Oleh: Agus Dedi Putrawan
Isu
pemisahan pulau Sumbawa menjadi sebuah “provinsi” dari provinsi NTB dengan
induknya berada di pulau Lombok bukan sekedar isapan jempol semata. Terbukti
dengan antusias politikus, ormas dan patisipan-partisipan atas bingkai Desentralisasi
yang berlaku dalam UU No. 23 tahun 2014 berbunyi “Penyerahan Urusan Pemerintahan Oleh Pemerintah Pusat Kepada Daerah
Otonom Berdasarkan Asas Otonom” artinya Sumbawa yang terdiri dari beberapa
kabupaten (Sumbawa Bima, dan Dompu) yang luasnya melebihi pulau Lombok, sah-sah
saja memimpikan Desentralisasi sebagai ikhtiar pendekatan pelayanan publik juga
karena terbelakangi oleh berbagai macam problem semisal: kamajuan cenderung
terfokus hanya di pulau Lombok, akses infrastuktur masih minim, akses
pendidikan “buta aksara”, kemiskinan dan lain sebagainya. Ketersediaan sumber
daya alam “pariwisata dan tambang” membuat para intelektual pulau Sumbawa ingin
berdikari terlebih lagi termuat dalam manifesto pulau Sumbawa yang berjudul “Propinsi Pulau Sumbawa Adalah Keniscayaan Kesadaran
Sejarah” memuat tentang sejarah
kerajaan-kerajaan di pulau itu serta proses terbentuknya provinsi NTB oleh Belanda
(Sumber
Oleh :Apache-Sumbawa).
Pemisahan
ini juga didukung sepenuhnya oleh Gubernur NTB, TGH. Zainul Majdi (TGB) ketika
menjadi bakal calon Gubernur waktu itu. Beliau menilai ini adalah sebuah proses
pemekaran bukan sebuah pemisahan, hal ini penting dipahami agar tidak ada steriotape antara pulau Lombok dengan
Sumbawa. Keinginan bersama yang terbangun antara pemerintah daerah, legislatif,
dan masyarakat sepulau Sumbawa yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, tekat bulat
itu telah diwujukan melalui kesepakatan
bersama antara Bupati, Wali Kota dan
Ketua DPRD sepulau Sumbawa di Hotel Kencana Sumbawa (Sumbawa TV, 2004).
PELUANG DAN TANTANGAN
Dalam
diskusi yang dilaksanakan oleh Berugak Institute pada 5 September 2014 yang
lalu, berbagai wacana timbul ke permukaan, terlebih kekhawatiran dari perbagai
kalangan. Namun sikap positif juga mewarnai peredebatan-perdebatan ilmiah itu
sebagai penyeimbang alot-nya diskusi
tersebut. Agus Dedi (penulis) misalnya memandang Desentralisasi itu bukan
sekedar wacana kesejahtraan sosial, namun lebih kepada intrik-intrik politik dan
pergumulan Political Opportinity, dan
itu “bahaya”. Sikap khawatir itu terlatarbelakangi oleh diskusi di kelas dan
dalam acara bedah buku Desentralisasi Asimetris yang ditulis oleh Dr. Ni’matul
Huda di gedung Pasca UII, 2014. “wacana Desentralisasi bukan sekedar wacana
kesejahtraan sosial namun sekarang lebih kepada pembagian kekuasaan (Michel
Fucoult: distibusi kekuasaan, Fitra Bukhari dan Enny Nurbaningsih dalam bedah buku Desentralisasi Asimetris
2014) orang-orang ingin memisahkan diri untuk menjadi pemimpin baru, atau ingin
mempertahankan kekuasaan. Desentralisasi asimetris misalkan lebih kepada peng-anak
emasan suatu daerah tertentu, serta untuk meredam konflik semata bukan atas
dasar sumberdaya yang dimiliki atau kebutuhan suatu daerah (Jakarta, Yogyakarta,
Aceh, Papua). Bali (latar pariwisata)
dan Surakarta (latar kesultanan, historis) beberapa kali meminta kepada pusat
(Jakarta) namun tak urung diberikan dengan alasan jika mereka dikabulkan maka
daerah lain akan ikut menuntut sehingga terjadi class of civilization. Maka pertanyaannya, di mana diterapkannya
konsep “Keadilan” dalam pancasila.
Mari
kita kerucutkan pembahasan ini, dalam diskusi Berugak Institut beberapa kawan
juga menyambut baik “pemekaran” untuk tidak mengatakan “pemisahan” tersebut.
Misalnya saudari Hani, memandang masyarakat Sasak (pulau Lombok) akan
diuntungkan dengan pemekaran tersebut karena sumberdaya yang dimiliki pulau Lombok
melebihi pulau Sumbawa, pemekaran juga akan menguntungkan pihak Lombok sendiri
karena ia sudah lebih siap dari sumberdaya pariwisata, budaya, religius
pertambangan, bahari dan lain sebagainya. Saudara Suhirman juga mengakatan
“identitas pulau seribu masjid dengan budaya santri (pendidikan religius)
sebagai tiang akan menujukan keeksistensian sebenarnya”.
Dari
tulisan ini, penulis tidak ingin menyimpulkan perdebatan antara pro dan kontra,
namun hanya ingin menegaskan.
Sudah
siapkah masyarakat Sasak akan Desentralisasi..?, untuk tidak mengatakan latah,
karena sebagian masih menutup mata akan wacana ini sebagaimana sikap latahnya
terhadap globalisasi dengan modernisasinya.
Sudah
siapkah Berugak Institute mengawal segala perubahan sosial yang akan terjadi ke
depan..?.
Karena
perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan (Aguste Comte).
Sekian,
semoga bermanfaat.
Sumbawa merupakan daerah yang luas dengan jumlah penduduk yang sedikit. peluang besar bagi sumbawa untuk memajukan daerahnya, dikarenakan PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang besar dari segala sektor terutama SDA. Maka sumbawa akan membawa masyarakatnya sejahtra.
BalasHapusAkan tetapi jika peluang yang besar ini dimanfaatkan oleh oknum pejabat yang ingin menambah kekayaan maka Sumbawa akan rusak, terutama keshalehan sosial haruslah dimiliki oleh masyarakat Sumbawa.
Letak geografis suatu wiliyah sangat mempengaruhi watak dan karakter masyarakatnya.
sepakat, memang berbicara sumberdaya sumbawa lombok sungguh prestice, namun yang jd masalah siapa yang mengendalikan ?
HapusYang mampu mengendalikan adalah orang Sumbawa yang peduli dengan daerahnya, bukan yang peduli dengan rumahnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan yang kuat untuk membangun karakter yang baik, terutama karakter agama dan sosial.
Hapussebenarnya kalau menurut saya, hal di atas berbahaya, karena kita seakan mengkotak-kotakan tendensi, sekat-sekat yang biasanya menimbulkan pertikaian-pertikaian di masa depan. saya sepakat dengan side, memang pendidikan harus bertanggung jawab untuk memperkuat karakter. entah itu sosial maupun agama
BalasHapusperubahan itu adalah sebuah keniscayaan, cita-cita ideal musti di wujudkan
BalasHapushehe
BalasHapusnumpang tenar gan, pernah berkunjung ke lombok jadi doyan foto-foto, http://www.muzayyinahyar.com/
Hapus