“Analisis Identitas Suku Sasak
sebenarnya”
“Kebudayaan
berjalan melewati fase-fase pertumbuhan dan kemunduran, dan sejarah dunia
ditandai oleh kebudayaan yang dominan” (John Scott, 2012), h. 66.
Globalisasi
memenangkan dirinya dalam arus perubahan sosial masyarakat di seluruh dunia,
ditandai dengan modernisasi di segala bidang, baik pendidikan, politik, sosial
dan budaya. Akselerasi dan mobilisasi transportasi maupun telekomunikasi
menjadi kebutuhan yang hampir-hampir primier
dalam kehidupan sosial saat ini. kehidupan individual serta tren hedonisme
merebak di kalangan generasi baru. Mitos dan aturan-aturan tradisional seakan
kehilangan eksistensinya lagi, tergerus oleh kepentingan kapitalis, maka
terjadilah apa yang disebut oleh Michael Hardt dan Antonio Negri (2000) dalam
Magnum Opusnya “The New Of Severeinty” atau format baru kekuasaan (Harian
Progress. “Kekaisaran”, ditulis oleh: Arianto Sangaji).
Lalu
timbul pertanyaan menggelitik dari pikiran gila penulis, bagaimana kabar
tradisi lokal di daerah?, atau lebih khusus bagaimana kabar Suku Sasak saat
ini?.
Untuk
menjawab pertanyaan di atas perlu kiranya kita mengidentifikasi masalah-masalah
yang terjadi akhir-akhir ini di pulau Lombok.
1.
Status sosial (class social) masyarakat sasak yang dulu.
Pertama, kalangan raja, serta
keluarga dan keturunannya. Kedua,
kaum bangsawan (priayi) seperti Lalu
dan Raden. Ketiga, pruangse atau rakyat biasanya. keempat, jajar karang atau kaum budak. Berganti menjadi, Pertama, Tuan Guru, tokoh kharismatik,
pengasuh pondok pesantren. Kedua,
Tuan Haji. orang yang ekonominya tergolong mampu, pengusaha, petani sukses,
pedagang dan lain-lain. Keempat,
Orang biasa, buruh, dan lain-lain.(desertasi. Jamaludin, 2011). Dan saat ini masih perlu penelitian lebih
lanjut tentang sistem kasta ini karena masih belum termasuk kalangan
berpendidikan dan non berpendidikan, terkait modernisasi.
2.
Pelajaran-pelajaran
dasar muatan lokal tergerus oleh sistem pelajaran modern. Ini ditandai dengan
tidak dipakainya lagi huruf “HA NA CA RA KA”, pelajaran seni gambelan, wayang,
bahasa daerah ( logat pujut, selaparang, petung bayan) dll, berganti dengan
dram band, bahasa Ingris, Jepang,
Mandarin dll.
3.
Sudah tidak
menghargai lagi kearifan lokal, ditandai dengan pakaian adat ketika nyongkolan
berganti kaos oblong serta ditambah asesoris-asesoris mencolok, musik Gambelan
dan Gendang Belek sudah tidak laku
lagi berganti dengan Kecimol di
beberapa kabupaten dan kecamatan. Seni wayang yang hampir punah ditandai dengan
tidak adanya re-generasi atau pengkaderan wayang Lalu Nasip oleh pemerintah dan
masyarakat.
4.
Masyarakat Sasak
mudah terpropokasi. Pertama,
pembunuhan I Made Padma oleh Amphibi yang ternyata tidak bersalah. (Lihat Jhon M. MacDougall, Kriminalitas Dan Ekonomi Politik Keamanan Di Lombok.)
pengusiran orang-orang kristen di Mataram dan Lombok Barat gara-gara isu Poso. Kedua, ditandai dengan kasus salah
tangkap seorang pemulung “dihakimi sampat mati” di depan polsek oleh masa di
kecamatan Kediri Lombok Barat gara-gara isu penculikan anak. Dan masih banyak isu-isu lain.
Dari
kasus-kasus di atas saya akan batasi pembahasan pada point pertama karena
terkait politik identitas Suku Sasak dan berhubungan dengan ilmu politik.
Sehingga dari kasus-kasus di atas yang belum terjamah, para pembaca dalam
diskusi ini akan merasa tertantang membahas dari interpretasi masing-masing.
Agama
Hindu dan Budha telah lama datang ke Indonesia mewarnai corak keagamaan di
Nusantara, pembahasan tentang teori datangnya agama Hindu dan Budha dapat
dilihat di www.tuanguru.com,
Islam datang ke Lombok pada awal abad ke 17-18 melalui dua arah, pulau Jawa dan
Makasar. Islam dianggap hal baru ketika itu (modern), kita bisa melihat
foto-foto kaum bangsawan sasak zaman dahulu di mana para wanitanya masih
bertelanjang dada, tokoh-tokoh agama mengislamisasi penduduk lokal yang
sekarang dari data statistik berjumlah 90 % suku sasak beragama Islam, sisanya
beragama Hindu, Budha dan Kristen.
Abad
ke 18 hingga 20 atau ( kira-kira tahun, 1740-1935) lahirlah tuan guru generasi
awal, berubahlah sistem kasta yang
dahulu tertinggi adalah kalangan raja dan bangsawan menjadi Tuan Guru dan Tuan
Haji. keberpihakan para tuan guru terhadap masyarakat biasa melawan penjajahan,
sedang para bangsawan sebagian berselingkuh kekuasaan dengan penjajah (Belanda
dan Jepang), memposisikan para tuan guru sebagai tokoh sentral. Datangnya
Islam, ekspansi Belanda dan penjajahan Jepang adalah sesuatu yang hal yang baru
bagi Suku Sasak (modern: 1 a terbaru; 2 n sikap dan cara berpikir
serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sumber KBBI ofline). Lalu identitas suku sasak sebenarnya apa,
dan bagaimana?, apakah Islam, Hindu, Budha atau Barbar!. Atau kita yang dalam
diskusi ini dulu adalah keturunan raja, bangsawan, pruangse atau jajar karang?
(kecuali mungkin di belakang nama anda Raden Lalu dan Baiq).
Baik,
mari kita tinggalkan pertanyaan yang rumit di atas, kita fokus dengan kondisi
kekinian seperti tuan guru, pesantren, dan santri yang kita anggap masih
tradisional.
Namun
dalam kondisi kekinian posisi Tuan Guru, Pesantren dan Santri juga tak mampu
mempertahankan diri dari arus globalisasi. Tuan Guru dengan kharismanya kini memudar
akibat modernisasi ditandai meningkatnya perekonomian masyarakat, melek
pendidikan dan pengaruh modernisasi itu sendiri. sesuai teori yang digagas Max
Weber, otoritas kharismatik pada waktu-waktu tertentu akan memudar akibat dari
modrnisasi dan pikiran rasional masyarakat. Tuan guru dianggap mempunyai
kekuatan, seolah-olah ada kekuatan mistik dari tuhan dan lain sebagainya.
Pesantren
adalah pusat belajar tradisional bagi umat islam, umumnya berlokasi di
pedesaan. pada mulanya, pesantren tidak mempunyai kurikulum terperinci, memberi
gelar atau sertifikat. Ada beberapa fenomena yang khas dan menarik dalam
pesantren. Dalam pesantren otoritas kyai begitu dominan dan sangat dihormati.
Santri mempunyai kewajiban taat dan tunduk kepada kyai hampir-hampir pada batas
mutlak.sebagai konsekuensinya logis dari hubungan semacam ini, maka kesempatan
bagi seorang santri untuk berbeda pendapat dan pandangan dengan kyainya, sangat
kecil. Kedua, ciri pesantren ialah sikap curiganya terhadap pihak luar.sikap
ini. (Ahmad Syafii Maarif, 1987), h. 56-59.
Pesantren
juga tidak mampu bertahan terhadap modernisasi yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
agama saja karena tidak bisa memenuhi tuntutan zaman, sehingga sekarang banyak
kita temukan pesantren bergabung dengan SMK, atau dalam penyebutan lainya.
Kesimpulan.
Globalisasi
adalah gejala dunia, dampaknya bisa positif dan juga negatif tergantung
bagaimana menyikapinya. Globalisasi dalam interpretasi yang agak sempit yakni
ketenaran modernisasi atau Westernisasi
yang melanda Indonesia, lebih khusus pulau Lombok. Era modern akan membawa
ka-baruan dalam perkembangan masyarakat, baik bertindak, maupun berfikir secara
kolektif. Dan kita tak dapat menafikan hal tersebut. modernisasi yang
kebablasan akan menghapus kearifan lokal dalam suatu masyarakat sehingga perlu
adanya pelindung yang dapat menyaring hal-hal positif dari modernisasi
tersebut.
Suku
sasak dengan kearifan lokalnya, wisata alam, budaya dan religius sebenarnya
menjadi indentitas sesungguhnya yang selama ini tak tersentuh perhatian banyak
orang (sasak). Maka dalam diskusi ini saya mengajak kita semua untuk mawas diri, bahwa kita punya identitas,
kita punya budaya, secara umum kita punya kearifan lokal yang hampir saja
“punah” kalau kita sendiri “kaum intelektual” tidak menjaganya.
Indonesia
Tidak Siap Menghadapi Pasar Bebas Asean.
Terciptanya
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun depan ternyata masih diragukan sejumlah
ekonom global. Itu lantaran banyak perusahaan yang masih meragukan terwujudnya
integrasi antar negara-negara ASEAN. Indonesia tidak kita nafikan bahwa ia
adalah konsumtinf orientit
Catatan:
John
Scott, Social Theory: Central Issues In Sosiology. Alih bahasa oleh, Ahmad
Lintang Lazuardi, Teori Sosial “ Masalah-Masalah Pokok Dalam
Sosiologi”(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Harian
progress, “kekaisaran” oleh: Arianto Sangaji. Artikel pernah dimuat di harian
Kompas, Jum’at, 18 juli 2008.
Lihat.
Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935. Seri desertasi (
Jakarta: Litbang Kementrian Agama RI, 2011).
Ahmad
Syafii Maarif, Islam Dan Masalah Kenegaraan “Studi Percaturan Dalam
Konstituante” ( Jakarta: LP3ES, 1987).