Oleh: Basarudin
Dinamika perubahan social dalam berbagai
kehidupan masyarakat sasak masa kini, memungkinkan bahwa terjadinya proses
dialektika diantara kelompok masyarakat dengan pemangku kebijakan (pemerintah
daerah). Dalam perjalanan menuju keadaban
moral masyarakat, peningkatan kesejahtraan, serta kemudahan dalam mengakses
pendidikan, dan pungsi pemerintah daerah sangat penting sebagai poros awal
mengentaskan kemiskinan (John R. Bartholomew: 2001). Tentu saja tidak hanya
pemda, tapi peran setiap komponen masyarakat di pulau Lombok mempunyai
keniscayaan dalam membangun iklim pemerintahan yang kondusif, transparmatif.
Dan berintegrasi.[1]
Untuk itulah perlu optimalisasi, penerapan rasa optimis dalam
membagun dialog kerakyatan antara setiap stakeholder guna meneruskan
langkah-langkah konkrit sebagai wujud pembentukan tata pemerintahan yang santun
terhadap kehidupan rakyat. Badrul Munir memandang bahwa pembangunan masyarakat
Lombok perlu dimulai melalui keberanian untuk mendobrak kelaziman pada kebekuan
berfikir kebanyakan masyarakat Lombok.[2]
Komitmen hendaknya dilakukan melalui dialog Ekonomi social kerakyatan serta
konseptualisasi pembangunan nilai-nilai pendidikan yang berbasis “local
wisdom” (kesalehan domistik Jinak; mengenai rumah tangga).[3]
Dialog ekonomi sosial kerakyatan sebagai landasan dalam menyusun perda serta
meningkatkan kesejahtraan masyarakat Lombok melalui partisipasi-representatif setiap
elemen masyarakat. Hal ini akan semakain relevan apabila dikorelasikan dengan
agenda kebijakan pendidikan berbasis peningkatan hingga tingkatan hilir.
Dalam fokus pada aspek etnografi (lokal kedaerahan), masyarakat
Lombok, khususnya wilayah Lombok Tengah, masyarakat masih didominasi karakter
nilai-nilai kedaerahan yang kental dalam membangun tingkah laku bersosial. Pada
tataran praksis masyarakat Lombok masih mengakui legalitas-formal kedudukan
tokoh agama (baca: tuan guru haji), dibandingkan posisi politik kelompok elit
(Badrun Munir: 2007)[4].
Hal inilah yang diakui secara tidak langsung mempengaruhi proses kedewasaan
berpolitik masyarakat Lombok Tengah. Peran tokoh agama dalam merespon setiap
perubahan memiliki andil yang besar dalam membentuk pola pikir masyarakat Sasak
dalam mengambil kebijakan, tidak terkecuali pada persoalan pembangunan tingkat
perekonomian masyarakat Lombok tengah.
Berbagai diskursus timbul pernyataan bahwa peningkatan tingkat
kesejahtraan masyarakat Lombok, khususnya wilayah Lombok tengah akan lahir,
apabila ada mekanisme (System) ekonomi-kerakyatan. Bassem Tibi dalam bukunya Islam
Kebudayaan dan Perubahan Sosial menyatakan
bahwa ekonomi kerakyatan harus dimulai dari ranah terkecil dalam kehidupan
masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan paling mendasar di dalam masyarakat harus
menjadi prioritas, sebagai bagian dalam membentuk identitas Sosial.[5]
Hal senada diungkapkan oleh Fuad Bawazier, mantan mentri keuangan periode
kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, ia menyatakan bahwa
ekonomi-kerakyatan dalam Sistem ekonomi alternatif, ditengah-tengah gempuran
system ekonomi kapitalisme-materialistik dan sosialisme monopolitik.[6]
Kondisi budaya masyarakat dalam konteks pendidikan, setiap manusia
memiliki versi yang berbeda-beda dalam member makna terhadap kosakata “Pendidikan”
dan dari sekian banyak literatur definisi pendidikan, seluruh pemaknaan akan
mengerucut pada konsep “pembentukan identitas diri melalui pedalaman
berbagai disiplin keilmuan”. Pendidikan pula menjadi tolak ukur menilai
tingkat kecerdasan sekaligus kepandaian kongnitif, afektif, hingga psikomotorik
seseorang. Namun tidak semua konsep pendidikan akan membuahkan hasil yang
berkualitas. Philip Khouriy, menjabarkan bahwa pendidikan berkualitas dibangun
dalam beberapa aspek
ü Mekanisme optimalisasi tenaga pengajar yang
handal dan professional dalam bidangnya.
ü Maksimalisasi pada pengembangan anak didik
yang berkepribadian luhur dan humanis
ü Konseptualisasi Nilai-nilai kebangsaan dan
nasionalisme
ü Pengembangan daya keritis
ü Memberikan wawasan yang bersifat
integratif-komunikatif,
Dan pengembangan dunia pendidikan di Lombok sudah menjadi prioritas
jangka panjang pemerintah kabupaten. Namun melihat kondisi pendidikan di Lombok
tengah diantara poros pergulatan iklim pandangan tradisionalis (komversional)
dengan kelompok moderat-kontemporer, akan tergambar bahwa pendidikan di bumi
Sasak pada Umumnya, belum mampu membentuk anak didik yang memiliki jiwa
responsif terhadab berbagai permasalahan serta berkepribadian cerdas dalam
mengambil keputusan. Tapi masih banyak yang ditemukan anak-anak didik yang
bergumul dengan nilai-nilai fanatik keagamaan, serta stangnasi dalam berfikir.
[1] Makalah ini
disusun sebagai bahan materi dalam diskusi BERUGAQ INSTITUS Mahasiswa Asal
Lombok Tengah, pada tanggal 15 Oktober 2014 Bertepatan di Depan Polik Klinik
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Badrun Munir,
Perubahan atau Setatus Quo, (Cetakan Pertama, PT Jaringan Pena: Yogyakarta,
2004) hlm, 14
[3]
Ibid, hlm: 76
[4] Badrun Munir,”
perubahan atau status quo” (PT Jaringan Pena: Yogyakarta, 2007) hlm, 15
[5] Bassam Tibi
“Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial (PT Tiara Wacana Yogyakarta, Desember
1999) hlm, 45
[6] Kompas edisi
15 Oktober 2014, rubrik opini “Realitas Ekonomi Kekinian”