Kamis, 16 April 2015



Oleh: Ishak Hariyanto[1]


Dalam diskusi kali ini saya mencoba untuk mengangkat tema yang masih diangggap seksi yakni tentang “Dilema Peropot (Pernikahan Paksa) Terhadap Dedare Sasak”. Pernikahan peropot[2] atau kawin paksa ini tentu menjadi gejolak psikologis yang selalu menghantui kaum perempuan khususnya para dedare sasak.[3] Menurut saya tema tentang pernikahan paksa peropot ini menjadi hal yang sangat menarik untuk kita diskusikan dalam forum manapun, terutama di Berugak Isntitut Yogyakarta. Secara umum kawin paksa ini menjadi dilema yang menggejolak dalam batin kaum perempuan dedare sasak apabila belum ingin merarik ketika orangtuanya tetap bersikeras memberikan pilihan pada dia, agar memilih merarik atau meninggalkan rumah  (telang lekan bale). Lalu yang menjadi pertanyaan besarnya untuk kita diskusikan adalah, kemanakah seorang perempuan harus pergi, apabila dia tidak mendapat pendidikan yang tinggi untuk dapat memperoleh nafkah bagi kehidupannya? Siapakah yang akan memberi perlindungan yang dia cari?.

Dalam konteks ini saya mencoba untuk menjabarkan fenomena kawin paksa peropot ini karena layak untuk kita diskusikan untuk mencari jawaban serta problem solving demi menciptakan budaya ramah terhadap kaum perempuan yang selama ini menjadi obyek kekerasan dan memandang perempuan sebagai makhluk kedua setelah kaum laki sehingga muncul anggapan laki-laki superioritas dan kaum perempuan tersubordinasi. 

Dalam permasalahan kawin paksa mind pattern yang sering muncul dari agen-agen tertentu, baik orangtua, keluarga, masyarakat, dan sebagainya adalah menguatkan pandangan mitos bahwa perempuan yang berumur 20 tahun keatas dan belum menikah berarti perawan tua (dedare toaq),[4] hal ini menjadi persoalan mendasar dari seorang anak perempuan yaitu ketika dia memasuki usia dewasa, dan akhirnya banyak orang tua menginginkan anaknya untuk tidak menjadi perawan tua, karena perawan tua bagi kebanyakan masyarakat dianggap sebagai bentuk kekurangan yang terjadi pada diri perempuan. Hal semacam ini menjadi landasan orangtua, keluarga, masyarakat dan agen-agen tertentu untuk melaksanakan kawin paksa peropot tanpa memikirkan faktor-faktor negatif yang akan menimpa pada seorang anak perempuan selanjutnya ketika terjadinya perkawinan secara paksa, faktor negatif dari dampak pernikahan paksa peropot yakni emosioanal yang tidak menentu, keharmonisan keluarga dan mendekati terjadinya perceraian, karena pada masa tersebut, ego remaja masih tinggi.[5]

Lalu siapakah yang harus bertanggungjawab (responsible) ketika hal ini melanda para kaum perempuan yang ada disekitar kita semua, terutama di desa-desa atau di kampung dan yang lebih khusus di Sasak Lombok. Apakah pernikahan paksa peropot ini menjadi jalan keluar bagi perempuan yang tidak menginginkan perkawinan, dan  apakah kita pernah memikirkan nasibnya ketika dia lari dari rumahnya dan hidup di jalanan dan mengais nafkah. Tentu hal semacam ini menjadi keprihatinan saya, maka dari itu perlu untuk kita mendiskusikan permasalahan ini. Karena dari problematika pernikahan paksa di atas tentu sangat menyedihkan bagi kaum perempuan yang mengalaminya dan terlebih lagi apabila terjadi pada dedare sasak.
 
Pernikahan paksa peropot ini merupakan kekeliruan pada orangtua ketika menjadikan anak perempuannya tidak mampu untuk memperoleh nafkah untuk menghidupi dirinya. Tidak ada orang tua yang memiliki hak (right) untuk mengusir anak perempuannya dijalanan karena menolak untuk dinikahkan secara peropot.

Maka dari itu problem solving yang saya coba tawarkan dalam kesempatan ini adalah kita sebagai generasi penerus (young generation) dan yang akan menjadi orangtua bagi anak-anak selanjutnya jangan pernah memaksa anak kita untuk melakukan pernikahan peropot, apabila pernikahan paksa ini kita tujukan pada anak-anak kita dan kepada kaum perempuan secara umum sesungguhnya ini adalah kesalahan yang sangat fatal bagi orangtua masyarakat dan kita semua apabila memaksakan pernikahan kepada kaum perempuan yang belum menginginkan pernikahan. 

Suatu permasalahan memang sulit untuk kita jangkau, dan apabila pernikahan paksa peropot ini terjadi, maka bagi kaum perempuan yang menolak pernikahan paksa peropot dan menjadi obyek pengusiran maka cari pekerjaan yang mampu anda lakukan melalui tangan anda, jangan pernah melakukan pekerjaan yang merendahkan martabat serta mengais-ngais sampah untuk mencari sesuatu. Bagi kaum laki-laki, kita dan kaum perempuan semuanya diciptakan sama oleh sang pencipta, perempuan bukanlah makhluk kedua akan tetapi perempaun bagian dari kita yang perlu disayangi, dihormati, dihargai dan diberikan hak-haknya tanpa adanya paksaan baik di ruang publik (public sphere) maupun domestik karena kita memiliki hak yang sama. Maka dari itu mari kita ciptakan budaya yang ramah terhadap perempuan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). 

Matur tampiasih semeton, Mohon di koreksi.


[1]Disampaikan pada program diskusi mingguan Berugaq Institute Yogyakarta, 17-April 2015.
[2]Peropot dalam bahasa sasak bisa diartikan (paksa) atau pernikahan secara paksa tanpa ada rasa cinta atau mengenal lebih jauh antara perempuan dan laki (pacaran). Kalau ditarik dalam bahasa Indonesia peropot  ini mirip seperti pernikahan paksa.
[3]Dedare adalah sebutan bagi perempuan sasak Lombok yang belum menikah (merarik).
[4]Dedare toak adalah sebutan bagi orang sasak untuk memanggil perempuan perawan yang belum kawin.
                [5]Tulisan ini penulis terinspirasi oleh buku Mahatma Gandi, Woman and Social Injustice, terj. Siti Farida, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this