Jumat, 24 Oktober 2014

Sasak Dalam Cengkraman Globalisasi

Posted by Unknown On 01.49 | No comments


“Analisis Identitas Suku Sasak sebenarnya”


“Kebudayaan berjalan melewati fase-fase pertumbuhan dan kemunduran, dan sejarah dunia ditandai oleh kebudayaan yang dominan” (John Scott, 2012), h. 66.
Globalisasi memenangkan dirinya dalam arus perubahan sosial masyarakat di seluruh dunia, ditandai dengan modernisasi di segala bidang, baik pendidikan, politik, sosial dan budaya. Akselerasi dan mobilisasi transportasi maupun telekomunikasi menjadi kebutuhan yang hampir-hampir primier dalam kehidupan sosial saat ini. kehidupan individual serta tren hedonisme merebak di kalangan generasi baru. Mitos dan aturan-aturan tradisional seakan kehilangan eksistensinya lagi, tergerus oleh kepentingan kapitalis, maka terjadilah apa yang disebut oleh Michael Hardt dan Antonio Negri (2000) dalam Magnum Opusnya “The New Of Severeinty” atau format baru kekuasaan (Harian Progress. “Kekaisaran”, ditulis oleh: Arianto Sangaji).
Lalu timbul pertanyaan menggelitik dari pikiran gila penulis, bagaimana kabar tradisi lokal di daerah?, atau lebih khusus bagaimana kabar Suku Sasak saat ini?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas perlu kiranya kita mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini di pulau Lombok.
1.      Status sosial (class social) masyarakat sasak yang dulu. Pertama, kalangan raja, serta keluarga dan keturunannya. Kedua, kaum bangsawan (priayi) seperti Lalu dan Raden. Ketiga, pruangse atau rakyat biasanya. keempat, jajar karang atau kaum budak. Berganti menjadi, Pertama, Tuan Guru, tokoh kharismatik, pengasuh pondok pesantren. Kedua, Tuan Haji. orang yang ekonominya tergolong mampu, pengusaha, petani sukses, pedagang dan lain-lain. Keempat, Orang biasa, buruh, dan lain-lain.(desertasi. Jamaludin, 2011).  Dan saat ini masih perlu penelitian lebih lanjut tentang sistem kasta ini karena masih belum termasuk kalangan berpendidikan dan non berpendidikan, terkait modernisasi.
2.      Pelajaran-pelajaran dasar muatan lokal tergerus oleh sistem pelajaran modern. Ini ditandai dengan tidak dipakainya lagi huruf “HA NA CA RA KA”, pelajaran seni gambelan, wayang, bahasa daerah ( logat pujut, selaparang, petung bayan) dll, berganti dengan dram band,  bahasa Ingris, Jepang, Mandarin dll.
3.      Sudah tidak menghargai lagi kearifan lokal, ditandai dengan pakaian adat ketika nyongkolan berganti kaos oblong serta ditambah asesoris-asesoris mencolok, musik Gambelan dan Gendang Belek sudah tidak laku lagi berganti dengan Kecimol di beberapa kabupaten dan kecamatan. Seni wayang yang hampir punah ditandai dengan tidak adanya re-generasi atau pengkaderan wayang Lalu Nasip oleh pemerintah dan masyarakat.
4.      Masyarakat Sasak mudah terpropokasi. Pertama, pembunuhan I Made Padma oleh Amphibi yang ternyata tidak bersalah. (Lihat   Jhon M. MacDougall, Kriminalitas Dan Ekonomi Politik Keamanan Di Lombok.) pengusiran orang-orang kristen di Mataram dan Lombok Barat gara-gara isu Poso. Kedua, ditandai dengan kasus salah tangkap seorang pemulung “dihakimi sampat mati” di depan polsek oleh masa di kecamatan Kediri Lombok Barat gara-gara isu penculikan anak.  Dan masih banyak isu-isu lain.
Dari kasus-kasus di atas saya akan batasi pembahasan pada point pertama karena terkait politik identitas Suku Sasak dan berhubungan dengan ilmu politik. Sehingga dari kasus-kasus di atas yang belum terjamah, para pembaca dalam diskusi ini akan merasa tertantang membahas dari interpretasi masing-masing.
Agama Hindu dan Budha telah lama datang ke Indonesia mewarnai corak keagamaan di Nusantara, pembahasan tentang teori datangnya agama Hindu dan Budha dapat dilihat di www.tuanguru.com, Islam datang ke Lombok pada awal abad ke 17-18 melalui dua arah, pulau Jawa dan Makasar. Islam dianggap hal baru ketika itu (modern), kita bisa melihat foto-foto kaum bangsawan sasak zaman dahulu di mana para wanitanya masih bertelanjang dada, tokoh-tokoh agama mengislamisasi penduduk lokal yang sekarang dari data statistik berjumlah 90 % suku sasak beragama Islam, sisanya beragama Hindu, Budha dan Kristen.
Abad ke 18 hingga 20 atau ( kira-kira tahun, 1740-1935) lahirlah tuan guru generasi awal,  berubahlah sistem kasta yang dahulu tertinggi adalah kalangan raja dan bangsawan menjadi Tuan Guru dan Tuan Haji. keberpihakan para tuan guru terhadap masyarakat biasa melawan penjajahan, sedang para bangsawan sebagian berselingkuh kekuasaan dengan penjajah (Belanda dan Jepang), memposisikan para tuan guru sebagai tokoh sentral. Datangnya Islam, ekspansi Belanda dan penjajahan Jepang adalah sesuatu yang hal yang baru bagi Suku Sasak (modern: 1 a terbaru; 2 n sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sumber KBBI ofline).   Lalu identitas suku sasak sebenarnya apa, dan bagaimana?, apakah Islam, Hindu, Budha atau Barbar!. Atau kita yang dalam diskusi ini dulu adalah keturunan raja, bangsawan, pruangse atau jajar karang? (kecuali mungkin di belakang nama anda Raden Lalu dan  Baiq).
Baik, mari kita tinggalkan pertanyaan yang rumit di atas, kita fokus dengan kondisi kekinian seperti tuan guru, pesantren, dan santri yang kita anggap masih tradisional.
Namun dalam kondisi kekinian posisi Tuan Guru, Pesantren dan Santri juga tak mampu mempertahankan diri dari arus globalisasi.  Tuan Guru dengan kharismanya kini memudar akibat modernisasi ditandai meningkatnya perekonomian masyarakat, melek pendidikan dan pengaruh modernisasi itu sendiri. sesuai teori yang digagas Max Weber, otoritas kharismatik pada waktu-waktu tertentu akan memudar akibat dari modrnisasi dan pikiran rasional masyarakat. Tuan guru dianggap mempunyai kekuatan, seolah-olah ada kekuatan mistik dari tuhan dan lain sebagainya.
Pesantren adalah pusat belajar tradisional bagi umat islam, umumnya berlokasi di pedesaan. pada mulanya, pesantren tidak mempunyai kurikulum terperinci, memberi gelar atau sertifikat. Ada beberapa fenomena yang khas dan menarik dalam pesantren. Dalam pesantren otoritas kyai begitu dominan dan sangat dihormati. Santri mempunyai kewajiban taat dan tunduk kepada kyai hampir-hampir pada batas mutlak.sebagai konsekuensinya logis dari hubungan semacam ini, maka kesempatan bagi seorang santri untuk berbeda pendapat dan pandangan dengan kyainya, sangat kecil. Kedua, ciri pesantren ialah sikap curiganya terhadap pihak luar.sikap ini. (Ahmad Syafii Maarif, 1987), h. 56-59.
Pesantren juga tidak mampu bertahan terhadap modernisasi yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja karena tidak bisa memenuhi tuntutan zaman, sehingga sekarang banyak kita temukan pesantren bergabung dengan SMK, atau dalam penyebutan lainya.   

Kesimpulan.

Globalisasi adalah gejala dunia, dampaknya bisa positif dan juga negatif tergantung bagaimana menyikapinya. Globalisasi dalam interpretasi yang agak sempit yakni ketenaran modernisasi atau Westernisasi yang melanda Indonesia, lebih khusus pulau Lombok. Era modern akan membawa ka-baruan dalam perkembangan masyarakat, baik bertindak, maupun berfikir secara kolektif. Dan kita tak dapat menafikan hal tersebut. modernisasi yang kebablasan akan menghapus kearifan lokal dalam suatu masyarakat sehingga perlu adanya pelindung yang dapat menyaring hal-hal positif dari modernisasi tersebut.
Suku sasak dengan kearifan lokalnya, wisata alam, budaya dan religius sebenarnya menjadi indentitas sesungguhnya yang selama ini tak tersentuh perhatian banyak orang (sasak). Maka dalam diskusi ini saya mengajak kita semua untuk mawas diri, bahwa kita punya identitas, kita punya budaya, secara umum kita punya kearifan lokal yang hampir saja “punah” kalau kita sendiri “kaum intelektual” tidak menjaganya.

Indonesia Tidak Siap Menghadapi Pasar Bebas Asean.

Terciptanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun depan ternyata masih diragukan sejumlah ekonom global. Itu lantaran banyak perusahaan yang masih meragukan terwujudnya integrasi antar negara-negara ASEAN. Indonesia tidak kita nafikan bahwa ia adalah konsumtinf orientit 


Catatan:
John Scott, Social Theory: Central Issues In Sosiology. Alih bahasa oleh, Ahmad Lintang Lazuardi, Teori Sosial “ Masalah-Masalah Pokok Dalam Sosiologi”(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Harian progress, “kekaisaran” oleh: Arianto Sangaji. Artikel pernah dimuat di harian Kompas, Jum’at, 18 juli 2008.
Lihat. Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935. Seri desertasi ( Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI, 2011).
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Masalah Kenegaraan “Studi Percaturan Dalam Konstituante” ( Jakarta: LP3ES, 1987).

 

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this