Selasa, 04 November 2014


Oleh: Muhammad Fachrurrasyied Hilmy[2]
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia adalah perubahan sosial dalam bentuk Modernisasi. Suatu perubahan yang bergerak dari atas (top down) yang biasanya dilakukan oleh para penguasa atau jajaran elit yang sedang berkuasa. Perubahan yang terjadi adalah perubahan yang berawal dari kepentingan pribadi sang penguasa bukan lagi atas dasar kepentingan masyarakat akar rumput (grees root) untuk emansipasi. Oleh karenanya, kerap kali perubahan itu tidak mampu diterima oleh masyarakat akar rumput tersebut yang notabenenya adalah masyarakat yang terbangun dari solidaritas mekanis yang sangat kuat.
            Dampak dari perubahan sosial tersebut ialah lahirnya globalisasi dalam wujud modernisasi[3] yang merupakan sebuah paradigma baru dalam kehidupan manusia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan munculnya evolusi sosial[4] dalam berbagai sisi kehidupan manusia, baik secara fisik-material maupun methafisik-spritual. Proses evolusi tersebut acap kali menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock) oleh karena masyarakat belum mampu menerima dan atau berinteraksi dengan budaya baru yang masuk sehingga, tidak jarang proses ini melahirkan resistensi dahsyat yang berakibat pada perubahan struktur dan pranata sosial masyarakat.     
A.  Sasaq dan Evolusi Sosial Yang Mengancam
Berawal dari analisis dasar dalam teori Evolusi Auguste Comte maka, dapat di hipotesiskan bahwa, Sasaq hari ini masih berada pada lapisan sosial mayarakat sederhana (primitive) dan untuk menuju pada mayarakat yang modern dibutuhkan proses yang sangat panjang dan fase demi fase. Comte dalam teori evolusinya berasumsi bahwa, masyarakat akan berubah secara liniear atau seperti garis lurus, dari masyarakat primitive ke masayarakat maju. Sedangkan bagi teori fungsional, masyarakat akan berubah secara dinamis dan teratur serta selalu menuju pada keseimbangan baru. [5]Aplikasi teori ini sangat mempengaruhi pemikiran modern tentang pembangunan bahkan sendi dasar dari paham globalisasi dikemudian hari bahwa, masyarakat bergerak dari masyarakat non industry berevolusi ke masyarakat indutri yang lebih kompleks dan berbudaya. Bagi teori ini, tradisi maupun adat istiadat dilihat lebih sebagai masalah dalam pembangunan.[6]
Oleh karenanya keberadaan Sasaq sebagai sebuah tradisi sekaligus system keyakinan (the believe system) menjadi sangat terancam dalam proses evlosinya kedepan terlebih, di Desa Sade[7] misalnya, sebagai sebuah Desa yang merepresentasikan Sasaq murni dan sangat enkulturatif (internalisasi nilai adat, norma dan/atau aturan) saat ini sudah mengalami perubahan yang cukup derastis, dibuktikan dengan keberadaan Sade yang sangat Industrialitatif dijadikan sebagai Desa Wisata. Sasaq bukan lagi sebuah tatanan yang sarat akan nilai tetapi, ke-sasakan kita hari ini seolah-olah sudah tergadaikan dan bebas akan nilai oleh karena kepentingan pasar semata.  
B.  Sasaq dalam Interaksi Modernisasi
Istilah Sasaq dalam masyarakat Lombok merupakan suatu kohesi dan kolektifa sosial yang dibentuk atas dasar solidaritas mekanis yang khas, kental dan tradisional. Oleh karenya Sasaq berada pada fase perubahan tradisional yang nantinya akan menuju ke fase praindustrian atau biasa disebut modernisasi dan terakhir pada fase agraris (postmodernisasi).
Sasaq adalah word view bagi masyarakat Lombok yang pada hakikatnya membentuk suatu tatanan tradisionalistik yang sangat khas melalui beberapa pendekatan teologis, adat istiadat dan filosofisnya dalam kitab Negara kertagama. Oleh karena itu keberadaan Sasaq menjadi sangat penting untuk kelangsungan peradaban masyarakat Lombok khususnya. Sehingga, ketika modernisasi dengan berbagai bentuknya mencoba untuk masuk dan melakuakan asimilasi budaya yang sangat ekstrim maka, saat itulah tatanan tradisionalistik mulai terganggu dan resistensi budaya menjadi tidak terelakkan.
Modernisasi-pun pada hakikatnya merupakan word view “ilmiah” yang paling penting dalam aspek perkembangan budaya modern akan tetapi yang membedakannya ialah Mood Of ”Production”. Lebih kepada kepentingan ilmiah (ilmu pengetahuan) akan nilai-nilai produktivitas masyarakat.
Akibat dari modernisasi diatas, maka akan berdampak pada perubahan nilai atau norma, konflik sosial, ketidakadilan, urbanisasi dan disintegrasi dalam masyarakat.[8] Perkembangan infrastruktur Jalan raya di Lombok khususnya Lombok Tengah (yang oleh penulis disebut Dunia III) semakin pesat dan sedang gencar-gencarnya diproyeksikan guna menyambut pencanangan MDG's (Millennium Development Goals ) tahun 2015 mendatang. Model pembangunan yang ideal dan berorientasi pada welfare state ini pun oleh Kabupaten Lombok Tengah dimanifestasikan dalam perbaikan jalan raya, pasar bebas (Industri kapitalis) dan perkembangan sektor pariwisata yang kemudian berdampak pada proses industrialisasi, birokratisasi, cinaisasi, inggrisiasi, Amerikanisasi dan westernisasi yang membabi buta membuat sosio-budaya masyarakat berubah dengan sangat derastis.
            Urbanisasi menjadi semakin meningkat dibuktikan dengan keberadaan kantor Migrasi yang tidak pernah sepi dikunjungi oleh para ojek-ojek TKI dan TKW untuk diperjakan. Dan lebih miris lagi proses urbanisasi yang demikian seringkali melahirkan TKI/TKW Sindrom yang sok modern dan karena terlalu lama di negeri orang akhirnya melupakan logat dan bahasa tradisionalnya.
            Dalam kancah industri misalnya, sistem pertanian tradisional atau perusahaan domistik takluk pada perusahaan dan industri komersial. Alfamrt, Indomart dan art-art yang lain dengan seenaknya berdiri tanpa ada relokasi yang jelas bagi masyarakat yang tergusur sehingga, sumber produktif seperti tanah, tenaga kerja, kapital dan bahan mentah tidak lagi dimasukkan dalam sistem kekerabatan dan sistem komunal. Otoritas elit tradisional terancam dan transformasi status yang dibawa sejak lahir terputus demi dalih ketertiban dan stabilitas. Kompetisi dan perjuangan yang keras untuk mobilitas ke atas diikuti oleh frustasi dan kadang-kadang tingkah laku menyimpang (patologi sosial) tidak terkendali dan anomali sosial-pun semakin membludak. Termasuk dalam urusan sosial keagamaan. Agama menjadi makin terasing sebagai suatu institusi yang terpisah dari kehidupan politik, ekonomi dan sosial oleh karena masyarakat "modern" lebih suka mengarahkan urusannya secara sekuler sehingga ini menjadi sangat paradoks dengan keberadaan Lombok yang dikenal sebagai pulau seribu Masjid. Sistem kepercayaan masyarakat mulai bergeser dari religious ortodoks ke- sekularistik.
Harapan masyarakat melambung sangat tinggi tetapi kesempatan yang realsitis untuk merealisasikan harapan tersebut sangatlah terbatas sehingga antara Das Sollen dan Das Sein menjadi tidak seimbang. Akibatnya, masyarakat akan selalu dihantui dengan harapan-harapan palsu akan keniscayaan kesejahteraan sosial.
C.  Back to Sasaq
Sasaq oleh penulis dianalogikan seperti langit suci (the sacred canopy) yang akan melindungi masyarakat Lombok dari semua tantangan dunia internal maupun eksternal (Weber dalam dua dunia; dunia dalam dan luar) serta pada kemungkin yang lain akan mengganggu stabilitas system keyakinan (the believe system) masyarakat Sasak itu sendiri. Dalam hal ini system keyakinan masyarakat Sasaq adalah etika, budaya dan filosofi kehidupan yang kemudian direpresentasikan dalam berbagai perilaku (behavior) kehidupan masyarakat Sasaq. Ketiga elemen inilah yang menjadi landasan berpikir (mainseat) paradigma masyarakat Sasaq yang bagi penulis disebut sebagai Agama. Sesuai dengan pandangan Clifoord Geertz dibawah ini; 
              Agama merupakan “Suatu sistem simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan meletakkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya persaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu relaitas yang unik.”[9]
Dari pandangan ini maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa setiap yang didalamnya terdapat system keyakinan (the believe system) yang mengikat dan menjadi landasan dan/atau konsepsi berpikir (word-view) dan bertindak masyarakat, itulah Agama. Seperti halnya yang terjadi dalam komunitas Islam Kejawen di pulau Jawa. Demikian pula halnya dengan Sasaq yang ada di Lombok yang selalu dibanggakan dan diangung-agungkan menjadi sebuah agama dan oleh karenanya kita harus kembali kepada Sasaq dalam arti yang sesungguhnya dalam keadaan suci dari tindakan-tindakan yang menyimpang (patologis) guna terciptanya tatanan masyarakat Sasaq yang harmonis, dinamis dan berbudaya serta bergerak dengan nilai-nilai etika kedaerahan (etnosentisme).  








[1] Disampaikan Dalam Diskusi Perdana “Berugak Institute” di Kebun Laras Cafee, Pukul 19.00 WIB, 15 Oktober 2014.
[2] Mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010, Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam, Program Studi Sosiologi Agama.
[3] Modernisasi merupakan proses dengan mana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah. Sedangkan menurut Mc Clelland memaparkan modernitas dalam arti sejumlah variable psikologis yang membentuk suatu jenis karakteristik mentalitas dari manusia modern secara khas. (M. Francis Abraham. 1980.Modernisasi di Dunia Ketiga. Cetakan pertama, November 1991. Tiara Wacana. Yogyakarta 
[4] Evolusi Sosial merupakan perubahan sosial secara perlahan, sistematis dan dinamis dalam lingkungan masyarakat. (Talcot Parson)
[5] Dr. Mansour Fakih. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi. Cetakan Ke-VI. Insist Press. Yogyakarta. Hlm 51.
[6] ibid hlm 48-49
[7] Sade merupakan sebuah Desa yang sampai hari ini mewakili masyarakat Lombok secara keseluruhan oleh karena ia merupakan salah satu kelompok suku sasaq tertua dibagian Lombok Selatan. Selain itu ia mampu merepresentasikan kolektiva sosial masyarakat Sasaq yang cukup murni. Desa ini berada ddi wilayah Desa Rambitan, Pujut, Lombok Tengah yang secara emosial masyarakat didalamnya mengaku sebagai keturunan (trah) Betare Batu Dinding dan Betare Kiyangan dan makamnya disebut “Pedewe dan makam Sunting”. Setiap saat tradisi ritual penghormatan terhadap leluhurnya, disebut Tradisi rutual Ngayu-ayu. Untuk masyarakat Sade khususnya nmempunyai makam leluhur yaitu makam Sunting, yang bercirikan makam pra aksara (pra sejarah). Makam ini biasanya diziarahi khususnya hari sabtu, ketika para keturunanya mempunyai hajat (Kurdap Selake, S.Pd. 2011. Mengenal Budaya Dan Adat Istiadat Komunitas Suku Sasaq Di Desa Tradisional Sade. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat. mataram. Hlm 3-4.  
[8] Piotr Sztompka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial.  Prenada Media Grup. Jakarta. Hlm 85-86.
[9] Daniel L. Pals. 2011. Seven theories Of Religion. IRCisoD. Yogyalarta. hlm 342-346.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this