Sabtu, 18 Oktober 2014



Berugak Institute

Secara nasional, permasalahan sosial menjadi momok yang menakutkan, baik dipandang dari sisi pribadi masyarakat maupun dari sisi pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi. Hal ini dikarenakan permasalahan sosial yang muncul sangat berdampak pada sisi-sisi kehidupan yang lainnya. Bahkan permasalahan-permasalahan sosial tersebut tidak pernah absen di media masa maupun media elektronik, dipermukaan indonesia sendiri masih banyak yang belum terekspos secara nasional. Kendati banyak program yang ditawarkan pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut, namun permasalahan sosial terus menjadi sorotan publik yang selalu hangat. Misalnya; kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, perdagangan manusia (human trafiking) dll.

Secara lokal, permasalahan sosial tumbuh seakan-akan tidak memperdulikan kondisi, tempat maupun yang lainnya, bahkan kepolosan mimik generasi muda menjadi emas yang sangat berharga untuk diperdagangkan, sehingga banyak generasi muda yang khususnya berada dipedesaan harus menelan pil-pahit tanpa ada perlindungan secara hukum maupun perlindungan secara pri-kemanusiaan. Selain itu, doktrin-doktrin manis tentang dunia kerja terus menghibur generasi muda maupun masyarakat pada umumnya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik. Keadaan inilah yang menjadi pemicu munculnya permasalahan sosial ke permukaan.

Besarnya dampak dari permasalahan sosial pun semakin melebar, mulai dari ketidakmampuan generasi muda untuk melanjutkan pendidikan sampai pada terjadinya bunuh diri karena sudah tidak tahan menghadapai ganasnya waktu yang menghadirkan dunia modern. Peristiwa-peristiwa seperti ini telah banyak melahirkan isu yang membuming, baik secara lokal maupun nasional, bahkan sampai pada kancah international. Memandang dari sisi pemerintah, selama ini telah banyak usaha yang dijalankan, dari pemberian modal usaha sampai pada bantuan dana secara langsung, namun permasalahan sosial masih terjadi, seakan-akan tidak mau terpisah dari orang-orang yang tidak mengalami keterbelakangan materi.

Selain itu, keterbatasan ekonomi menjadi alasan yang sudah tidak tabu lagi di abad modern saat ini, keterbatasan ekonomi atau kemiskinan yang mencekik, masyarakat miskin harus putar otak dan banting tulang untuk mendapatkan pemasukan demi menyambung hidup. Dengan landasan inilah Berugaq Institute hadir sebagai salah satu gerakan sosial untuk membangun masyarakat yang mampu berjiwa saing dalam persaingan pasar bebas dewasa ini. Berugaq Institute merasa miris akan munculnya permasalahan sosial dipermukaan Indonesia secara umum, dan Lombok secara khusus. Selain itu, Berugaq Institute menganggap permasalahan sosial sangat penting untuk didiskusikan, baik secara nuansa akademik, maupun dalam nuansa aplikasi. Dengan harapan permasalahan sosial ini dapat teratasi semaksimal mungkin, sehingga masyarakat dapat menghirup udara segar dan beristirahat dengan tenang.


Oleh: Basarudin


Dinamika perubahan social dalam berbagai kehidupan masyarakat sasak masa kini, memungkinkan bahwa terjadinya proses dialektika diantara kelompok masyarakat dengan pemangku kebijakan (pemerintah daerah). Dalam perjalanan menuju keadaban moral masyarakat, peningkatan kesejahtraan, serta kemudahan dalam mengakses pendidikan, dan pungsi pemerintah daerah sangat penting sebagai poros awal mengentaskan kemiskinan (John R. Bartholomew: 2001). Tentu saja tidak hanya pemda, tapi peran setiap komponen masyarakat di pulau Lombok mempunyai keniscayaan dalam membangun iklim pemerintahan yang kondusif, transparmatif. Dan berintegrasi.[1]

Untuk itulah perlu optimalisasi, penerapan rasa optimis dalam membagun dialog kerakyatan antara setiap stakeholder guna meneruskan langkah-langkah konkrit sebagai wujud pembentukan tata pemerintahan yang santun terhadap kehidupan rakyat. Badrul Munir memandang bahwa pembangunan masyarakat Lombok perlu dimulai melalui keberanian untuk mendobrak kelaziman pada kebekuan berfikir kebanyakan masyarakat Lombok.[2] Komitmen hendaknya dilakukan melalui dialog Ekonomi social kerakyatan serta konseptualisasi pembangunan nilai-nilai pendidikan yang berbasis “local wisdom” (kesalehan domistik Jinak; mengenai rumah tangga).[3] Dialog ekonomi sosial kerakyatan sebagai landasan dalam menyusun perda serta meningkatkan kesejahtraan masyarakat Lombok melalui partisipasi-representatif setiap elemen masyarakat. Hal ini akan semakain relevan apabila dikorelasikan dengan agenda kebijakan pendidikan berbasis peningkatan hingga tingkatan hilir.

Dalam fokus pada aspek etnografi (lokal kedaerahan), masyarakat Lombok, khususnya wilayah Lombok Tengah, masyarakat masih didominasi karakter nilai-nilai kedaerahan yang kental dalam membangun tingkah laku bersosial. Pada tataran praksis masyarakat Lombok masih mengakui legalitas-formal kedudukan tokoh agama (baca: tuan guru haji), dibandingkan posisi politik kelompok elit (Badrun Munir: 2007)[4]. Hal inilah yang diakui secara tidak langsung mempengaruhi proses kedewasaan berpolitik masyarakat Lombok Tengah. Peran tokoh agama dalam merespon setiap perubahan memiliki andil yang besar dalam membentuk pola pikir masyarakat Sasak dalam mengambil kebijakan, tidak terkecuali pada persoalan pembangunan tingkat perekonomian masyarakat Lombok tengah.

Berbagai diskursus timbul pernyataan bahwa peningkatan tingkat kesejahtraan masyarakat Lombok, khususnya wilayah Lombok tengah akan lahir, apabila ada mekanisme (System) ekonomi-kerakyatan. Bassem Tibi dalam bukunya Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial  menyatakan bahwa ekonomi kerakyatan harus dimulai dari ranah terkecil dalam kehidupan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan paling mendasar di dalam masyarakat harus menjadi prioritas, sebagai bagian dalam membentuk identitas Sosial.[5] Hal senada diungkapkan oleh Fuad Bawazier, mantan mentri keuangan periode kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid, ia menyatakan bahwa ekonomi-kerakyatan dalam Sistem ekonomi alternatif, ditengah-tengah gempuran system ekonomi kapitalisme-materialistik dan sosialisme monopolitik.[6]

Kondisi budaya masyarakat dalam konteks pendidikan, setiap manusia memiliki versi yang berbeda-beda dalam member makna terhadap kosakata “Pendidikan” dan dari sekian banyak literatur definisi pendidikan, seluruh pemaknaan akan mengerucut pada konsep “pembentukan identitas diri melalui pedalaman berbagai disiplin keilmuan”. Pendidikan pula menjadi tolak ukur menilai tingkat kecerdasan sekaligus kepandaian kongnitif, afektif, hingga psikomotorik seseorang. Namun tidak semua konsep pendidikan akan membuahkan hasil yang berkualitas. Philip Khouriy, menjabarkan bahwa pendidikan berkualitas dibangun dalam beberapa aspek

ü  Mekanisme optimalisasi tenaga pengajar yang handal dan professional dalam bidangnya.
ü  Maksimalisasi pada pengembangan anak didik yang berkepribadian luhur dan humanis
ü  Konseptualisasi Nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme
ü  Pengembangan daya keritis
ü  Memberikan wawasan yang bersifat integratif-komunikatif,

Dan pengembangan dunia pendidikan di Lombok sudah menjadi prioritas jangka panjang pemerintah kabupaten. Namun melihat kondisi pendidikan di Lombok tengah diantara poros pergulatan iklim pandangan tradisionalis (komversional) dengan kelompok moderat-kontemporer, akan tergambar bahwa pendidikan di bumi Sasak pada Umumnya, belum mampu membentuk anak didik yang memiliki jiwa responsif terhadab berbagai permasalahan serta berkepribadian cerdas dalam mengambil keputusan. Tapi masih banyak yang ditemukan anak-anak didik yang bergumul dengan nilai-nilai fanatik keagamaan, serta stangnasi dalam berfikir.


[1] Makalah ini disusun sebagai bahan materi dalam diskusi BERUGAQ INSTITUS Mahasiswa Asal Lombok Tengah, pada tanggal 15 Oktober 2014 Bertepatan di Depan Polik Klinik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Badrun Munir, Perubahan atau Setatus Quo, (Cetakan Pertama, PT Jaringan Pena: Yogyakarta, 2004) hlm, 14
[3] Ibid, hlm: 76
[4] Badrun Munir,” perubahan atau status quo” (PT Jaringan Pena: Yogyakarta, 2007) hlm, 15
[5] Bassam Tibi “Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial (PT Tiara Wacana Yogyakarta, Desember 1999) hlm, 45
[6] Kompas edisi 15 Oktober 2014, rubrik opini “Realitas Ekonomi Kekinian”

Jumat, 17 Oktober 2014

Diskusi Perdana Berugak Institute

Posted by Unknown On 19.31 | No comments
Pengurus Berugak Institute


Diskusi perdana Berugak Institute telah menjadi awal baru dalam menumbuhkan dan mentradisikan Semangat diskusi, dimana giroh diskusi yang terlihat dari para pengurus Berugak Institute akan menjadi warna baru dalam perjalanan sejarah dari masing-masing pengurus Berugak Institute. Di awal diskusi ini, terlihat berbagai perpsektif yang menarik dalam mengawal arah perubahan sosial, masyarakat Lombok. Mulai dari saudara Salimuddin (direktur Berugak Institute) melihat permasalahan sosial dari perspektif Tafsir, dan menawarkan lebih kepada mentradisikan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an secara universal oleh generasi muda Lombok, hal ini dikarenakan adanya pergeseran nilai-nilai dan makna-makna awal yang selama ini menjadi kekuatan kenyakinan. Saudara Irawan yang melihat dari perspektif Filsapat menawarkan untuk terus dibudayakan solidaritas mekanis yang selama ini menjadi identitas masyarakat Lombok. Saudara M. Fachrurrosyid Hilmi dari perspektif Sosiologi Agama lebih menawarkan adanya sifat kritis-komunikatif dalam menemani arus perubahan sosial yang ada.

Selian itu, saudara Basarudin dari perspektif Sejarah Kebudayaan Islam, lebih menawarkan untuk menjaga nilai-nilai tradisional agar kebudayaan Lombok tidak tergeser oleh budaya-budaya baru yang ruhnya tidak kita kenal sama sekali. Saudara M. Hatim yang lebih mengkaji dari sisi Pemikiran Pendidikan Islam mencoba membaca reenterpretasi konsep tuan guru dalam arus modernisasi. Saudara Syukur dari perspektif Pekerjaan Sosial (Social Work), lebih kepada melihat realitas masyarakat yang bergantung pada kebijakan pemerintah, kesejahteraan sosial harus dibangun dan dikuatkan melalui kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat miskin, serta adanya sebuah model sentuhan secara langsung pemerintah dalam melihat permasalahan sosial masyarakat, tidak hanya dilihat dalam kondisi meraba dalam jarak pandang yang jauh. Saudara Suhirman Jayadi dari perspektif Pendidikan Agama Islam, lebih menyoroti model pendidikan yang terlihat “wah” namun jauh dari karekter pendidikan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia ini. Saudara Agus Dedi Putawan dari perspektif Politik lebih melihat sasak ditengah cengkraman globalisasi.

Dari berbagai sudut pandangan ini, diskusi perdana terlihat hidup dan semangat yang tinggi dalam meningkatkan tradisi akademik. Perdebatan-perbebatan pun muncul dari ketidakselarasan perspektif yang ada, ketidakpuasan akan wacana yang ditawarkan menjadi satu kebiasaan lama “penasaran” yang akan melahirkan jiwa-jiwa intelektual yang update secara terus menerus, dan inilah harapan besar Berugak Institute dalam mengantar para pengurus dalam melakukan gerakan perubahan demi kesejahteraan sosial yang diamanatkan oleh pancasilan, sila ke-5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. Dengan demikian, warna intelektual dalam Berugak Institute menjadi lebih menarik dan memiliki paradigma yang berbeda-beda namun disatukan dalam ikatan “ke-sadar-an”. Dimana ke-sadar-an memiliki makna akan arti penting memahami dunia globalisai, namun tetap memegang teguh kenyakinan akan kekuasaan mutlak Sang Pencipta “Allah SWT”.

Dengan demikian, harapan demi harapan terus menjadi teguran hangat yang selalu diingatkan oleh identitas Berugak Institute yakni “ke-sadar-an”. Karena dengan ke-sadar-an secara ‘keyakinan hati’ akan melahirkan pemaknaan yang lebih luas dari sekedar hanya memahami. Dan harapan kami “pengurus Berugak Institute” semoga apa yang kami suguhkan ini dapat bermakna positif yang akan mengantarkan pada kedewasaan yang lebih kepada para pembaca yang sudah menyempatkan diri berkunjung di blog Berugak Institute.

Yogyakarta; 18 Oktober 2014
Mengetahui;
Direktur Berugaq Institute                                                      Sekjen Berugaq Institute

Salimuddin. S.Th.I                                                                Syukur. S.Sos.I

Rabu, 15 Oktober 2014




 

(Telaah Ringkas Historisitas Pendidikan Islam dalam Pusaran Masyarakat Sasak)
 Oleh: Suhirman Jayadi al-Sasaki


PENDAHULUAN

Terma Islamic studies (Pendidikan Islam) memang diakui selalu menarik untuk diperbincangkan, mulai dari kalangan akademisi hingga pemerhati yang concern di bidang pendidikan (islam). Bahkan lebih dari itu, para pedagang-pedagang di pasaran pun kerap kali nyeloteh-nyeloteh masalah pendidikan yang tengah ditempuh anak-anaknya, kendatipun mereka dilanda ketidakpahaman akan hal tersebut. Dalam sejarahnya, pendidikan islam pada hakekatnya tidak terlepas dari sejarah islam itu sendiri. Oleh sebab itu, periodesasi sejarah pendidikan islam dapat dikatakan berada dalam periode-periode sejarah islam itu sendiri.[1]

Tulisan ringkas ini tidak bermaksud untuk melihat pendidikan islam dalam konteks yang makro (baca; umum), tetapi lebih kepada konteks yang mikro yakni menilik pendidikan islam yang terdapat di salah satu tempat, sesuai dengan judul di atas yakni masyarakat sasak selaku penduduk yang mendiami pulau Lombok. Melalui tulisan singkat ini kita akan mencoba mendiskusikan beberapa hal penting terkait dengan sejarah (historisitas) pendidikan islam khususnya yang terdapat di pulau Lombok.

A.      Sejarah Ringkas tentang Pulau Lombok

SALAH satu pulau yang terdapat di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ialah pulau Lombok. Secara geografis, Lombok terletak di sebelah timur pulau Bali dan di sebelah barat pulau Sumbawa. Sedang di sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa dan di sebelah timur lautan Indonesia di bagian selatannya. Dalam perkembangan selanjutnya Lombok menjadi pusat pemerintahan dari Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan Mataram sebagai ibu kotanya.

Di lihat dari etnik, “pulau Lombok didiami oleh suku yang bernama suku sasak. Suku sasak ini merupakan penduduk asli dan merupakan kelompok etnik mayoritas, mereka ini meliputi lebih  90% dari keseluruhan penduduk Lombok”.[2] Untuk merekonstruksi sejarah pendidikan islam  menjadi sebuah bangunan  kesejarahan yang utuh dan menyeluruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusuri sebagal bahan pengkajlan leblh ianjut.

Sejarah mencatat bahwa, “Islam masuk ke Nusa Tenggara seiring dengan penaklukan daerah Bore (1606), Bima (1616, 1618 dan 1628 M), Buton (1626 M) oleh Kerajaan Goa. Dengan ditaklukkannya daerah tersebut, agama Islam tersebar ke daerah taklukannya sampai ke Nusa Tenggara”.[3] Sekarang keadaan agama Islam di Nusa Tenggara sebagai berikut : Di Lombok, Bima, Sumbawa boleh dikatakan kebanyakan penduduknya beragama Islam. Fachry Ali dan Bachtiar Effendy menguraikan, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia termasuk Nusa Tenggara yaitu:

1.      Karena ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam system ketuhanannya, suatu prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal. Sebagai konsekuensinya, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan.
2.       Karena daya lentur (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai yang universal.
3.      Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh barat.[4]

B.       Sistem Pendidikan Islam

1.         Sistem pendidikan Langgar/Musolla

Pada perkembangan awal, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Pendidika agama Islam di langgar/musolla bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti  guru dengan menirukan apa yang telah dibaca dari kitab suci al-Qur’an. Pelajaran memakan waktu beberapa bulan, tetapi umumnya sekitar satu tahun.[5]

Adapun tujuan pendidikan di langgar/musolla adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami isinya. Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar/musolla memakai dua sistem, yaitu sistem sorogan, dimana dengan sistem ini anak secara perorangan belajar dengan guru. Dan sistem halaqah yakni seorang guru dalam pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya.

2.         Sistem Pendidikan Pesantren

Sejarah pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (nggon ngaji). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.[6]

Pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dan berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawila atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (‘Izz al-Islam wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.

Pesantren merupakan pranata pendidikan tradisional yang dipimpin kalau di Jawa disebut Kiai, di sunda disebut Ajengan, di Aceh disebut Tengku, di Sumatera Utara/ Tapanuli disebut Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru. Mereka semua juga bisa disebut ulama sebagai sebutan yang lebih umum (menasional), meskipun pemahaman ulama mengalami pergeseran.





DAFTAR REFERENSI


Iskandar Engku dan Siti Zubaidah. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Erni Budiwanti. Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS. 2000.
Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Mutiara Sumber Widya. 1995.
Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Pertumbuhan dan Perkembngannya. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1995.
Irsyad Djuwaini. Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam. Ciputat : Karsa Utama Mandiri. 1998.



[1]Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 1.
[2] Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 6.
[3] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995. Cet IV. H 323.
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Pertumbuhan dan Perkembngannya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Cet I. h 20.
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Pertumbuhan dan Perkembngannya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995. Cet I.21.
[6] Irsyad Djuwaini, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Ciputat : Karsa Utama Mandiri, 1998. Cet I. h 50.

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this