Jumat, 24 Oktober 2014




Oleh; Agus Dedi Putrawan. S.Sos.I

Sekapur Sirih
Sejarah telah membuktikan dirinya, bahwa suatu peradaban akan tumbuh dan berkembang sesuai semangat peradaban. jika ada kelahiran peradaban maka konsekuensinya adalah pasti ada kematian peradaban, pun demikian halnya dengan suatu peradapan, ada kalanya ia mencapai masa ke emasan dan pada ujungnya toh akan mengalami kemunduran juga.  Namun pada era globalisasi di mana dunia seolah disatukan dalam satu term yakni modernisasi, di mana kemajuan Eropa dan Amerika (barat) masuk begitu cepat ke pelosok-pelosok desa guna menciptakan satu peradaban dunia (global).  percepatan transformasi dan telekomunikasi, migrasi rill social menuju cyber social seakan mengamini proses modenisasi tersebut.
Muncul kedaulatan baru (kapitalis di negara ketiga) yang mampu mengalahkan kedaulatan negara dalam istilah the new form of sovereignty atau format baru kedaulatan yang menurut Antonio Negri dan Michail Hardt adalah The Empire atau kaisar. Otoritas agama dan otoritas negara sudah terbelenggu kekuatan ekonomi kapital di dunia ketiga, mereka diakali suntikan dana dan iming-iming untuk menghadapi krisis di akar rumput (oleh World Bank dan IMF) tak ayal dalam kehidupan rill mereka seakan mejadi singa ompong yang selalu di elu-elukan rakyat. Untuk memperkuat posisinya, the empire ini menciptakan organisasi-organisasi non pemerintah dari kaum pribumi yang siap menyerang dari bawah, dengan semboyan soft powernya. Inilah yang Habibie sebut dengan wajah baru Imperealisme, dalam arti bukan orang luar saja yang menggrogoti sumberdaya Indonesia tapi juga orang Indonesia sendiri ikut-ikutan.
Sehingga manifestasi dari semuanya adalah gejala-gejala yang tampak pada tataran kulit dasar dan lagi-lagi rakyat harus menelan pil pahitnya. Untuk tidak mengatakan sering, sesekali simbol agama dan budaya menjadi komoditi yang empuk guna mencapai tujuan, misalkan dalam suatu daerah terkandung sumberdaya alam seperti emas, uranium, besi, gas, dan lain-lain dalam tanahnya maka isu Suku, Agama, Ras digulirkan agar terjadi konflik dan akhirnya tujuan tercapai, konflik ketika pembebasan lahan bandara internasional terjadi clash of civilization di antara orang luar dan orang dalam. Begitulah The Empire bermain, rakyat hanya tahu masalah aliran sesat, perang suku, beda ras dan lain-lain yang itu hanya permasalahan sepele namun “media” sebagai (kaki tangan kapital) mem-blow up, seakan ikut taruhan dalam duel “sabung ayam” tersebut.
The empire melalui kekuatan ornop-nya (swasta) merubah segala aspek kehidupan menjadi serba komuditi, semua hal sebagai pasar. Kesehatan tanpa uang pihak rumah sakit ogah melayani, pendidikan, tanpa uang hanya orang kaya yang dapat sekolah misalkan di perguruan tinggi. Kemiskinan, dengan adanya kemiskinan maka proyek-proyek fiktif dalam rangka pemberdayaan sekaligus pementasan kemiskinan hambur. Sosial, sudah jarang orang berinteraksi dalam foru-forum klasik di ganti dengan sosial media. Dan lain sebagainya.

Suku Sasak Dalam Kubangan Modernisasi

Pertanyaan pertama yang muncul dalam pembahasan ini adalah bagaimana eksistensi Suku Sasak dalam menghadapi gesekan dunia global ini. suku sasak yang mayoritas adalah orang Islam tidak mungkin mampu membendung arus globalisasi, mereka akan kehilangan identitas ketika terlena dalam alunan kenikmatan modernisasi. Agama sebagai benteng terakhir juga akhir-akhir ini kualahan akibat dari tokoh-tokoh agama yang steriotipe sekaligus terlalu open tanpa menyaring. Di satu sisi ada kecurigaan sehingga menutup diri dan terjadi semua diharamkan. Di satu sisi juga terlalu open terhadap kerkembangan, misalkan terjadi ketimpangan-ketimpangan di akar rumput seperti, kerusuhan, kenakalan remaja, dan patologi sosial  lainnya. Jual beli simbol-simbol agama untuk memenuhi pesanan kampanye merebak di mana-mana, seolah agama menjadi komuditi baru di abad 21 ini.
Masyarakat eropa sebelum renaisans mengalami  masa-masa sulit, kebodohan, perbudakan, monopoli raja dan gereja membatasi ekspresi masyarakat sosial pada waktu itu, peralihan dari Hunter Gather Society ke Agro Literal Sociaty membuka gerbang perubahan menuju Industrialisasi Society, yang kemudian orang-orang sudah tidak terikat lagi kepada raja dan gereja, selanjutnya timbul istilah skuler, kapitalisme, modernity, nasionalisme, sosialisme, akibat dari riak-riak perjuangan masyarakat eropa. Eropa sudah sukses dengan kemodernisasiannya, sekarang mari kita tengok dunia dalam skup yang lebih kecil yakni masyarakat sasak.
Budaya adalah hasil karya karsa manusia, budaya tidaklah abadi, budaya mengalami dinamisasi, tumbuh dan mati seiring berjalannya waktu. Kita sadari bersama, lambat laun Sasak juga akan tergerus oleh modernisasi apabila tidak ada perhatian dari permerhati-pemerhati semisal tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, LSM, akademisi ikut mengawal, memprotect modernisasi. Budaya rembuk, gotong royong arus kembali dihidupkan, penghargaan terhadap budaya sebagai lokal wisdom perlu ditingkatkan. Festival rakyat perlu dimanipulasi untuk mengawal dan beradaptasi dengan modernisasi. Media sebagai penyampai berita juga perlu dimanfaatkan dalam merekam kebudayaan klasik, dan kontemporer saat ini guna generasi baru tetap mengenal identitas budayanya sendiri. Forum-forum budaya diskusi dan tulisan kaum terpelajar diperlukan sebagai agent of protect mengawal modernisasi yang kebablasan. Yang terakhir peran pemangku kebijakan, kepedulian dan apresiasinya terhadap keberadaan agama dan budaya wajib diakomodir.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this