oleh: Muzakkir
S
L
|
ombok,
Pulau kecil namun kaya akan gelar yang disematkan dan disandang, mulai dari
icon tempat ibadah, distinasi wisata, adat istiadat, seni musik, kuliner pedas,
sampai kepada populasi binatang. Potret Lombok dan masyarakatnya terbingkai
dalam kemasan budaya dan tradisi yang dianut. Tidak bisa dipungkiri bahwa
Lombok merupakan Pulau yang berada di Provinsi NTB dengan populasi muslim sebagai kaum
mayoritas. Maka sangat wajar kalau Lombok disematkan gelar “seribu masjid”
karena begitu mudah menjumpai masjid. Setiap dusun/kampung bisa dipastikan
memiliki masjid bahkan dalam satu kampung terdapat dua masjid atau lebih, belum
lagi dengan mushalla atau sanggar-sanggar yang didirikan. Antusias keberagamaan
dan sensitivitas religius yang dimiliki sangat terasa dan kontras terpampang
dalam aktivitas sehari-hari. Sekalipun kehadiran Islam tidak sebagai agama
pertama, namun Islam mampu berasimilasi dengan budaya setempat hingga akhirnya
masyarakat menjadikan Islam sebagai agama pilihan mereka.
Pertumbuhan
dan perkembangan masjid di Lombok mengalami signifikansi yang luar biasa,
bentuk dan miniatur yang digunakan pun banyak mengalami perubahan. Secara
general antusias dan motivasi masyarakat dalam membangun masjid di Lombok
sangat tinggi walaupun pada sebagian tempat terkesan dipaksakan sehingga
memakan waktu yang lama. Namun, yang menjadi ironi bahkan tragedi adalah minat
masyarakat dalam mengisi masjid tidak sebanding lurus dengan antusias membangun
masjid itu sendiri. Masjid terkesan diisi pada waktu shalat lima waktu atau
pada acara-acara besar saja. Padahal masjid bisa dijadikan sentral kegiatan
keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Gelar
“seribu masjid” mendapat kompetitor yang lebih besar nominalnya yaitu “sejuta
sapi”. Ini menjadi perang jargon yang mencerminkan Lombok (NTB) di luar. Sejuta
Sapi sudah menjadi program pemerintah Provinsi NTB, sedangkan Seribu masjid
memang bukan program prioritas Pemerintah Provinsi. Di sini, kita tidak
mengkritisi program pemerintah, namun lebih kepada melihat fenomena dari perang
dua jargon tersebut. Sadar atau tidak sadar, follower masjid kian down
padahal masjid itu sendiri mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa. Di
beberapa tempat kita melihat banyak kampung yang membangun masjid, merenovasi
masjid bahkan mendirikan masjid tandingan. Kompetisi pembangunan masjid pun
menjadi tontotan biasa dan Follower yang delcon dengan masjid kian bertambah.
What is problem? Apakah ini bentuk kemalasan karena terkontaminasi dengan
malasnya sapi? Atau memang karena hal lain? Ya sudahlah.... Ini bukan masalah wajib atau tidak, memang
mengisi/beribadah di masjid tidak wajib akan tetapi akan sangat ironi sekali
ketika kita berbondong-bondong dan berlomba-lomba mendirikan masjid yang megah namun
tidak diisi dan tidak disemarakkan dengan ibadah dan kegiatan sosial lainnya.
Secara
umum ini merupakan fenomena sosial masyarakat Sasak saat ini sekalipun pada
sebagian tempat masih banyak follower sejati masjid. Maka sudah saatnya para
pemangku kebijakan dan para sesepuh agama mencarikan solusi alternatif dalam
meramaikan masjid. Desentralisasi masjid seharusnya menjadi program bersama,
masjid menjadi sentral keagamaan dan kegiatan sosial lainnya, jangan lagi
masjid hanya menjadi miniatur kebanggaan budaya, namuan sepi dari aktivitas
keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Maka sudah seharusnya “Satu masjid
menampung seribu jama’ah bukan seribu masjid hanya ada satu jama’ah”.