Sabtu, 18 Oktober 2014



Oleh: Basarudin


Dinamika perubahan social dalam berbagai kehidupan masyarakat sasak masa kini, memungkinkan bahwa terjadinya proses dialektika diantara kelompok masyarakat dengan pemangku kebijakan (pemerintah daerah). Dalam perjalanan menuju keadaban moral masyarakat, peningkatan kesejahtraan, serta kemudahan dalam mengakses pendidikan, dan pungsi pemerintah daerah sangat penting sebagai poros awal mengentaskan kemiskinan (John R. Bartholomew: 2001). Tentu saja tidak hanya pemda, tapi peran setiap komponen masyarakat di pulau Lombok mempunyai keniscayaan dalam membangun iklim pemerintahan yang kondusif, transparmatif. Dan berintegrasi.[1]

Untuk itulah perlu optimalisasi, penerapan rasa optimis dalam membagun dialog kerakyatan antara setiap stakeholder guna meneruskan langkah-langkah konkrit sebagai wujud pembentukan tata pemerintahan yang santun terhadap kehidupan rakyat. Badrul Munir memandang bahwa pembangunan masyarakat Lombok perlu dimulai melalui keberanian untuk mendobrak kelaziman pada kebekuan berfikir kebanyakan masyarakat Lombok.[2] Komitmen hendaknya dilakukan melalui dialog Ekonomi social kerakyatan serta konseptualisasi pembangunan nilai-nilai pendidikan yang berbasis “local wisdom” (kesalehan domistik Jinak; mengenai rumah tangga).[3] Dialog ekonomi sosial kerakyatan sebagai landasan dalam menyusun perda serta meningkatkan kesejahtraan masyarakat Lombok melalui partisipasi-representatif setiap elemen masyarakat. Hal ini akan semakain relevan apabila dikorelasikan dengan agenda kebijakan pendidikan berbasis peningkatan hingga tingkatan hilir.

Dalam fokus pada aspek etnografi (lokal kedaerahan), masyarakat Lombok, khususnya wilayah Lombok Tengah, masyarakat masih didominasi karakter nilai-nilai kedaerahan yang kental dalam membangun tingkah laku bersosial. Pada tataran praksis masyarakat Lombok masih mengakui legalitas-formal kedudukan tokoh agama (baca: tuan guru haji), dibandingkan posisi politik kelompok elit (Badrun Munir: 2007)[4]. Hal inilah yang diakui secara tidak langsung mempengaruhi proses kedewasaan berpolitik masyarakat Lombok Tengah. Peran tokoh agama dalam merespon setiap perubahan memiliki andil yang besar dalam membentuk pola pikir masyarakat Sasak dalam mengambil kebijakan, tidak terkecuali pada persoalan pembangunan tingkat perekonomian masyarakat Lombok tengah.

Berbagai diskursus timbul pernyataan bahwa peningkatan tingkat kesejahtraan masyarakat Lombok, khususnya wilayah Lombok tengah akan lahir, apabila ada mekanisme (System) ekonomi-kerakyatan. Bassem Tibi dalam bukunya Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial  menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan harus dimulai dari ranah terkecil dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan paling mendasar di dalam masyarakat harus menjadi prioritas, sebagai bagian dalam membentuk identitas Sosial.[5] Hal senada diungkapkan oleh Fuad Bawazier, mantan mentri keuangan periode kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, ia menyatakan bahwa ekonomi-kerakyatan dalam Sistem ekonomi alternatif, ditengah-tengah gempuran system ekonomi kapitalisme-materialistik dan sosialisme monopolitik.[6]

Kondisi budaya masyarakat dalam konteks pendidikan, setiap manusia memiliki versi yang berbeda-beda dalam member makna terhadap kosakata “Pendidikan” dan dari sekian banyak literatur definisi pendidikan, seluruh pemaknaan akan mengerucut pada konsep “pembentukan identitas diri melalui pedalaman berbagai disiplin keilmuan”. Pendidikan pula menjadi tolak ukur menilai tingkat kecerdasan sekaligus kepandaian kongnitif, afektif, hingga psikomotorik seseorang. Namun tidak semua konsep pendidikan akan membuahkan hasil yang berkualitas. Philip Khouriy, menjabarkan bahwa pendidikan berkualitas dibangun dalam beberapa aspek

ü  Mekanisme optimalisasi tenaga pengajar yang handal dan professional dalam bidangnya.
ü  Maksimalisasi pada pengembangan anak didik yang berkepribadian luhur dan humanis
ü  Konseptualisasi Nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme
ü  Pengembangan daya keritis
ü  Memberikan wawasan yang bersifat integratif-komunikatif,

Dan pengembangan dunia pendidikan di Lombok sudah menjadi prioritas jangka panjang pemerintah kabupaten. Namun melihat kondisi pendidikan di Lombok tengah diantara poros pergulatan iklim pandangan tradisionalis (komversional) dengan kelompok moderat-kontemporer, akan tergambar bahwa pendidikan di bumi Sasak pada Umumnya, belum mampu membentuk anak didik yang memiliki jiwa responsif terhadab berbagai permasalahan serta berkepribadian cerdas dalam mengambil keputusan. Tapi masih banyak yang ditemukan anak-anak didik yang bergumul dengan nilai-nilai fanatik keagamaan, serta stangnasi dalam berfikir.


[1] Makalah ini disusun sebagai bahan materi dalam diskusi BERUGAQ INSTITUS Mahasiswa Asal Lombok Tengah, pada tanggal 15 Oktober 2014 Bertepatan di Depan Polik Klinik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Badrun Munir, Perubahan atau Setatus Quo, (Cetakan Pertama, PT Jaringan Pena: Yogyakarta, 2004) hlm, 14
[3] Ibid, hlm: 76
[4] Badrun Munir,” perubahan atau status quo” (PT Jaringan Pena: Yogyakarta, 2007) hlm, 15
[5] Bassam Tibi “Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial (PT Tiara Wacana Yogyakarta, Desember 1999) hlm, 45
[6] Kompas edisi 15 Oktober 2014, rubrik opini “Realitas Ekonomi Kekinian”
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this