Jumat, 24 Oktober 2014

Sasak Dalam Cengkraman Globalisasi

Posted by Unknown On 01.49 | No comments


“Analisis Identitas Suku Sasak sebenarnya”


“Kebudayaan berjalan melewati fase-fase pertumbuhan dan kemunduran, dan sejarah dunia ditandai oleh kebudayaan yang dominan” (John Scott, 2012), h. 66.
Globalisasi memenangkan dirinya dalam arus perubahan sosial masyarakat di seluruh dunia, ditandai dengan modernisasi di segala bidang, baik pendidikan, politik, sosial dan budaya. Akselerasi dan mobilisasi transportasi maupun telekomunikasi menjadi kebutuhan yang hampir-hampir primier dalam kehidupan sosial saat ini. kehidupan individual serta tren hedonisme merebak di kalangan generasi baru. Mitos dan aturan-aturan tradisional seakan kehilangan eksistensinya lagi, tergerus oleh kepentingan kapitalis, maka terjadilah apa yang disebut oleh Michael Hardt dan Antonio Negri (2000) dalam Magnum Opusnya “The New Of Severeinty” atau format baru kekuasaan (Harian Progress. “Kekaisaran”, ditulis oleh: Arianto Sangaji).
Lalu timbul pertanyaan menggelitik dari pikiran gila penulis, bagaimana kabar tradisi lokal di daerah?, atau lebih khusus bagaimana kabar Suku Sasak saat ini?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu kiranya kita mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini di pulau Lombok.
1.      Status sosial (class social) masyarakat sasak yang dulu. Pertama, kalangan raja, serta keluarga dan keturunannya. Kedua, kaum bangsawan (priayi) seperti Lalu dan Raden. Ketiga, pruangse atau rakyat biasanya. keempat, jajar karang atau kaum budak. Berganti menjadi, Pertama, Tuan Guru, tokoh kharismatik, pengasuh pondok pesantren. Kedua, Tuan Haji. orang yang ekonominya tergolong mampu, pengusaha, petani sukses, pedagang dan lain-lain. Keempat, Orang biasa, buruh, dan lain-lain.(desertasi. Jamaludin, 2011).  Dan saat ini masih perlu penelitian lebih lanjut tentang sistem kasta ini karena masih belum termasuk kalangan berpendidikan dan non berpendidikan, terkait modernisasi.
2.      Pelajaran-pelajaran dasar muatan lokal tergerus oleh sistem pelajaran modern. Ini ditandai dengan tidak dipakainya lagi huruf “HA NA CA RA KA”, pelajaran seni gambelan, wayang, bahasa daerah ( logat pujut, selaparang, petung bayan) dll, berganti dengan dram band,  bahasa Ingris, Jepang, Mandarin dll.
3.      Sudah tidak menghargai lagi kearifan lokal, ditandai dengan pakaian adat ketika nyongkolan berganti kaos oblong serta ditambah asesoris-asesoris mencolok, musik Gambelan dan Gendang Belek sudah tidak laku lagi berganti dengan Kecimol di beberapa kabupaten dan kecamatan. Seni wayang yang hampir punah ditandai dengan tidak adanya re-generasi atau pengkaderan wayang Lalu Nasip oleh pemerintah dan masyarakat.
4.      Masyarakat Sasak mudah terpropokasi. Pertama, pembunuhan I Made Padma oleh Amphibi yang ternyata tidak bersalah. (Lihat   Jhon M. MacDougall, Kriminalitas Dan Ekonomi Politik Keamanan Di Lombok.) pengusiran orang-orang kristen di Mataram dan Lombok Barat gara-gara isu Poso. Kedua, ditandai dengan kasus salah tangkap seorang pemulung “dihakimi sampat mati” di depan polsek oleh masa di kecamatan Kediri Lombok Barat gara-gara isu penculikan anak.  Dan masih banyak isu-isu lain.
Dari kasus-kasus di atas saya akan batasi pembahasan pada point pertama karena terkait politik identitas Suku Sasak dan berhubungan dengan ilmu politik. Sehingga dari kasus-kasus di atas yang belum terjamah, para pembaca dalam diskusi ini akan merasa tertantang membahas dari interpretasi masing-masing.
Agama Hindu dan Budha telah lama datang ke Indonesia mewarnai corak keagamaan di Nusantara, pembahasan tentang teori datangnya agama Hindu dan Budha dapat dilihat di www.tuanguru.com, Islam datang ke Lombok pada awal abad ke 17-18 melalui dua arah, pulau Jawa dan Makasar. Islam dianggap hal baru ketika itu (modern), kita bisa melihat foto-foto kaum bangsawan sasak zaman dahulu di mana para wanitanya masih bertelanjang dada, tokoh-tokoh agama mengislamisasi penduduk lokal yang sekarang dari data statistik berjumlah 90 % suku sasak beragama Islam, sisanya beragama Hindu, Budha dan Kristen.
Abad ke 18 hingga 20 atau ( kira-kira tahun, 1740-1935) lahirlah tuan guru generasi awal,  berubahlah sistem kasta yang dahulu tertinggi adalah kalangan raja dan bangsawan menjadi Tuan Guru dan Tuan Haji. keberpihakan para tuan guru terhadap masyarakat biasa melawan penjajahan, sedang para bangsawan sebagian berselingkuh kekuasaan dengan penjajah (Belanda dan Jepang), memposisikan para tuan guru sebagai tokoh sentral. Datangnya Islam, ekspansi Belanda dan penjajahan Jepang adalah sesuatu yang hal yang baru bagi Suku Sasak (modern: 1 a terbaru; 2 n sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sumber KBBI ofline).   Lalu identitas suku sasak sebenarnya apa, dan bagaimana?, apakah Islam, Hindu, Budha atau Barbar!. Atau kita yang dalam diskusi ini dulu adalah keturunan raja, bangsawan, pruangse atau jajar karang? (kecuali mungkin di belakang nama anda Raden Lalu dan  Baiq).
Baik, mari kita tinggalkan pertanyaan yang rumit di atas, kita fokus dengan kondisi kekinian seperti tuan guru, pesantren, dan santri yang kita anggap masih tradisional.
Namun dalam kondisi kekinian posisi Tuan Guru, Pesantren dan Santri juga tak mampu mempertahankan diri dari arus globalisasi.  Tuan Guru dengan kharismanya kini memudar akibat modernisasi ditandai meningkatnya perekonomian masyarakat, melek pendidikan dan pengaruh modernisasi itu sendiri. sesuai teori yang digagas Max Weber, otoritas kharismatik pada waktu-waktu tertentu akan memudar akibat dari modrnisasi dan pikiran rasional masyarakat. Tuan guru dianggap mempunyai kekuatan, seolah-olah ada kekuatan mistik dari tuhan dan lain sebagainya.
Pesantren adalah pusat belajar tradisional bagi umat islam, umumnya berlokasi di pedesaan. pada mulanya, pesantren tidak mempunyai kurikulum terperinci, memberi gelar atau sertifikat. Ada beberapa fenomena yang khas dan menarik dalam pesantren. Dalam pesantren otoritas kyai begitu dominan dan sangat dihormati. Santri mempunyai kewajiban taat dan tunduk kepada kyai hampir-hampir pada batas mutlak.sebagai konsekuensinya logis dari hubungan semacam ini, maka kesempatan bagi seorang santri untuk berbeda pendapat dan pandangan dengan kyainya, sangat kecil. Kedua, ciri pesantren ialah sikap curiganya terhadap pihak luar.sikap ini. (Ahmad Syafii Maarif, 1987), h. 56-59.
Pesantren juga tidak mampu bertahan terhadap modernisasi yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja karena tidak bisa memenuhi tuntutan zaman, sehingga sekarang banyak kita temukan pesantren bergabung dengan SMK, atau dalam penyebutan lainya.   

Kesimpulan.

Globalisasi adalah gejala dunia, dampaknya bisa positif dan juga negatif tergantung bagaimana menyikapinya. Globalisasi dalam interpretasi yang agak sempit yakni ketenaran modernisasi atau Westernisasi yang melanda Indonesia, lebih khusus pulau Lombok. Era modern akan membawa ka-baruan dalam perkembangan masyarakat, baik bertindak, maupun berfikir secara kolektif. Dan kita tak dapat menafikan hal tersebut. modernisasi yang kebablasan akan menghapus kearifan lokal dalam suatu masyarakat sehingga perlu adanya pelindung yang dapat menyaring hal-hal positif dari modernisasi tersebut.
Suku sasak dengan kearifan lokalnya, wisata alam, budaya dan religius sebenarnya menjadi indentitas sesungguhnya yang selama ini tak tersentuh perhatian banyak orang (sasak). Maka dalam diskusi ini saya mengajak kita semua untuk mawas diri, bahwa kita punya identitas, kita punya budaya, secara umum kita punya kearifan lokal yang hampir saja “punah” kalau kita sendiri “kaum intelektual” tidak menjaganya.

Indonesia Tidak Siap Menghadapi Pasar Bebas Asean.

Terciptanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun depan ternyata masih diragukan sejumlah ekonom global. Itu lantaran banyak perusahaan yang masih meragukan terwujudnya integrasi antar negara-negara ASEAN. Indonesia tidak kita nafikan bahwa ia adalah konsumtinf orientit 


Catatan:
John Scott, Social Theory: Central Issues In Sosiology. Alih bahasa oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial “ Masalah-Masalah Pokok Dalam Sosiologi”(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Harian progress, “kekaisaran” oleh: Arianto Sangaji. Artikel pernah dimuat di harian Kompas, Jum’at, 18 juli 2008.
Lihat. Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935. Seri desertasi ( Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI, 2011).
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Masalah Kenegaraan “Studi Percaturan Dalam Konstituante” ( Jakarta: LP3ES, 1987).

 




Oleh; Agus Dedi Putrawan. S.Sos.I

Sekapur Sirih
Sejarah telah membuktikan dirinya, bahwa suatu peradaban akan tumbuh dan berkembang sesuai semangat peradaban. jika ada kelahiran peradaban maka konsekuensinya adalah pasti ada kematian peradaban, pun demikian halnya dengan suatu peradapan, ada kalanya ia mencapai masa ke emasan dan pada ujungnya toh akan mengalami kemunduran juga.  Namun pada era globalisasi di mana dunia seolah disatukan dalam satu term yakni modernisasi, di mana kemajuan Eropa dan Amerika (barat) masuk begitu cepat ke pelosok-pelosok desa guna menciptakan satu peradaban dunia (global).  percepatan transformasi dan telekomunikasi, migrasi rill social menuju cyber social seakan mengamini proses modenisasi tersebut.
Muncul kedaulatan baru (kapitalis di negara ketiga) yang mampu mengalahkan kedaulatan negara dalam istilah the new form of sovereignty atau format baru kedaulatan yang menurut Antonio Negri dan Michail Hardt adalah The Empire atau kaisar. Otoritas agama dan otoritas negara sudah terbelenggu kekuatan ekonomi kapital di dunia ketiga, mereka diakali suntikan dana dan iming-iming untuk menghadapi krisis di akar rumput (oleh World Bank dan IMF) tak ayal dalam kehidupan rill mereka seakan mejadi singa ompong yang selalu di elu-elukan rakyat. Untuk memperkuat posisinya, the empire ini menciptakan organisasi-organisasi non pemerintah dari kaum pribumi yang siap menyerang dari bawah, dengan semboyan soft powernya. Inilah yang Habibie sebut dengan wajah baru Imperealisme, dalam arti bukan orang luar saja yang menggrogoti sumberdaya Indonesia tapi juga orang Indonesia sendiri ikut-ikutan.
Sehingga manifestasi dari semuanya adalah gejala-gejala yang tampak pada tataran kulit dasar dan lagi-lagi rakyat harus menelan pil pahitnya. Untuk tidak mengatakan sering, sesekali simbol agama dan budaya menjadi komoditi yang empuk guna mencapai tujuan, misalkan dalam suatu daerah terkandung sumberdaya alam seperti emas, uranium, besi, gas, dan lain-lain dalam tanahnya maka isu Suku, Agama, Ras digulirkan agar terjadi konflik dan akhirnya tujuan tercapai, konflik ketika pembebasan lahan bandara internasional terjadi clash of civilization di antara orang luar dan orang dalam. Begitulah The Empire bermain, rakyat hanya tahu masalah aliran sesat, perang suku, beda ras dan lain-lain yang itu hanya permasalahan sepele namun “media” sebagai (kaki tangan kapital) mem-blow up, seakan ikut taruhan dalam duel “sabung ayam” tersebut.
The empire melalui kekuatan ornop-nya (swasta) merubah segala aspek kehidupan menjadi serba komuditi, semua hal sebagai pasar. Kesehatan tanpa uang pihak rumah sakit ogah melayani, pendidikan, tanpa uang hanya orang kaya yang dapat sekolah misalkan di perguruan tinggi. Kemiskinan, dengan adanya kemiskinan maka proyek-proyek fiktif dalam rangka pemberdayaan sekaligus pementasan kemiskinan hambur. Sosial, sudah jarang orang berinteraksi dalam foru-forum klasik di ganti dengan sosial media. Dan lain sebagainya.

Suku Sasak Dalam Kubangan Modernisasi

Pertanyaan pertama yang muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimana eksistensi Suku Sasak dalam menghadapi gesekan dunia global ini. suku sasak yang mayoritas adalah orang Islam tidak mungkin mampu membendung arus globalisasi, mereka akan kehilangan identitas ketika terlena dalam alunan kenikmatan modernisasi. Agama sebagai benteng terakhir juga akhir-akhir ini kualahan akibat dari tokoh-tokoh agama yang steriotipe sekaligus terlalu open tanpa menyaring. Di satu sisi ada kecurigaan sehingga menutup diri dan terjadi semua diharamkan. Di satu sisi juga terlalu open terhadap kerkembangan, misalkan terjadi ketimpangan-ketimpangan di akar rumput seperti, kerusuhan, kenakalan remaja, dan patologi sosial  lainnya. Jual beli simbol-simbol agama untuk memenuhi pesanan kampanye merebak di mana-mana, seolah agama menjadi komuditi baru di abad 21 ini.
Masyarakat eropa sebelum renaisans mengalami  masa-masa sulit, kebodohan, perbudakan, monopoli raja dan gereja membatasi ekspresi masyarakat sosial pada waktu itu, peralihan dari Hunter Gather Society ke Agro Literal Sociaty membuka gerbang perubahan menuju Industrialisasi Society, yang kemudian orang-orang sudah tidak terikat lagi kepada raja dan gereja, selanjutnya timbul istilah skuler, kapitalisme, modernity, nasionalisme, sosialisme, akibat dari riak-riak perjuangan masyarakat eropa. Eropa sudah sukses dengan kemodernisasiannya, sekarang mari kita tengok dunia dalam skup yang lebih kecil yakni masyarakat sasak.
Budaya adalah hasil karya karsa manusia, budaya tidaklah abadi, budaya mengalami dinamisasi, tumbuh dan mati seiring berjalannya waktu. Kita sadari bersama, lambat laun Sasak juga akan tergerus oleh modernisasi apabila tidak ada perhatian dari permerhati-pemerhati semisal tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, LSM, akademisi ikut mengawal, memprotect modernisasi. Budaya rembuk, gotong royong arus kembali dihidupkan, penghargaan terhadap budaya sebagai lokal wisdom perlu ditingkatkan. Festival rakyat perlu dimanipulasi untuk mengawal dan beradaptasi dengan modernisasi. Media sebagai penyampai berita juga perlu dimanfaatkan dalam merekam kebudayaan klasik, dan kontemporer saat ini guna generasi baru tetap mengenal identitas budayanya sendiri. Forum-forum budaya diskusi dan tulisan kaum terpelajar diperlukan sebagai agent of protect mengawal modernisasi yang kebablasan. Yang terakhir peran pemangku kebijakan, kepedulian dan apresiasinya terhadap keberadaan agama dan budaya wajib diakomodir.

Kamis, 23 Oktober 2014



sumber gambar; www.peslombok.com
 

Permasalahan Sosial masyarakat sasak; Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial

Masalah sosial adalah gejala atau fenomena yang muncul dalam realitas kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan keseharian tersebut hadir bersamaan dengan fenomena sosial yang lainnya. Di samping itu, pada dasarnya, fenomena tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat atau kondisi yang tidak dikehendaki, oleh karenanya wajar kalau kemudian selalu mendorong adanya usaha untuk mengubah dan memperbaikinya.[1] Dalam hal ini, erat kaitannya dengan hubungan yang erat antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya, dan dijelaskan dalam pancasila, hubungan yang erat akan mendorong tingkat persatuan dan kesatuan masyarakat. Selain itu, manusia tidak akan pernah terlepas dari manusia yang lainnya (social relationship), dan naluri perjuangan akan hidup membutuhkan dukungan dan sokongan.[2]

Masalah sosial, menciptakan dan mengembangkan iklim yang kondusif dalam kehidpan baik level individu, kelompok, maupun masyarakat juga merupakan faktor yang memberikan daya dukung bagi penanganan masalah sosial. Usaha untuk menciptakan dan mengembangkan iklim yang kondusif dalam kehidupan sosial ini juga mempunyai kontribusi dalam usaha pencegahan. Masyarakat senantiasa berubah dan berkembang, tuntutan kebutuhan juga meningkat sejalan dengan perubahan sosial tersebut.[3] Masyarakat Lombok yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya, tentu memiliki permasalahan sosial yang berbeda pula, akan tetapi tolak ukur yang sama dapat ditinjau dari segi ekonomi.

Salah satu kajian yang menarik adalah konsep pengembangan masyarakat dewasa ini, pengembangan masyarakat mengarah pada arus perubahan sosial yang lebih baik. Dimana pengembangan masyarakat (community development) adalah  upaya mengembangkan sebuah kondisi masyarakat secara berkelanjutan dan aktif berlandaskan prinsip-prinsip keadilan sosial dan saling menghargai. Pengembangan masyarakat adalah komitmen dalam memberdayakan masyarakat lapis bawah sehingga mereka memiliki berbagai pilihan nyata menyangkut masa depannya.[4] Dengan kata lain, masyarakat miskin merupakan target utama dalam upaya pengembangan, baik kemampuan individu maupun kelompok dalam mewujudkan kesejahteraan sosial yang mapan.

A.      Kemiskinan
Realita kemiskinan merupakan bagian yang tak bisa lepas dari suatu negara, bahkan tak ada satupun negara yang kebal terhadap kemiskinan[5]. Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan keadaan tersebut tidak dapat dihindari dengan kekuatan sendiri yang ada padanya.[6] Permasalahan yang dianggap kompleks ini, tentunya harus memiliki pisau analisi yang tepat, tidak hanya berbicara masalah realitas masyarakat yang ada, melainkan juga harus berbicara dari sisi strategi dan keberlangsungan secara terus menerus terhadap program yang dijalankan, karena kemiskinan akan terus berkembang dan menjadi virus yang sulit untuk disembuhkan.

Dampak kemiskinan yang menghadirkan ketikmampuan dalam mengakses pendidikan, kesehatan, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan mampu berbakti sosial adalah permasalahan yang harus memiliki tindak-lanjut jelas akan implementasi yang selama ini kurang maksimal, karena kemiskinan tidak hanya lahir dari struktur atau garis keturunan melainkan lahir dari kebijakan yang salah arah. Misalnya; faktor keterbelakangan ekonomi kerap kali dijadikan data empiris oleh pemerintah dalam mencanangkan berbagai macam program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika dikaji dari sisi individu maupun kelompok dalam lingkup masyarakat, maka tidak hanya faktor ekonomi melainkan faktor kemampuan (skill) dan geografis.[7]

Dengan landasan ini, maka ketepatan kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah adalah indikator dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan memiliki tingkat kesejahteraan sosial yang mapan, serta mampu berdaya saing dalam pasar bebas dewasa ini. Menurut Ealau dan Prewitt dalam Edi menjelaskan bahwa kebijakan merupakan sebuah ketetapan yang berlaku kemudian dicirikan perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya dan yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Dengan kata lain, kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai suatu tujuan.[8] Adapun beberapa kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah;

Pertama; melakukan pendekatan dan sentuhan secara langsung, yang artinya bahwa permasalahan kemiskinan tidak bisa dijangkau dengan menggunakan motede-metode lama yang selama ini masih menimbulkan pertanyaan terhadap aplikasi, dan perubahan makna kemiskinan yang berjalan seiring dengan waktu. Sentuhan secara langsung merupakan proses ransangan yang diberikan oleh pemerintah dalam meningkatkan aktivitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik secara individu maupun secara kelompok. Kedua; membangun jalan silaturrahmi antara masyarakat yang miskin dengan masyarakat yang kaya (conection building), jembatan silaturrahimi adalah jalan tengah yang dapat memungkinkan tergesernya kesejangan sosial selama ini, dimana masyarakat yang tidak mampu dengan yang mampu dapat bersinergi dalam memetakan kemiskinan.

Ketiga; menjadikan masyarakat adalah akar-pelaku. Pandangan awam tentang kebijakan yang selama ini diterapkan oleh pemerintah selalu memberikan doktrin yang buruk di mata masyarakat. Elit politik menjadi pelaku utama dalam setiap kebijakan yang ada, sehingga menyebabkan tumpang tindih yang mengakar. Menjadikan masyarakat adalah akar-pelaku adalah faktor positif dalam langkah kebijakan, dimana masyarakat memiliki peran aktif dalam memilah dan memilih arah kebijakan yang ada, seperti pembeli yang memilah dan memilih kebutuhan yang diinginkan.

B.        Kesejahteraan Sosial.
Pandangan kesejahteraan sosial akan kondisi masyarakat yang mengalami keterbelakangan materi merupakan bagian dari ketidakadilan sosial, di mana hal ini mengarah pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemangku kebijakan. Kesejahteraan sosial secara sederhana memiliki makna terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari (standar hidup), baik secara individu maupun kelompok. UU RI No 6 tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial memberikan batasan bahwa; kesejahteraan sosial merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentuan lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan munjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.

Pemaknaan ini tidak memberikan batasan tertentu terhadap kehidupan sosial yang berkaitan dengan tatanan sosial masyarakat, dimana masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Memandang masyarakat sasak dari sisi kesejahteraan, saat ini masih membutuhkan sentuhan secara langsung dari pemerintah, dikarenakan sosial, baik dari kebutuhan hidup sehari-hari, kebutuhan untuk pendidikan, dan kesehatan masih belum stabil. Kemiskinan masih menjadi mimpi buruk yang selalu dating dikala malam hari.


[1] Soetomo. Masalah sosial dan upaya pemecahannya. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013). Hlm 28
[2] Lihat Onong Uchjana Efendy. (2006:2).
[3] Lihat soetomo. (2013;51)
[4] Lihat Zubaedi. (2013:4).
[5] Lihat Edi Suharto (2006:42).
[6] Jurnal; Welson Marthen Wangke. Mengentaskan Kemiskinan. ASE, Volume 6 Nomor 2, Mei 2010. Hlm. 19
[7] Lihat Dewanta, dkk. (1995:34); Gilbert, terjemahan Anshari, Juanda (1996:52); Bakhit. (2001:29).
[8] Edi Suaharto. Analisis kebijakan publik. (bandung, Alfabeta, 2010). Hlm. 7.

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this