Perubahan sosial
yang terjadi di Indonesia adalah perubahan sosial dalam bentuk Modernisasi.
Suatu perubahan yang bergerak dari atas (top
down) yang biasanya dilakukan oleh para penguasa atau jajaran elit yang
sedang berkuasa. Perubahan yang terjadi adalah perubahan yang berawal dari kepentingan pribadi sang penguasa bukan lagi atas dasar kepentingan masyarakat akar
rumput (grees root) untuk emansipasi.
Oleh karenanya, kerap kali perubahan itu tidak mampu diterima oleh masyarakat
akar rumput tersebut yang notabenenya adalah masyarakat yang terbangun
dari solidaritas mekanis yang sangat kuat.
Dampak dari perubahan sosial tersebut ialah lahirnya globalisasi dalam
wujud modernisasi[3]
yang merupakan sebuah paradigma
baru dalam kehidupan manusia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan munculnya evolusi sosial[4]
dalam berbagai sisi kehidupan manusia, baik secara fisik-material maupun methafisik-spritual.
Proses evolusi tersebut acap kali menimbulkan keterkejutan budaya (cultural
shock) oleh karena masyarakat belum mampu menerima dan atau berinteraksi
dengan budaya baru yang masuk sehingga, tidak jarang proses ini melahirkan resistensi dahsyat yang berakibat pada
perubahan struktur dan pranata sosial masyarakat.
A.
Sasaq
dan Evolusi Sosial Yang Mengancam
Berawal dari analisis dasar dalam teori
Evolusi Auguste Comte maka, dapat di hipotesiskan bahwa, Sasaq hari ini masih
berada pada lapisan sosial mayarakat sederhana (primitive) dan untuk
menuju pada mayarakat yang modern dibutuhkan proses yang sangat panjang dan
fase demi fase. Comte dalam teori evolusinya berasumsi bahwa, masyarakat akan
berubah secara liniear atau seperti garis lurus, dari masyarakat primitive ke
masayarakat maju. Sedangkan bagi teori
fungsional, masyarakat akan berubah secara dinamis dan teratur serta selalu
menuju pada keseimbangan baru. [5]Aplikasi
teori ini sangat mempengaruhi pemikiran modern tentang pembangunan bahkan sendi
dasar dari paham globalisasi dikemudian hari bahwa, masyarakat bergerak dari
masyarakat non industry berevolusi ke masyarakat indutri yang lebih kompleks
dan berbudaya. Bagi teori ini, tradisi maupun adat istiadat dilihat lebih
sebagai masalah dalam pembangunan.[6]
Oleh karenanya keberadaan Sasaq sebagai
sebuah tradisi sekaligus system keyakinan (the believe system) menjadi
sangat terancam dalam proses evlosinya kedepan terlebih, di Desa Sade[7]
misalnya, sebagai sebuah Desa yang merepresentasikan Sasaq murni dan sangat enkulturatif
(internalisasi nilai adat, norma dan/atau aturan) saat ini sudah mengalami
perubahan yang cukup derastis, dibuktikan
dengan keberadaan Sade yang sangat Industrialitatif
dijadikan sebagai Desa Wisata. Sasaq bukan lagi sebuah tatanan yang sarat akan nilai
tetapi, ke-sasakan kita hari ini seolah-olah sudah tergadaikan dan bebas akan
nilai oleh karena kepentingan pasar semata.
B.
Sasaq dalam
Interaksi Modernisasi
Istilah Sasaq
dalam masyarakat Lombok merupakan suatu kohesi dan kolektifa sosial yang
dibentuk atas dasar solidaritas mekanis yang khas, kental dan tradisional. Oleh
karenya Sasaq berada pada fase perubahan tradisional yang nantinya akan menuju
ke fase praindustrian atau biasa
disebut modernisasi dan terakhir pada fase agraris (postmodernisasi).
Sasaq adalah word
view bagi masyarakat Lombok yang pada hakikatnya membentuk suatu tatanan
tradisionalistik yang sangat khas melalui beberapa pendekatan teologis, adat
istiadat dan filosofisnya dalam kitab Negara
kertagama.
Oleh karena itu keberadaan Sasaq menjadi sangat penting untuk kelangsungan
peradaban masyarakat Lombok khususnya. Sehingga, ketika modernisasi dengan
berbagai bentuknya mencoba untuk masuk dan melakuakan asimilasi budaya yang
sangat ekstrim maka, saat itulah tatanan tradisionalistik mulai terganggu dan
resistensi budaya menjadi tidak terelakkan.
Modernisasi-pun
pada hakikatnya merupakan word view “ilmiah” yang paling penting dalam
aspek perkembangan budaya modern akan tetapi yang membedakannya ialah Mood
Of ”Production”. Lebih kepada kepentingan ilmiah
(ilmu pengetahuan) akan nilai-nilai produktivitas masyarakat.
Akibat dari
modernisasi diatas, maka akan berdampak pada perubahan nilai
atau norma, konflik sosial, ketidakadilan, urbanisasi dan disintegrasi dalam masyarakat.[8] Perkembangan
infrastruktur Jalan raya di Lombok khususnya Lombok Tengah (yang oleh penulis disebut Dunia III) semakin pesat dan
sedang gencar-gencarnya diproyeksikan guna menyambut pencanangan MDG's (Millennium
Development Goals ) tahun 2015 mendatang. Model pembangunan yang ideal dan
berorientasi pada welfare state ini pun oleh Kabupaten Lombok Tengah
dimanifestasikan dalam perbaikan jalan raya, pasar bebas (Industri
kapitalis) dan perkembangan sektor pariwisata
yang kemudian berdampak pada proses industrialisasi, birokratisasi, cinaisasi,
inggrisiasi, Amerikanisasi dan westernisasi yang membabi buta membuat
sosio-budaya masyarakat berubah dengan sangat derastis.
Urbanisasi menjadi semakin meningkat
dibuktikan dengan keberadaan kantor Migrasi yang tidak pernah sepi dikunjungi
oleh para ojek-ojek TKI dan TKW untuk diperjakan. Dan lebih miris lagi proses
urbanisasi yang demikian seringkali melahirkan TKI/TKW Sindrom yang sok
modern dan karena terlalu lama di negeri orang akhirnya melupakan logat
dan bahasa tradisionalnya.
Dalam kancah industri misalnya,
sistem pertanian tradisional atau perusahaan domistik takluk pada perusahaan
dan industri komersial. Alfamrt, Indomart dan art-art yang lain dengan
seenaknya berdiri tanpa ada relokasi yang jelas bagi masyarakat yang tergusur
sehingga, sumber
produktif seperti tanah, tenaga kerja, kapital dan bahan mentah tidak lagi
dimasukkan dalam sistem kekerabatan dan sistem komunal. Otoritas elit
tradisional terancam dan transformasi status yang dibawa sejak lahir terputus
demi dalih ketertiban dan stabilitas. Kompetisi dan perjuangan yang keras untuk
mobilitas ke atas diikuti oleh frustasi dan kadang-kadang tingkah laku menyimpang
(patologi sosial) tidak terkendali dan anomali sosial-pun semakin
membludak. Termasuk dalam urusan sosial keagamaan. Agama menjadi makin
terasing sebagai suatu institusi yang terpisah dari kehidupan politik, ekonomi
dan sosial oleh karena masyarakat "modern" lebih suka mengarahkan
urusannya secara sekuler sehingga ini menjadi sangat paradoks dengan keberadaan
Lombok yang dikenal sebagai pulau seribu Masjid. Sistem kepercayaan masyarakat
mulai bergeser dari religious ortodoks ke- sekularistik.
Harapan masyarakat melambung sangat tinggi tetapi
kesempatan yang realsitis untuk merealisasikan harapan tersebut sangatlah
terbatas sehingga antara Das Sollen dan Das Sein
menjadi tidak seimbang. Akibatnya, masyarakat akan
selalu dihantui dengan harapan-harapan palsu akan keniscayaan kesejahteraan
sosial.
C.
Back to Sasaq
Sasaq
oleh penulis dianalogikan seperti langit suci (the sacred canopy) yang
akan melindungi masyarakat Lombok dari semua tantangan dunia internal maupun
eksternal (Weber dalam dua dunia; dunia dalam dan luar) serta pada kemungkin
yang lain akan mengganggu stabilitas system keyakinan (the believe system)
masyarakat Sasak itu sendiri. Dalam hal ini system keyakinan masyarakat Sasaq
adalah etika, budaya dan filosofi kehidupan yang kemudian direpresentasikan
dalam berbagai perilaku (behavior)
kehidupan
masyarakat Sasaq. Ketiga elemen inilah yang menjadi landasan berpikir (mainseat)
paradigma masyarakat Sasaq yang bagi
penulis disebut sebagai Agama. Sesuai dengan pandangan Clifoord Geertz dibawah
ini;
Agama merupakan “Suatu sistem
simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah
menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk
konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan meletakkan konsepsi ini
kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya persaan dan motivasi ini
akan terlihat sebagai suatu relaitas yang unik.”[9]
Dari pandangan ini maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa setiap yang didalamnya terdapat
system keyakinan (the believe system) yang mengikat dan menjadi landasan
dan/atau konsepsi berpikir (word-view) dan bertindak masyarakat, itulah
Agama. Seperti halnya yang terjadi dalam komunitas Islam Kejawen di pulau Jawa. Demikian pula halnya dengan Sasaq yang ada di Lombok
yang selalu dibanggakan dan diangung-agungkan menjadi sebuah agama dan oleh
karenanya kita harus kembali kepada Sasaq dalam arti yang sesungguhnya dalam
keadaan suci dari tindakan-tindakan yang menyimpang (patologis) guna terciptanya tatanan masyarakat Sasaq yang
harmonis, dinamis dan berbudaya serta bergerak dengan nilai-nilai etika
kedaerahan (etnosentisme).
[1]
Disampaikan Dalam Diskusi Perdana “Berugak Institute” di Kebun Laras
Cafee, Pukul 19.00 WIB, 15 Oktober 2014.
[2]
Mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010, Fakultas Ushuluddin Dan
Pemikiran Islam, Program Studi Sosiologi Agama.
[3]
Modernisasi merupakan proses dengan mana individu berubah dari cara hidup
tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta
cepat berubah. Sedangkan menurut Mc Clelland memaparkan modernitas dalam arti
sejumlah variable psikologis yang membentuk suatu jenis karakteristik mentalitas
dari manusia modern secara khas. (M. Francis Abraham. 1980.Modernisasi di
Dunia Ketiga. Cetakan pertama, November 1991. Tiara Wacana. Yogyakarta
[4]
Evolusi Sosial merupakan perubahan sosial secara perlahan, sistematis dan
dinamis dalam lingkungan masyarakat. (Talcot Parson)
[5]
Dr. Mansour Fakih. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi.
Cetakan Ke-VI. Insist Press. Yogyakarta. Hlm 51.
[6]
ibid hlm 48-49
[7]
Sade merupakan sebuah Desa yang sampai hari ini mewakili masyarakat Lombok
secara keseluruhan oleh karena ia merupakan salah satu kelompok suku sasaq
tertua dibagian Lombok Selatan. Selain itu ia mampu merepresentasikan kolektiva
sosial masyarakat Sasaq yang cukup murni. Desa ini berada ddi wilayah Desa
Rambitan, Pujut, Lombok Tengah yang secara emosial masyarakat didalamnya
mengaku sebagai keturunan (trah) Betare Batu Dinding dan Betare Kiyangan dan
makamnya disebut “Pedewe dan makam Sunting”. Setiap saat tradisi ritual
penghormatan terhadap leluhurnya, disebut Tradisi rutual Ngayu-ayu. Untuk
masyarakat Sade khususnya nmempunyai makam leluhur yaitu makam Sunting,
yang bercirikan makam pra aksara (pra sejarah). Makam ini biasanya diziarahi
khususnya hari sabtu, ketika para keturunanya mempunyai hajat (Kurdap Selake,
S.Pd. 2011. Mengenal Budaya Dan Adat Istiadat Komunitas Suku Sasaq Di Desa
Tradisional Sade. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara
Barat. mataram. Hlm 3-4.
[8]
Piotr Sztompka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada Media Grup. Jakarta. Hlm 85-86.
[9]
Daniel L. Pals. 2011. Seven theories Of
Religion. IRCisoD. Yogyalarta. hlm 342-346.