaan perempuan dan memaksanya untuk
tinggal dirumahnya setelah perkawinan. Untuk memiliki mesin produksi yaitu
perempuan dan tanah, maka ditetapkanlah pewarisan perempuan dari diri keanaknya
sebagaimana anak laki-laki mewarisi saudaranya yang perempuan. Demikianlah
perubahan yang terjadi didalam suku yang matriarkat.
Diselatan India terdapat pula sebagian
daerah yang menganut sistem matriarki yaitu wilayah Kerola, dimana kedudukan
perempuan sangat tinggi dan amat dinasabkan kepadanya. Disana juga terdapat
suku-suku yang mengalami proses peralihan dari sistem matriarki kesistem
patriarkat. Sangat jelas disana bagaimana laki-laki ingin menguasai seluruh
alat produksi dan bagaimana pula mereka menguasai gudang keagamaan dan ketuhanan
serta upacara-upacara keagamaan. Padahal sebelumnya perempuan ikut serta dalam
menjalankan dan menjadi pemimpin dari ritual-ritual keagamaan.[3]
Dengan mempelajari kehidupan
suku-suku ini, diketahui bahwa anak dinasabkan pada ibunya karena ibu menikah dengan
beberapa laki-laki sehingga bapak anak tersebut sudah tidak diketahui lagi
lantaran banyaknya. Meskipun ibu sebagai kepala keluarga dan ia pula yang
memberi nafkah suami dan anak-anaknya, akan tetapi kepala suku mulai meletakkan
undang-undang dan aturan-aturan tertentu yang mereka sebut berasal dari Dewi
Shifa dan dimana tertulis bahwa laki-laki adakah penguasa dan ialah yang
mengekuarkan keputusan-keputusan serta membagikan rizki kepada manusia. Dengan
mengatas namakan pada undang-undang tersebut, laki-laki mulai menguasai upah
yang dihasilkan oleh perempuan dan mengangkat dirinya sebagai kepala keluarga
sehingga perempuan hanya menjadi buruh yang bekerja dibawah perintah laki-laki.
Sebagian laki-laki mulai menguasai para pekerja perempuan dengan memanfaatkan
undang-undang ini dan sebagian yang lain mulai menasabkan anak-anak pada
dirinya dan mewajibkan perempuan hanya memiliki satu suami agar bapak anaknya
bisa diketahui.
Suku-suku ini dianggap sebagai suku
pertengahan dalam proses peralihan antara sebagian sisa masyarakat matriarki
seperti di Kerola, sebelah Selatan India, menuju masyarakat patriarki yang
menguasai wilayah-wilayah utara Indisa, atau bisa juga dianggapa sebagi suku-suku
dalam proses perpindahan dari masyarakat lama yang dipimpin oleh perempuan
kepada masyarakat baru yang dikuasai oleh laki-laki. Sangat jelas bahwa
laki-laki tidak bisa lepas kekuasaan perempuan kecuali dengan cara ekonomi dan
penguasaan terhadap alat-alat produksi dan menguasai agama dengan cara membuat
undang-undang yang diprogramkan berasal dari Tuhan. Mereka juga memonopoli
Tuhan dan tempat ibadah yang khusus untuk laki-laki dan melarang masuknya
perempuan kedalam tempat-tempat tersebut. Padahal dahulu, perempuanlah yang
memiliki kemampuan untuk menciptakan kehidupan sedang laki-laki tidak
memilikinya. Perempuan zaman dahulu juga tampak lebih kuat dibanding laki-laki
didalam bidang-bidang kehidupan lain selain melahirkan anak.
2. Membongkar Praktik “Maskulinisasi
Budaya” Perspektif Gender Dan Studi Wanita
Tak pelak lagi, bidang studi
perempuan telah membidani lahirnya konsep Gender, istilah gender yang dahulu hanya
digunakan dalam konteks studi bahasa, kini telah memperoleh arti yang sama
sekali dalam studi akademis tentang perempuan.[4]
Berbagai peristiwa mutakhir seputar dunia perempuan diberbagai belahan bumi
telah menyebabkan masyarakat penelitian dibidang ini membutuhkan konsep baru
untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan. Paling tidak ada beberapa
masukan konsep gender dalam studi perempuan ini. Pertama, ketidak puasan dengan gagasan stratis tentang jenis
kelamin. Perbedaan antara pria dan perempuan menunjuk kepada sosok biologisnya
dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti laki-laki dan
perempuan dalam berbagai kebudayaan. Kedua,
gender menyiratkan bahwa kategori laki-laki dan perempuan merupakan konstruksi
sosial yang membentuk identitas laki-laki dan perempuan.[5]
Karenanya,
memandang perempuan dan pembangunan dari sudut pandang gender mendapat positif;
memperdalam pengertian kita tentang penyebab-penyebab perbedaan atau
ketidaksamaan berkelanjutan yang terdapat antara laki-laki dan perempuan serta
membantu mencari strategi-strategi yang baru dan bersifat lebih efektif untuk
menanggulanginya.
Disinilah kita melihat betapa
efektif gender senantiasa dipertimbangkan dalam kewajiban perempuan dan
pembangunan. Gender dipandang sebagai konstruksi sosial dan kodifikasi
perbedaan antar seks, konsep ini menunjukkan pada hubungan social antara wanita
dan laki-laki. Gender merupakan rekayasa sosial, tidak memiliki identitas
berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor idiologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, agama etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu
dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[6]
Di Indonesi khususnya dilingkungan
budaya jawa, kaum perempuan yang belum sanggup mengembangan mentalitas
kemandiriannya dan untuk keluar dari seluruh rangkaiannya dominasi yang
membelenggunya ternyata perannya masih saja ditemukan sistem kekuasaan Feodal
aristokratik. Budayawan terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan
perempuan sebagai kanca winking
(teman dibelakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung. Sosok budaya inilah yang
berkembang dibawah ilham “halus-kasar”
yang secara tegar menjelajahi semua sistem dalam masyarakat jawa. Sistem
kekuasaan feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan perempuan untuk
memiliki peran atau rule menjadi “penjaga
nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung”
didalam rumah.[7]
Belum lagi penentuan peran semacam
itu diubah, perempuanpun masih hidup dalam sosialisasi yang semakin mengukuhkan
citra bakunya. Konsep yang mempercayai bahwa kodrat perempuan sebagai makhluk
dengan tugas utama (dan mulia) sebagai penyambung keturunan, lemah lembut,
lebih emosional dan fisiknya kurang kuat, menurut para ahli justru ikut
mempertahankan kebudayaan gender dalam masyarakat. Meskipun tidak sedikit data
disuguhkan untuk menumbangkan asumsi ini, tapi kebudayaan seperti ini terus
berlangsung. Ideology domestisitas ataupun domestikasiwanita ternyata tidak
hanya melemparkan wanita kedunia dapur, tapi justru dunia dapur kini telah
dibawa kembali kedunia public. Sayangnya masuknya wanita kedunia public ini
baru lebih banyak menunjukkan keperkasaan media khususnya iklan yang justru
dalam perkembangan teknologi informasi lebih menjadi bagian penting dari proyek
domestikasi ditingkat simbolik.
Dari contoh singkat ini, kita bisa
melihat bahwa konsep ideologi gender dan seksualitas memang muncul dari
konstruksi budaya dan berbeda dari satu budaya dengan budaya lain.[8]
konsep gender sebenarnya muncul pada tahun 1980-an sebagai model feminis
dominan.[9] Joan
scoot, seorang sejarahwan, mendifinikan gender sebagai, “a counstitutive element of social relationships based on perceived
differences between the sexes, and a primary way of signifying relationships of
power”. Teori gender memfokuskan pada bagaimana perilaku dan peran tertentu
diberikan makna-makna yang digenderkan, bagaimana para buruh dibagi-bagi dalam
menekspresikan perbedaan gender secara simbolik, dan bagaimana
struktur-struktur social yang berbeda,
bukan hanya keluarga memasukkan nilai-nilai gender dan menyampaikan manfaat
gender. Sementara model peran seks mengasumsikan suatu pengemasan struktur,
perilaku, dan sikap-sikap tertentu, model gender menganalisis konstruksi
kemasan-kemasan seperti itu. Konsekuensinya perspektif gender secara stimultan
menekan analisis pada level-level simbolik, struktural, ideologis dan material,
internasional dan institusional.[10]
3. Perempuan Sebagai Simbol Dan
Gerakan Perempuan
Perempuan tidak pernah mempunyai
relasi yang mudah dengan nasionalisme.
Meskipun mereka mengalami penderitaan dibawah penindasan kolonialisme dan
rasisme, dalam narasi tentang nasionalisme mereka sering diperlakukan tidak
lebih sebagai “simbol” pergerakan bangsa dan bukanya sebagai partisipan aktif dalam
gerakan nasionalisme untuk mengakhiri kolonialisme dan rasisme.[11]
Apabila dimensi perempuan disertakan
dalam narasi nasionalisme akan tampak bahwa partisipasi perempuan dalam
perjuangan kemerdekaan adalah sangat penting. Mereka terlibat dalam bermacam-macam
aktifitas gerakan Indonesia, baik didalam maupun diluar rumah.[12]
untuk kasus Indonesia, setiap partai yang menganut paham nasionalisme dan
organisasi organisasi politik lainnya dalam periode penjajahan belanda selalu
berusaha membangun organisasi perempuannya sendiri. Hal ini dilakukan oleh
organisasi nasionalis, islam, dan juga organisasi kiri atau sosiolis.[13] Organisasi
perempuan pertama di Indonesia, Poetri Mandalika, yang berdiri tahun 1912
misalnya berhubungan dengan gerakan nasionalisme Boedi Oetomo.
Sebelum organisasi nasionalis Boedi
Oetomo didirikan, Kartini sendiri yang dikenal sebagai pelopor perjuangan
emansipasi perempuan Indonesia, sering menemukan ide-idenya yang berdimensi
nasionalis. Misalnya ketika ia mendapat
bahwa pendidikan untuk perempuan merupakan salah satu dari kondisi yang
paling penting untuk mengangkat derajat bangsanya, karena ibu-ibu yang terdidik
akan bisa membesarkan anak-anak mereka dengan lebih baik.[14]
4. Peranan Dan Partisipasi Sosial
Politik Perempuan Dalam Perspektif Islam
Masih ada kesenjangan antara cita,
ideal dan relita kultural kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan.
Karena itu, upaya untuk menghilangkan atau mengurangi adanya kesenjangan
tersebut, adalah pertama, melakukan
dekonstruksi atau rekonstruksi fiqih perempuan, yang notabene diformulasikan
oleh kebanyakan ahli fiqih yang pada umumnya laki-laki. Tentu saja, dalam
menyikapi fiqih pun, dalam konteks ini menjadi wacana kontroversial. Artinya,
tidak semua fiqih memiliki corak misogenik dan segregatif. Dengan kata lain,
telah banyak bermunculan adanya kesadaran yang tidak sama sekali baru seperti
hanafi, ibnu jarir al tahbari, Muhammad al-ghazali, dan Mahmud syayaltut yang
berpendapat bahwa pada perinsipnya antara laki-laki dan perempuan memiliki
peranan dan partisipasi sosial politik yang sama.[15]
Karena wacana kontropersial macam
ini “selamanya” akan tetap ada, maka diperlukan adanya keberanian untuk
melakukan pemihakan secara konsepsional, bahwa pencitraan streotipe perempuan
yang segregatif (subordinatif) dan misogenik, perlu dieliminir.
Persoalan sekarang adalah terletak
pada kita untuk merubah kultur dan melakukan reorientasi khususnya kaum
perempuan sendiri. Sebab harus juga diakui, disatu sisi sekelompok masyarakat
tertentu memperjuangkan adanya kemitra sejajaran berhadapan dengan kebijakan
atau kultur sekelompok masyarakat lainnya yang mesoginik.
Apabila kita memperhatikan informasi
dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menentukan adanya perbedaan perilaku terhadap
laki-laki dan perempuan. Seperti saksi dalam muamalah, hutang piutang dan
lain-lain. Tetapi laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama,[16]
seperti juga dijelaskan dalam Al-Qur’an
surat Al-Hujarat: 13 yang artinya:
“hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah adalah yang paling bertakwa”. (QS. Al-Hujarat:13).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Patriaki
merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan mebenarkan predominasi pria,
menimbulkan pemusatan kekuasaan privilase ditangan kaum pria, dan mengakibatkan
sontrol dan subordinasi wanita, menciptakan ketimpangan sosial antaraseks.
Perempuanpun
masih hidup dalam sosialisasi yang semakin mengukuhkan citra bakunya. Konsep
yang mempercayai bahwa kodrat perempuan sebagai makhluk dengan tugas utama (dan
mulia) sebagai penyambung keturunan, lemah lembut, lebih emosional dan fisiknya
kurang kuat, menurut para ahli justru ikut mempertahankan kebudayaan gender
dalam masyarakat. Meskipun tidak sedikit data disuguhkan untuk menumbangkan
asumsi ini, tapi kebudayaan seperti ini terus berlangsung. Ideology
domestisitas ataupun domestikasiwanita ternyata tidak hanya melemparkan wanita
kedunia dapur, tapi justru dunia dapur kini telah dibawa kembali kedunia
publik.
Dengan mengatas namakan pada
undang-undang tersebut, laki-laki mulai menguasai upah yang dihasilkan oleh
perempuan dan mengangkat dirinya sebagai kepala keluarga sehingga perempuan
hanya menjadi buruh yang bekerja dibawah perintah laki-laki. Sebagian laki-laki
mulai menguasai para pekerja perempuan dengan memanfaatkan undang-undang ini
dan sebagian yang lain mulai menasabkan anak-anak pada dirinya dan mewajibkan
perempuan hanya memiliki satu suami agar bapak anaknya bisa diketahui.
B. Saran
Manusia adalah makhluk yang
diciptakan Allah paling sempurna dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Ia
diberikan salah satunya akal sebagai anugrah yang paling sempurna, karena tanpa
akal sendiri manusia akan seperti hewan yang tidak akan membedakan antara baik
dan buruknya sesuatu itu.
Pada
hakikatnya manusia mempunyai hakikat yang sama di pandangan Allah, hanya saja
yang membedakannya hanyalah iman dan ketakwaannya saja. Oleh karena itu sebagai
manusia yang sempurna tak patut kita menyombongkan diri kepada makhluk-makhluk
lain apalagi dengan sesama manusia.
Gender pada dasarnya merupakan
kesetaraan derajat antara laki-laki dan perempuan, dimana konsep patriarki
tidak seharusnya dipakai dalam bermasyarakat maupun dalam aspek lain. Karena perempuan
juga mempunyai harkat dan martabat yang tinggi, bukan hanya didalam rumah saja.
Perempuan memiliki kebebasan untuk
berekspresi di dunia karir dan tidak hanya berpatokan dengan ketentuan yang
diterapkan oleh laki-laki. perempuan yang setelah dia menikah akan selalu
terkekang apabila laki-laki tidak mengizinkan untuk menjadi eksis diluar rumah.
Emansipasi wanita sangatlah
berpengaruh pada harkat dan martabat perempuan, namun kebanyakan sekarang ini
masih belum banyak diterapkan didalam masyarakat itu sendiri.
Daftar Pustaka
Mary Jhon Mananzen, “Feminine Socialization: Women As Victims
And Collaborators” Dalam Concilium,1, 1994, Hal. 44-52
Nawal El Saadawi, Wajah
Telanjang Perempuan, Pustaka Pelajar:2003. Hal. 16-28
Nawal el Saadawi, Perempuan Dititik Nol, Yayasan Obor
Indonesia:1983
Jhon Fiske, Inroduction to Communication Studies,
London & New York: Routledge,1990, Hal. 172
Sita van Bemmeler,
Gender dan Pembangunan, Apakah yang Baru?, Jakarta:LIPI:1993, Hal.171
Lihat Kompas,
Kesetaraan Sama Dengan Pembebasan, 3 September 1995
Umar Kayam, “Peran Wanita Ditentukan System Kekuasaan”,
Kompas, 23 Oktober 1995
Evelyn Blackwood, “Sexuality And Gender In Certain Native
American Tribes:The Case Of Cross-Gender Female”, Feminist Frontiers III,
Hal.140
Myra Marx Ferre, “Feminism
And Family Research”, Feminist Frontiers III (New York, 1993) Hal.239
Seperti Dikutip Dalam
Myra Marx Ferree, Ibid.
Buku Karya Betty
Friedan, “Gerakan Feminism”, Norton,
New York, 1986.
Rana F.Rakow, “Feminist Perspective On Popular Culture”,
California, London, New Delhi,1990
Lihat Makalah Thamrin Amal
Tomagola, “Majalah Wanita Indonesia:
Suatu Tinjauan Sosiologi Media”, 7-9 Desember 1992.
Ashadi Siregar, “Analisis
Dengan Perspektif Gender Atas Majalah Wanita Di Indonesia”. Yogyakarta:
Fisipol, Ugm,1991
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual
Dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial”, Pustaka Pelajar: 2004. Hal.71
Muhammad Rasyid Ridha, “Tafsir Al Manar, Jus IV, Kairo:
Al-Manar, 1367. Hal. 330
[1]
Mary Jhon Mananzen, “Feminine
Socialization: Women As Victims And Collaborators” Dalam Concilium,1, 1994,
Hal. 44-52
[2] Nawal
El Saadawi, Wajah Telanjang Perempuan,
Pustaka Pelajar:2003. Hal. 16-28
[3]
Nawal el Saadawi, Perempuan Dititik Nol,
Yayasan Obor Indonesia:1983
[4]
Jhon Fiske, Inroduction to Communication
Studies, London & New York: Routledge,1990, Hal. 172
[5]
Sita van Bemmeler, Gender dan Pembangunan, Apakah yang Baru?,
Jakarta:LIPI:1993, Hal.171
[6] Lihat
Kompas, Kesetaraan Sama Dengan Pembebasan, 3 September 1995
[7] Umar
Kayam, “Peran Wanita Ditentukan Sistem
Kekuasaan”, Kompas, 23 Oktober 1995
[8]
Evelyn Blackwood, “Sexuality And Gender
In Certain Native American Tribes:The Case Of Cross-Gender Female”, Feminist
Frontiers III, Hal.140
[9] Myra
Marx Ferre, “Feminism And Family Research”,
Feminist Frontiers III (New York, 1993) Hal.239
[10] Seperti
Dikutip Dalam Myra Marx Ferree, Ibid.
[11]Buku
Karya Betty Friedan, “Gerakan Feminism”,
Norton, New York, 1986.
[12]
Rana F.Rakow, “Feminist Perspective On
Popular Culture”, California, London, New Delhi,1990
[13]
Lihat Makalah Thamrin Amal Tomagola, “Majalah
Wanita Indonesia: Suatu Tinjauan Sosiologi Media”, 7-9 Desember 1992.
[14]
Ashadi Siregar, “Analisis Dengan Perspektif Gender Atas Majalah Wanita Di
Indonesia”. Yogyakarta: Fisipol, Ugm,1991
[15]
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual Dari Normatif Ke Pemaknaan Sosial”, Pustaka
Pelajar: 2004. Hal.71
[16]
Muhammad Rasyid Ridha, “Tafsir Al Manar, Jus IV, Kairo: Al-Manar, 1367. Hal.
330