Selasa, 10 Februari 2015


oleh: Muzakkir S

L
ombok, Pulau kecil namun kaya akan gelar yang disematkan dan disandang, mulai dari icon tempat ibadah, distinasi wisata, adat istiadat, seni musik, kuliner pedas, sampai kepada populasi binatang. Potret Lombok dan masyarakatnya terbingkai dalam kemasan budaya dan tradisi yang dianut. Tidak bisa dipungkiri bahwa Lombok merupakan Pulau yang berada di Provinsi  NTB dengan populasi muslim sebagai kaum mayoritas. Maka sangat wajar kalau Lombok disematkan gelar “seribu masjid” karena begitu mudah menjumpai masjid. Setiap dusun/kampung bisa dipastikan memiliki masjid bahkan dalam satu kampung terdapat dua masjid atau lebih, belum lagi dengan mushalla atau sanggar-sanggar yang didirikan. Antusias keberagamaan dan sensitivitas religius yang dimiliki sangat terasa dan kontras terpampang dalam aktivitas sehari-hari. Sekalipun kehadiran Islam tidak sebagai agama pertama, namun Islam mampu berasimilasi dengan budaya setempat hingga akhirnya masyarakat menjadikan Islam sebagai agama pilihan mereka.

Pertumbuhan dan perkembangan masjid di Lombok mengalami signifikansi yang luar biasa, bentuk dan miniatur yang digunakan pun banyak mengalami perubahan. Secara general antusias dan motivasi masyarakat dalam membangun masjid di Lombok sangat tinggi walaupun pada sebagian tempat terkesan dipaksakan sehingga memakan waktu yang lama. Namun, yang menjadi ironi bahkan tragedi adalah minat masyarakat dalam mengisi masjid tidak sebanding lurus dengan antusias membangun masjid itu sendiri. Masjid terkesan diisi pada waktu shalat lima waktu atau pada acara-acara besar saja. Padahal masjid bisa dijadikan sentral kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakatan.

Gelar “seribu masjid” mendapat kompetitor yang lebih besar nominalnya yaitu “sejuta sapi”. Ini menjadi perang jargon yang mencerminkan Lombok (NTB) di luar. Sejuta Sapi sudah menjadi program pemerintah Provinsi NTB, sedangkan Seribu masjid memang bukan program prioritas Pemerintah Provinsi. Di sini, kita tidak mengkritisi program pemerintah, namun lebih kepada melihat fenomena dari perang dua jargon tersebut. Sadar atau tidak sadar, follower masjid kian down padahal masjid itu sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa. Di beberapa tempat kita melihat banyak kampung yang membangun masjid, merenovasi masjid bahkan mendirikan masjid tandingan. Kompetisi pembangunan masjid pun menjadi tontotan biasa dan Follower yang delcon dengan masjid kian bertambah. What is problem? Apakah ini bentuk kemalasan karena terkontaminasi dengan malasnya sapi? Atau memang karena hal lain? Ya sudahlah....  Ini bukan masalah wajib atau tidak, memang mengisi/beribadah di masjid tidak wajib akan tetapi akan sangat ironi sekali ketika kita berbondong-bondong dan berlomba-lomba mendirikan masjid yang megah namun tidak diisi dan tidak disemarakkan dengan ibadah dan kegiatan sosial lainnya.

Secara umum ini merupakan fenomena sosial masyarakat Sasak saat ini sekalipun pada sebagian tempat masih banyak follower sejati masjid. Maka sudah saatnya para pemangku kebijakan dan para sesepuh agama mencarikan solusi alternatif dalam meramaikan masjid. Desentralisasi masjid seharusnya menjadi program bersama, masjid menjadi sentral keagamaan dan kegiatan sosial lainnya, jangan lagi masjid hanya menjadi miniatur kebanggaan budaya, namuan sepi dari aktivitas keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Maka sudah seharusnya “Satu masjid menampung seribu jama’ah bukan seribu masjid hanya ada satu jama’ah”.


Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this