(Telaah Ringkas
Historisitas Pendidikan Islam dalam Pusaran Masyarakat Sasak)
Oleh: Suhirman
Jayadi al-Sasaki
PENDAHULUAN
Terma
Islamic studies (Pendidikan Islam) memang diakui selalu menarik untuk
diperbincangkan, mulai dari kalangan akademisi hingga pemerhati yang concern
di bidang pendidikan (islam). Bahkan lebih dari itu, para pedagang-pedagang di
pasaran pun kerap kali nyeloteh-nyeloteh masalah pendidikan yang tengah
ditempuh anak-anaknya, kendatipun mereka dilanda ketidakpahaman akan hal
tersebut. Dalam sejarahnya, pendidikan islam pada hakekatnya tidak terlepas
dari sejarah islam itu sendiri. Oleh sebab itu, periodesasi sejarah pendidikan
islam dapat dikatakan berada dalam periode-periode sejarah islam itu sendiri.
Tulisan
ringkas ini tidak bermaksud untuk melihat pendidikan islam dalam konteks yang
makro (baca; umum), tetapi lebih kepada konteks yang mikro yakni menilik
pendidikan islam yang terdapat di salah satu tempat, sesuai dengan judul di
atas yakni masyarakat sasak selaku penduduk yang mendiami pulau Lombok. Melalui
tulisan singkat ini kita akan mencoba mendiskusikan beberapa hal penting
terkait dengan sejarah (historisitas) pendidikan islam khususnya yang
terdapat di pulau Lombok.
A.
Sejarah
Ringkas tentang Pulau Lombok
SALAH satu pulau yang terdapat di
Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ialah pulau Lombok. Secara geografis, Lombok
terletak di sebelah timur pulau Bali dan di sebelah barat pulau Sumbawa. Sedang
di sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa dan di sebelah timur lautan
Indonesia di bagian selatannya. Dalam perkembangan selanjutnya Lombok menjadi
pusat pemerintahan dari Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan Mataram sebagai ibu
kotanya.
Di lihat dari etnik, “pulau
Lombok didiami oleh suku yang bernama suku sasak. Suku sasak ini
merupakan penduduk asli dan merupakan kelompok etnik mayoritas, mereka
ini meliputi lebih 90% dari keseluruhan
penduduk Lombok”.
Untuk merekonstruksi sejarah pendidikan islam menjadi sebuah
bangunan kesejarahan yang utuh dan
menyeluruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya
terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai.
Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan
pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable.
Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang
perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam
pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusuri
sebagal bahan pengkajlan leblh ianjut.
Sejarah mencatat bahwa, “Islam masuk ke Nusa Tenggara seiring dengan
penaklukan daerah Bore (1606), Bima (1616, 1618 dan 1628 M), Buton (1626 M)
oleh Kerajaan Goa. Dengan ditaklukkannya daerah tersebut, agama Islam tersebar
ke daerah taklukannya sampai ke Nusa Tenggara”.
Sekarang keadaan agama Islam di Nusa Tenggara sebagai berikut : Di Lombok,
Bima, Sumbawa boleh dikatakan kebanyakan penduduknya beragama Islam. Fachry Ali
dan Bachtiar Effendy menguraikan, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang
ikut mempercepat proses penyebaran Islam di Indonesia termasuk Nusa Tenggara
yaitu:
1.
Karena
ajaran Islam melaksanakan prinsip ketauhidan dalam system ketuhanannya, suatu
prinsip yang secara tegas menekankan ajaran untuk mempercayai Tuhan Yang Maha
Tunggal. Sebagai konsekuensinya, Islam juga mengajarkan prinsip keadilan dan
persamaan dalam tata hubungan kemasyarakatan.
2.
Karena daya lentur (fleksibilitas) ajaran
Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan kodifikasi nilai-nilai yang
universal.
3.
Islam
oleh masyarakat Indonesia dianggap sebagai suatu institusi yang amat dominan
untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh barat.
B.
Sistem Pendidikan Islam
1.
Sistem pendidikan Langgar/Musolla
Pada perkembangan awal, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal.
Pendidika agama Islam di langgar/musolla bersifat elementer, dimulai dengan
mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung
mengikuti guru dengan menirukan apa yang
telah dibaca dari kitab suci al-Qur’an. Pelajaran memakan waktu beberapa bulan,
tetapi umumnya sekitar satu tahun.
Adapun tujuan pendidikan di langgar/musolla adalah agar anak didik dapat
membaca al-Qur’an dengan baik dan tidak dirasakan keperluan untuk memahami
isinya. Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar/musolla
memakai dua sistem, yaitu sistem sorogan, dimana dengan sistem ini anak secara
perorangan belajar dengan guru. Dan sistem halaqah yakni seorang guru dalam
pengajarannya duduk dengan dikelilingi murid-muridnya.
2.
Sistem Pendidikan Pesantren
Sejarah pesantren, jika disandingkan
dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem
pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula
merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam
di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan
ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (nggon
ngaji). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap
bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya
masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini
dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami
doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Pendidikan pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
dan berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawila atau abdi
masyarakat tetapi rasul, yaitu
menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri,
bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan
kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (‘Izz
al-Islam wa al-Muslimin) dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian manusia.
Pesantren merupakan pranata
pendidikan tradisional yang dipimpin kalau di Jawa disebut Kiai, di sunda
disebut Ajengan, di Aceh disebut Tengku, di Sumatera Utara/ Tapanuli disebut
Syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah disebut Tuan Guru. Mereka semua juga
bisa disebut ulama sebagai sebutan yang lebih umum (menasional), meskipun
pemahaman ulama mengalami pergeseran.
DAFTAR REFERENSI
Irsyad
Djuwaini. Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam. Ciputat : Karsa Utama
Mandiri. 1998.