Sabtu, 08 November 2014

 sumber (kabar24.com)

oleh; agus dedi putrawan

tulisan ini sebenarnya adalah tulisan yang sudah beberapa bulan ini mumbuat penulis tidak bisa tidur. tulisan ini pernah dipublish di berbagai blog teman-teman penulis.  akan lebih baiknya penulis sebarkan kepada khalayak berugaq institute.

 




Tembok itu sudah tua, tatkala malam tiba
 penghuni jeruji besi meratapi nasib tak pasti
duh,... sayang
Takkan ada lagi pagi untuknya
Takkan ada lagi sarapan pagi untuk majikan
Takkan ada lagi eksploitasi
Tikus-tikus penjara lalu-lalang dari sel tahanan
Terkadang ada yang berkumis, menyeramkan seperti prajurit Alice And Wonderfull Land[1]
Para penjaga perut buncit sontak tersenyum kala jam makan tiba
Akan kah ia selamat dari tiang gantungan[2]
2013 adalah angka yang mungkin akan terukir di batu nisannya
Sekarang ia berada di ruang persegi bertembok jeruji
Tempat di mana ia tak bisa tidur karena pikiran dalam otaknya bak Dinamit yang siap meledak, Memikirkan tali gantungan mangkir di lehernya
Oh dunia, adakah kesempatan untuk nya berbuat
Masih teringat ia akan siksaan majikan “bermata setan” menjambak rambutnya
Merobek-robek bajunya, memaksa mengepel,  tak jarang lengannya  lebam  bekas pukulan tongkat kayu, gajinya pun tak pernah keluar.[3]
Setiap hari begitu.
Setiap minggu begitu.
Dan setiap bulan begitu.
Aduh..
Tiang gantungan lagi-lagi terbayang
Di saat ia menyesali semuanya
Namun ia malah akan mati konyol dengan perlahan atas siksaan sang majikan.
Tak tahu apa yang dipikirkan ayah dan ibunya saat ini
Fadil, pacar terbaiknya entah merantau kemana
Ia melambaikan tangan ketika keberangkatan pacarnya itu
Kini hidupnya di ujung tanduk
Niat mencari uang untuk ayah, ibu dan adik-adiknya berujung maut
Hidupnya sudah tinggal hitungan jam
Selamat tinggal dunia
Selamat tinggal ayah bunda
Selamat tinggal adik-adik
Selamat tinggal kekasih tersayang.
Pagi itu ia ingat betul.
 Ketika mengantarkan nasi parut.
Nasi tercampur parutan kelapa dan ditaburi garam.
Memang nasi itu adalah nasi pokok keluaganya.
Krisis moneter berdampak kepada keluarganya
Ia terpaksa putus sekolah dan memilih menjadi TKW[4]
Duh.. masa itu indah sekali
Ibu dan ayah telah menunggu di pematang sawah.
Sawah  milik tetangga.
Matahari pagi tersenyum kepadaku
Udara persawahan, embun segar membasahi langkah kakiku setapak demi setapak
Harga kebutuhan pokok dan segala macam barang melonjak tinggi
Sudahlah aku tak faham masalah ini
namun keputusanku berhenti sekolah karena tak ada biaya adalah keputusan tepat
Kini ku dihadapkan masalah ekonomi keluargaku.
Kutinggalkan kampung halaman ke negeri jiran
Adik-adikku kini sudah masuk sekolah dasar
Aduh..indonesia pedulikah engkau akan masalahku?
Setahuku kalian hanya berdebat masalah yang sama sekali aku tak mengerti
Aduh..Bukan itu yang aku mau
Bukan itu yang ibu dan bapak mau
Dan bukan itu yang adik-adik ku mau
 
[1] Alice in Wonderland adalah sebuah film animasi produksi Walt Disney, yang diadaptasi dari cerita karya Lewis Carroll yang berjudul Alice's Adventures in Wonderland danThrough the Looking-Glass. Animasi ini merupakan seri yang ke-13 dari Walt Disney Animated Classics series. Film ini dirilis di New York City and London pada tanggal 26 Juli 1951, yang didistribusi oleh RKO Pictures. Pengisi suara Alice adalah Kathryn Beaumont (yang juga menyuarakan Wendy Darling dalam serial animasi berikutnya yang berjudul Peter Pan), dan Ed Wynn berperan sebagai pengisi suara Mad Hatter. Film yang disupervisi oleh Walt Disney, yang dikenal sebagai salah satu karya terbaik Disney studio dalam sejarah film animasi, meskipun banyak kritikan yang tidak baik dari para kritikus film dari United Kingdom.
[2] Wilfrida hanya satu dari ratusan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Menurut data Kemlu, saat ini masih ada 247 WNI lainnya yang berada dalam kondisi serupa. "Rincian ada 36 TKI berada di Arab Saudi, 188 orang di Malaysia, 11 orang di China, satu di Brunei Darussalam, satu orang di Singapura dan satu WNI di Iran,"
[3] Wilfrida dituduh melakukan pembunuhan terhadap majikannya, Yeap Seok Pen (60). Wilfrida merasa tidak tahan dengan perlakuan kasar majikannya tersebut. Dan pada tanggal 30 september akan menjalani hukuman mati.( http://nasional.news.viva.co.id)
[4] TKW singkatan dari Tenaga Kerja Wanita,

Kamis, 06 November 2014



Oleh; Agus Dedi Putrawan

Penyakit sosial yang selalu tampak dipertontonkan oleh para pejabat, birokrasi, akademisi dan masyarakat adalah bentuk dari penyakit private dan penyakit publik.  Dalam sebuah seminar bertemakan “Kesalehan Private dan Publik Secara Integratif”, yang diselenggarakan oleh Pasca Sarjana Uin Sunan Kalijaga, 5 November 2014 lalu. Membahas tentang integrasi semua ilmu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terkait kesalehan private dan publik.
Dalam kehidupan sehari-hari khususnya di Indonesia sebagai mahluk individu maupun sosial, kita selalu berinteraksi dengan orang lain (Hablu Minannas) dan interaksi dengan tuhan yang maha pencipta dengan ibadah-ibadah keagamaan (hamblum minallah) segala tingkah laku manusia dapat kita amati (Agust Comte). Indonesia akhir-akhir ini mengalami berbagai macam musibah alam (gunung meletus, gempa bumi, banjir) dan sosial (agama, politik dan hukum). Terjadi marketing politik, marketing religius, re-aktif self identity dalam gerakan-gerakan radikal, kericuhan dalam dua kubu koalisi di DPR sampai kepada isu sparatisme di berbagai daerah.
Kesalehan private tidak selalu melahirkan kesalehan publik, kesalehan private biasanya adalah orang yang selalu mementingkan diri, rajin beribadah. Yang salah adalah ia beribadah hanya berlaku secara pribadi sedang interaksi dengan orang lain tetap saja “bejat”, masalah antri misalnya dalam kehidupan publik, masih saja ada yang mengatakan “jika bisa nyerobot mengapa harus ngantri” lalu dalam birokrasi “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”, inilah mental orang Indonesia secara umum. Ia selalu dibayang-bayangi budaya patrimonial, masih ada korupsi, kolusi dan nepotisme mengakar dalam tubuhnya. Meski ibadahnya begitu rajin, pakaian serba islami, mengikuti pengajian di sana-sini namun kelakuan tetap “bejat”, bergunjing, memfitnah, sombong, angkuh dan lain sebagainya. Inilah kesalehan private yang tidak benar.
Kesalehan publik selalu tampak menipu, kesalehan publik ini biasanya adalah seseorang yang mengerti konsep kesetaraan, budaya antri, menjaga kebersihan, mementingkan ketimbang umum dari pada mempertahankan preevilage. Bersikap amanah, sikap tolong menolong.  Kesalahannya adalah terjadi kepura-puraan dalam masyarakat (dramatugi). Orang sering sekali menjual-jual janji (kampanye), beretorika di media, seolah-olah membangun pencitraan agar bisa mendapat simpati masyarakat. Kehidupan industri dalam birokrasi mengharuskan setiap orang harus mencapai target-target yang telah ditentukan. Sehingga sikap profesional, seakan mesin (sistem capitalis) dan ketika terjadi kesalahan maka tak segan mencaci maki bawahan di depan umum, kesalehan publik memang penting,  
Integrasi Kesalehan Private dan Publik
Dari gejala-gejala patologi sosial di atas maka perlu terjadi penggabungan antara kesalehan publik dan kesalehan private, akan terjadi dilema ketika orang bertato, minum-minuman keras, berzina, namun ia selalu bersedekah, tepat janji, ketika menjadi pejabat ia amanah, menghargai kesetaraan. Kemudian orang selalu beribadah (5 waktu pluss Sunnah) sampai jidatnya tampak lebam, mengikuti berbagai pengajian, namun ketika berinteraksi, bersosialisasi dengan masyarakat ibadah private-nya tidak berpengaruh, manifestasi kesalehan private tidak tampak dalam interaksinya, membanting bangku ketika rapat DPR.
Integrasi ini penting kiranya untuk mewujudkan solusi penyelesaian patologi sosial di Indonesia, kesalehan private harus menjadi pemicu kesalehan publik. Di samping ia soleh secara individu, secara sosial ia juga berinteraksi dengan baik. Inilah ideal state yang kita impikan dalam kehidupan, baik agama, politik, ekonomi, budaya yang selama ini di frame sebagai senjata merebut kekuasaan. Kesalehan private dan kesalehan publik perlu di tanamkan dalam pendidikan mulai dari pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Karena krisis multidimensional yang kita rasakan hari ini adalah bukti dari gagalnya pendidikan menanamkan kesalehan private yang dipadu dengan kesalehan publik di masa lalu.   

   

Rabu, 05 November 2014

PILIH BUDAYA ATAU NILAI BUDAYA

Posted by Unknown On 17.43 | No comments


Oleh; Agus Dedi Putrawan

Dalam diskusi ke-3 yang lalu, terjadi pergolakan kegelisahan akademik yang sengit antara saya dan saudara Suhirman, sebagai mana Plato dan Aristoteles yang bertolak belakang satu dengan yang lain. dalam dunia akademik memang hal tersebut menjadi hal yang lumrah sebagai mana filsof-filsof clasik di bantai dengan istilah Dekonstruksi ilmu pengetahuan, karena terlatar belakangi oleh perubahan sosial masyarakat yang semakin komplek kemudian teori-teori lama tidak mampu lagi menjawab realitas kekinian. Dalam diskusi bertemakan “nilai filosofi budaya sasak” kami berdua sampai pada lorong gelap yang belum menemukan secercah cahaya harapan untuk keluar dalam kegelisahan tersebut. diskusi melebar, dengan alasan memang kami dari berbagai latar belakang jurusan akan mempunyai pandangan yang subjektif dan objektif bagi diri sendiri yang profesor bambang Sugiharto sebut sebagai Reaktif Self Identity.
Pilih budaya atau nilai budaya?..
Dua hal ini yang sampai tulisan ini dibuat saya tersenyum dengan pikiran nakal. “memang ada budaya yang orisinal?” ketika itu saya kekeh terhadap pernyataan pribadi bahwa budaya sasak yang pernuh dengan patrimonialnya harus di buang jauh-jauh, kita harus mengambil nilai-nilai filosofi dan wajib mempertahankan nilai-nilai seperti tatas tuhu trasna, patut patuh padju dan lain sebagainya. Saudara suhirman mengatakan “oh tidak Budaya Sasak harus kita pertahankan berserta filosifi-filosofinya”, di satu sisi saya setuju dengan stetment “BERESERTA NILAI FILOSOFI-FILOSOFINYA“  karena filosofi adalah kata lain dari “nilai” itu sendiri, dan saya tidak  sependapat dengan pernyataan “MEMPERTAHANKAN BUDAYA”.
Mari kita bedah secara seksama..!    
Saya terpengaruh oleh kuliah umum Prof. Sugihato tentang filsafat Ilmu dan hermeneutika, beliau bertanya “memang ada budaya yang sebenarnya budaya”, kemudian akhir-akhir ini teori tentang Kharima Weber dan teori Nasionalism Ernest Gellner menjadi makanan setiap kali prof. Nurchoidi menggemleng saya dalam kuliahnya. 
Salah satu yang mengerikan dan mencemaskan bagi banyak orang di milenium ke tiga ini adalah tendensi pembongkaran (Dekonstruksi). Segala sekat itu, mana ilmu dan bukan ilmu, mana kepercayaan dan tidak, ilmiah, tidak ilmiah,  suku mana dengan suku mana, batas-batas budaya, batas-batas kesukuan, batas-batas agama dan segala macam itu berambrukan, bahkan batas-batas ilmu yang sekarang akrab dengan hal yang bukan ilmu, hukum positif skarang terlihat akrab dengan antropologi, fisikologi, semua sekat itu berambrukan. Maka orang jadi panik memang karena semua di bongkar (dekonstruksi), batas-batas itu sekarang sudah tidak jelas lagi kelihatan (amburadul). (Sugihato, 2010).
“memang ada sasak budaya yang murni?” inilah yang menjadi awal kegelisahan saya. Kita sama-sama ketahui dan mengakui bahwa budaya sasak aalah budaya akuturasi dari budaya-budaya pendatang, budaya Hindu-Budha (Jawa, Majapahit) abad 14-15, bali (kerajaan karang asem) abad 16-17,  Islam (Jawa, Makasar) abad 18-19. Dengan kata lain, sebuah budaya adalah hasil pinjam sana-pinjam sini. karena setiap masyarat membangun kebudayaan sendiri dan kemudian menjadi “hasil karya karsa” yang khas yang unik dan baru menjadi budaya sasak sekarang, dan saya sepakat akan hal itu.
Nah dari proses perkembangannya (akulturasi) budaya sasak menimbulkan budaya Patrimonial. Sebenarnya budaya Patrimonial dapat kita temukan kapan saja, di mana saja dalam kehidupan kita, terlebih di Indonesia. Dalam ranah politik, Patrimonialisme adalah suatu bentuk pemerintahan di mana seluruh kekuasaan mengalir langsung dari pemimpinnya. Dalam arti sempit, semua bentuk kekuasaan yang anti tesis dari demokrasi termasuk ke dalam sistem patrimonial. Prakteknya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan seperti badaya patriarki dalam keluarga, otoritas ayah terhadap anggota keluarga yang bersifat absolut. Padri terhadap Mangku Bumi, kiai terhadap santri, laki-laki terhadap perempuan, bos terhadap karyawan (bojuis-ploretar), senior terhadap junior dan lain sebagainya. Budaya patrimonial termasuk primordial feodal, sistem kasta dalam masyarakat, aturan-aturan adat yang membatasi kebebasan, organisasi-organisasi “anarkis” (yang memframe diri atas nama etnis, agama, budaya) untuk mempertahankan previllage (kenyamanan-kenyamanan), dalam sistem yang lebih umum seperti sistem pemerintahan monarkhi, oligarkhi, autokrasi, kaisar, kilafah dan lain sebagainya, yang berlawanan dengan demokrasi. 
Saya tegaskan, budaya patrimonial inilah yang masih membayang-bayangi di pulau Lombok, strata sosial, atau lebih jelasnya sistem kasta yang jelas-jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan begitu juga demokrasi.  Apakah ini yang harus kita pertahankan?
Saya juga tidak menutup diri bahwa ada hal-hal positif yang lahir dari proses “karya karsa” suku sasak yakni kata-kata filosofi-filosofi, bangunan yang mengandung nilai luhur yang musti kita ambil, seperti tembang lagu “kadal nongaq”, semboyan-semboyan kabupaten dan itu adalah sebuah nilai yang lahir dari budaya.  berangkat dari sini saya tegaskan term budaya masih umum, terdapat dua hal di dalamnya “negatif dan positif”, sedangkan “nilai budaya” sudah jelas hal-hal yang positif karena orang-orang sasak selektif melestarikan ungkapan-ungkapan yang serta tindakan yang saya sebut dengan “nilai budaya”.
Dalam tulisan saya sebelumnya, budaya sasak sudah tergerus modernisasi. Orang sudah mulai berfikir rasional (Weber “The Protestan Ethic And Spirit Capitalism”) di Industrialisasi Society, orang kampung beremigrasi ke kota (urban), dan semua akan menjadi homogen tanpa memikirkan lagi sekat-sekat etnis, budaya, agama, serta warna kulit menjadi satu kesatuan (Ernest Gellner “Nation And Nationalism”) sikap nasionalisme kemudian menciptakan bangsa baru.   
Semoga ada yang menanggapi....!
Kritik dan saran  sah dalam tulisan ini.... (asal ilmiah).
     



Oleh: Agus Dedi Putrawan
Isu pemisahan pulau Sumbawa menjadi sebuah “provinsi” dari provinsi NTB dengan induknya berada di pulau Lombok bukan sekedar isapan jempol semata. Terbukti dengan antusias politikus, ormas dan patisipan-partisipan atas bingkai Desentralisasi yang berlaku dalam UU No. 23 tahun 2014 berbunyi “Penyerahan Urusan Pemerintahan Oleh Pemerintah Pusat Kepada Daerah Otonom Berdasarkan Asas Otonom” artinya Sumbawa yang terdiri dari beberapa kabupaten (Sumbawa Bima, dan Dompu) yang luasnya melebihi pulau Lombok, sah-sah saja memimpikan Desentralisasi sebagai ikhtiar pendekatan pelayanan publik juga karena terbelakangi oleh berbagai macam problem semisal: kamajuan cenderung terfokus hanya di pulau Lombok, akses infrastuktur masih minim, akses pendidikan “buta aksara”, kemiskinan dan lain sebagainya. Ketersediaan sumber daya alam “pariwisata dan tambang” membuat para intelektual pulau Sumbawa ingin berdikari terlebih lagi termuat dalam manifesto pulau Sumbawa yang berjudul Propinsi Pulau Sumbawa Adalah Keniscayaan Kesadaran Sejarah memuat tentang sejarah kerajaan-kerajaan di pulau itu serta proses terbentuknya provinsi NTB oleh Belanda (Sumber  Oleh :Apache-Sumbawa).
Pemisahan ini juga didukung sepenuhnya oleh Gubernur NTB, TGH. Zainul Majdi (TGB) ketika menjadi bakal calon Gubernur waktu itu. Beliau menilai ini adalah sebuah proses pemekaran bukan sebuah pemisahan, hal ini penting dipahami agar tidak ada steriotape antara pulau Lombok dengan Sumbawa. Keinginan bersama yang terbangun antara pemerintah daerah, legislatif, dan masyarakat sepulau Sumbawa yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, tekat bulat itu  telah diwujukan melalui kesepakatan bersama antara Bupati, Wali Kota  dan Ketua DPRD sepulau Sumbawa di Hotel Kencana Sumbawa (Sumbawa TV, 2004).

PELUANG DAN TANTANGAN
Dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Berugak Institute pada 5 September 2014 yang lalu, berbagai wacana timbul ke permukaan, terlebih kekhawatiran dari perbagai kalangan. Namun sikap positif juga mewarnai peredebatan-perdebatan ilmiah itu sebagai penyeimbang alot-nya diskusi tersebut. Agus Dedi (penulis) misalnya memandang Desentralisasi itu bukan sekedar wacana kesejahtraan sosial, namun lebih kepada intrik-intrik politik dan pergumulan Political Opportinity, dan itu “bahaya”. Sikap khawatir itu terlatarbelakangi oleh diskusi di kelas dan dalam acara bedah buku Desentralisasi Asimetris yang ditulis oleh Dr. Ni’matul Huda di gedung Pasca UII, 2014. “wacana Desentralisasi bukan sekedar wacana kesejahtraan sosial namun sekarang lebih kepada pembagian kekuasaan (Michel Fucoult: distibusi kekuasaan, Fitra Bukhari dan Enny Nurbaningsih  dalam bedah buku Desentralisasi Asimetris 2014) orang-orang ingin memisahkan diri untuk menjadi pemimpin baru, atau ingin mempertahankan kekuasaan. Desentralisasi asimetris misalkan lebih kepada peng-anak emasan suatu daerah tertentu, serta untuk meredam konflik semata bukan atas dasar sumberdaya yang dimiliki atau kebutuhan suatu daerah (Jakarta, Yogyakarta, Aceh, Papua).  Bali (latar pariwisata) dan Surakarta (latar kesultanan, historis) beberapa kali meminta kepada pusat (Jakarta) namun tak urung diberikan dengan alasan jika mereka dikabulkan maka daerah lain akan ikut menuntut sehingga terjadi class of civilization. Maka pertanyaannya, di mana diterapkannya konsep “Keadilan” dalam pancasila.
         
Mari kita kerucutkan pembahasan ini, dalam diskusi Berugak Institut beberapa kawan juga menyambut baik “pemekaran” untuk tidak mengatakan “pemisahan” tersebut. Misalnya saudari Hani, memandang masyarakat Sasak (pulau Lombok) akan diuntungkan dengan pemekaran tersebut karena sumberdaya yang dimiliki pulau Lombok melebihi pulau Sumbawa, pemekaran juga akan menguntungkan pihak Lombok sendiri karena ia sudah lebih siap dari sumberdaya pariwisata, budaya, religius pertambangan, bahari dan lain sebagainya. Saudara Suhirman juga mengakatan “identitas pulau seribu masjid dengan budaya santri (pendidikan religius) sebagai tiang akan menujukan keeksistensian sebenarnya”.
Dari tulisan ini, penulis tidak ingin menyimpulkan perdebatan antara pro dan kontra, namun hanya ingin menegaskan.
Sudah siapkah masyarakat Sasak akan Desentralisasi..?, untuk tidak mengatakan latah, karena sebagian masih menutup mata akan wacana ini sebagaimana sikap latahnya terhadap globalisasi dengan modernisasinya.
Sudah siapkah Berugak Institute mengawal segala perubahan sosial yang akan terjadi ke depan..?.
Karena perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan (Aguste Comte).

Sekian, semoga bermanfaat.    

Selasa, 04 November 2014

TIKUS BERDASI DAN DEMOKRASI

Posted by Unknown On 09.53 | No comments


Bangsaku demokrasi,
Dikuasa itikus berdasi.
Rakyatpun menjadi emosi,
Dimana-mana ada demonstrasi.

Banyak rakyat prustasi,
Gara-gara korupsi.

Mari kita kasih solusi,
Jangan hanya berorasi

Saatnya beraksi,
Tegakkan hak asasi.
Itulah reformasi,
Indonesia sejati.     


                                    Oleh;  Irawan



Oleh: Irawan (Mahasiswa Filsafat)

 Perubahan zaman memberikan arus baru bagi sebuah hilir kehidupan, zaman dahulu (kuno) mempunyai sejarah dengan artiannya sendiri begitu juga dengan zaman sekarang (modern), dan masing-masing mempunyai cirihas yang berbeda. Setiap generasi akan menyelesaikan persoalannya dengan cara dan situasi saat itu pula.
Masyarakat sasak zaman ini telah hilang dari sejarahnya sebagai suatu identitas yang beradab yang pada zaman kuno dikenal dengan masyarakat yang arif, berbudaya dan mempunyai hukum adat yang sangat sacral. Sakralisasi adat bagi masyarakat sasak merupakan suatu yang transenden terlihat bagaimana pelaksanan ritual seperti yang di gambakan oleh Erni Budiawanti dalam bukunya Islam Sasak.
Degradasi social ini terjadi dipengaruhi oleh kemajuan idiologi, pengetahuan, dan tehnologi. Dalam idiologi sebagian orang cenderung membanggakan idiologi barat sehingga apa yang datang dibarat dianggap sebagai sesuatu yang sangat baik sehingga terjerumus pada kemerosotan moral, gaya hidup yang bebas tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada ajaran pendahulunya samapai pada prilaku dan budaya instan. Pengetahuan sebagai suatu kebenaran tertinggi atas segala sesuatu menjadikan sihir bagi sebagian orang sehingga petuah-petuah yang memepunyai nilai filosofi positif akan terkubur dan diklaim sebagai sebuah mitos belaka. Kemjuan tehnologi memberikan dapak yang sangat progresif terhadap perubahan nilai dan budaya bagi masyarakat sasak yang menjadikan masyarakat yang berkotak-kotak dan melupakan budaya kerja kolektif.
      Melihat persoalan tersebut maka perlu memepelajari ide moral apa yang terkandung didalam konsep budaya masyarakat sasak tersebut. Hal pertama yang harus dibenahi adalah konsep idiologi. Idiologi pancasila “Bheneka Tunggal Ika” yang secara jelas memberikan gambaran bahwa identitas masyarakat sasak yang bagian dari Negara kita Indonesia adalah masyarakat yang satu. Pengetahuan haruslah di filter dengan aturan adat yang berlaku sehingga batas-batas wawasan sejalan dengan prilaku social masyarakat. Tidak hanya itu untuk kembali kepada identitas sasak maka harus dapat melihat bahwa dalam sejarah masyarakat sasak dalam tradisi sosialnya tidak terlepas dari ketergantungan indivdu terhadap orang lain yang secara spontan mempunyai kesadaran kolektif yang didasarkan oleh sesuatu pengalaman yang sama. perasaan yang sama tingkah laku yang sama yang mempersatukan satu individu menjadi masyarakat. Durkheim menyebutnya sebagai Solidaritas Mekanis. Dalam bukunya De La Devision du Travail. Akan tetapi mekanis yang dimaksud Durkaheim disini bukan dalam arti individualitas otomistik tetapi lebih kepada kesadaran kolektif. solidaritas mekanis pada masyarakat sasak cukup memberikan arti penting dalam realitas sosial. kendati punya kelemahan dalam systemnya yang mengakibatkan seorang individu kurang percaya diri terhadap peranya sendiri dalam menyelesaikan problem sosial, maka perlu untuk menggandengkan system solidaritas sosial tersebut dengan menanamkan jiwa kompentitif yang dapat membangkitkan semangat perjuangan seorang individu tanpa selalu bergantung pada orang lain. konsekuensi logis dari hal itu adalah terwujudnya solidaritas kolektif yang mempunyai gairah emosional yang tajam dalam setiap individu masyarakatnya.
kesadaran individu dalam melihat realitas sosial masyarakatnya menjadi terarah  apabila peran pemerintah dan organisasi sosial lainnya perlu ikut terjun memeberikan sosialisasi  dan kajian budaya yang menuju kepada kemaslahatan dan kearifan local yang memang itulah konstruk dasar sosial bagi masyarakat sasak sehingga tidak bertumpu hanya pada suatu budaya simbolik saja.




Oleh: Muhammad Fachrurrasyied Hilmy[2]
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia adalah perubahan sosial dalam bentuk Modernisasi. Suatu perubahan yang bergerak dari atas (top down) yang biasanya dilakukan oleh para penguasa atau jajaran elit yang sedang berkuasa. Perubahan yang terjadi adalah perubahan yang berawal dari kepentingan pribadi sang penguasa bukan lagi atas dasar kepentingan masyarakat akar rumput (grees root) untuk emansipasi. Oleh karenanya, kerap kali perubahan itu tidak mampu diterima oleh masyarakat akar rumput tersebut yang notabenenya adalah masyarakat yang terbangun dari solidaritas mekanis yang sangat kuat.
            Dampak dari perubahan sosial tersebut ialah lahirnya globalisasi dalam wujud modernisasi[3] yang merupakan sebuah paradigma baru dalam kehidupan manusia dewasa ini. Hal tersebut ditandai dengan munculnya evolusi sosial[4] dalam berbagai sisi kehidupan manusia, baik secara fisik-material maupun methafisik-spritual. Proses evolusi tersebut acap kali menimbulkan keterkejutan budaya (cultural shock) oleh karena masyarakat belum mampu menerima dan atau berinteraksi dengan budaya baru yang masuk sehingga, tidak jarang proses ini melahirkan resistensi dahsyat yang berakibat pada perubahan struktur dan pranata sosial masyarakat.     
A.  Sasaq dan Evolusi Sosial Yang Mengancam
Berawal dari analisis dasar dalam teori Evolusi Auguste Comte maka, dapat di hipotesiskan bahwa, Sasaq hari ini masih berada pada lapisan sosial mayarakat sederhana (primitive) dan untuk menuju pada mayarakat yang modern dibutuhkan proses yang sangat panjang dan fase demi fase. Comte dalam teori evolusinya berasumsi bahwa, masyarakat akan berubah secara liniear atau seperti garis lurus, dari masyarakat primitive ke masayarakat maju. Sedangkan bagi teori fungsional, masyarakat akan berubah secara dinamis dan teratur serta selalu menuju pada keseimbangan baru. [5]Aplikasi teori ini sangat mempengaruhi pemikiran modern tentang pembangunan bahkan sendi dasar dari paham globalisasi dikemudian hari bahwa, masyarakat bergerak dari masyarakat non industry berevolusi ke masyarakat indutri yang lebih kompleks dan berbudaya. Bagi teori ini, tradisi maupun adat istiadat dilihat lebih sebagai masalah dalam pembangunan.[6]
Oleh karenanya keberadaan Sasaq sebagai sebuah tradisi sekaligus system keyakinan (the believe system) menjadi sangat terancam dalam proses evlosinya kedepan terlebih, di Desa Sade[7] misalnya, sebagai sebuah Desa yang merepresentasikan Sasaq murni dan sangat enkulturatif (internalisasi nilai adat, norma dan/atau aturan) saat ini sudah mengalami perubahan yang cukup derastis, dibuktikan dengan keberadaan Sade yang sangat Industrialitatif dijadikan sebagai Desa Wisata. Sasaq bukan lagi sebuah tatanan yang sarat akan nilai tetapi, ke-sasakan kita hari ini seolah-olah sudah tergadaikan dan bebas akan nilai oleh karena kepentingan pasar semata.  
B.  Sasaq dalam Interaksi Modernisasi
Istilah Sasaq dalam masyarakat Lombok merupakan suatu kohesi dan kolektifa sosial yang dibentuk atas dasar solidaritas mekanis yang khas, kental dan tradisional. Oleh karenya Sasaq berada pada fase perubahan tradisional yang nantinya akan menuju ke fase praindustrian atau biasa disebut modernisasi dan terakhir pada fase agraris (postmodernisasi).
Sasaq adalah word view bagi masyarakat Lombok yang pada hakikatnya membentuk suatu tatanan tradisionalistik yang sangat khas melalui beberapa pendekatan teologis, adat istiadat dan filosofisnya dalam kitab Negara kertagama. Oleh karena itu keberadaan Sasaq menjadi sangat penting untuk kelangsungan peradaban masyarakat Lombok khususnya. Sehingga, ketika modernisasi dengan berbagai bentuknya mencoba untuk masuk dan melakuakan asimilasi budaya yang sangat ekstrim maka, saat itulah tatanan tradisionalistik mulai terganggu dan resistensi budaya menjadi tidak terelakkan.
Modernisasi-pun pada hakikatnya merupakan word view “ilmiah” yang paling penting dalam aspek perkembangan budaya modern akan tetapi yang membedakannya ialah Mood Of ”Production”. Lebih kepada kepentingan ilmiah (ilmu pengetahuan) akan nilai-nilai produktivitas masyarakat.
Akibat dari modernisasi diatas, maka akan berdampak pada perubahan nilai atau norma, konflik sosial, ketidakadilan, urbanisasi dan disintegrasi dalam masyarakat.[8] Perkembangan infrastruktur Jalan raya di Lombok khususnya Lombok Tengah (yang oleh penulis disebut Dunia III) semakin pesat dan sedang gencar-gencarnya diproyeksikan guna menyambut pencanangan MDG's (Millennium Development Goals ) tahun 2015 mendatang. Model pembangunan yang ideal dan berorientasi pada welfare state ini pun oleh Kabupaten Lombok Tengah dimanifestasikan dalam perbaikan jalan raya, pasar bebas (Industri kapitalis) dan perkembangan sektor pariwisata yang kemudian berdampak pada proses industrialisasi, birokratisasi, cinaisasi, inggrisiasi, Amerikanisasi dan westernisasi yang membabi buta membuat sosio-budaya masyarakat berubah dengan sangat derastis.
            Urbanisasi menjadi semakin meningkat dibuktikan dengan keberadaan kantor Migrasi yang tidak pernah sepi dikunjungi oleh para ojek-ojek TKI dan TKW untuk diperjakan. Dan lebih miris lagi proses urbanisasi yang demikian seringkali melahirkan TKI/TKW Sindrom yang sok modern dan karena terlalu lama di negeri orang akhirnya melupakan logat dan bahasa tradisionalnya.
            Dalam kancah industri misalnya, sistem pertanian tradisional atau perusahaan domistik takluk pada perusahaan dan industri komersial. Alfamrt, Indomart dan art-art yang lain dengan seenaknya berdiri tanpa ada relokasi yang jelas bagi masyarakat yang tergusur sehingga, sumber produktif seperti tanah, tenaga kerja, kapital dan bahan mentah tidak lagi dimasukkan dalam sistem kekerabatan dan sistem komunal. Otoritas elit tradisional terancam dan transformasi status yang dibawa sejak lahir terputus demi dalih ketertiban dan stabilitas. Kompetisi dan perjuangan yang keras untuk mobilitas ke atas diikuti oleh frustasi dan kadang-kadang tingkah laku menyimpang (patologi sosial) tidak terkendali dan anomali sosial-pun semakin membludak. Termasuk dalam urusan sosial keagamaan. Agama menjadi makin terasing sebagai suatu institusi yang terpisah dari kehidupan politik, ekonomi dan sosial oleh karena masyarakat "modern" lebih suka mengarahkan urusannya secara sekuler sehingga ini menjadi sangat paradoks dengan keberadaan Lombok yang dikenal sebagai pulau seribu Masjid. Sistem kepercayaan masyarakat mulai bergeser dari religious ortodoks ke- sekularistik.
Harapan masyarakat melambung sangat tinggi tetapi kesempatan yang realsitis untuk merealisasikan harapan tersebut sangatlah terbatas sehingga antara Das Sollen dan Das Sein menjadi tidak seimbang. Akibatnya, masyarakat akan selalu dihantui dengan harapan-harapan palsu akan keniscayaan kesejahteraan sosial.
C.  Back to Sasaq
Sasaq oleh penulis dianalogikan seperti langit suci (the sacred canopy) yang akan melindungi masyarakat Lombok dari semua tantangan dunia internal maupun eksternal (Weber dalam dua dunia; dunia dalam dan luar) serta pada kemungkin yang lain akan mengganggu stabilitas system keyakinan (the believe system) masyarakat Sasak itu sendiri. Dalam hal ini system keyakinan masyarakat Sasaq adalah etika, budaya dan filosofi kehidupan yang kemudian direpresentasikan dalam berbagai perilaku (behavior) kehidupan masyarakat Sasaq. Ketiga elemen inilah yang menjadi landasan berpikir (mainseat) paradigma masyarakat Sasaq yang bagi penulis disebut sebagai Agama. Sesuai dengan pandangan Clifoord Geertz dibawah ini; 
              Agama merupakan “Suatu sistem simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan meletakkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual, dan pada akhirnya persaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu relaitas yang unik.”[9]
Dari pandangan ini maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa setiap yang didalamnya terdapat system keyakinan (the believe system) yang mengikat dan menjadi landasan dan/atau konsepsi berpikir (word-view) dan bertindak masyarakat, itulah Agama. Seperti halnya yang terjadi dalam komunitas Islam Kejawen di pulau Jawa. Demikian pula halnya dengan Sasaq yang ada di Lombok yang selalu dibanggakan dan diangung-agungkan menjadi sebuah agama dan oleh karenanya kita harus kembali kepada Sasaq dalam arti yang sesungguhnya dalam keadaan suci dari tindakan-tindakan yang menyimpang (patologis) guna terciptanya tatanan masyarakat Sasaq yang harmonis, dinamis dan berbudaya serta bergerak dengan nilai-nilai etika kedaerahan (etnosentisme).  








[1] Disampaikan Dalam Diskusi Perdana “Berugak Institute” di Kebun Laras Cafee, Pukul 19.00 WIB, 15 Oktober 2014.
[2] Mahasiswa S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2010, Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam, Program Studi Sosiologi Agama.
[3] Modernisasi merupakan proses dengan mana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah. Sedangkan menurut Mc Clelland memaparkan modernitas dalam arti sejumlah variable psikologis yang membentuk suatu jenis karakteristik mentalitas dari manusia modern secara khas. (M. Francis Abraham. 1980.Modernisasi di Dunia Ketiga. Cetakan pertama, November 1991. Tiara Wacana. Yogyakarta 
[4] Evolusi Sosial merupakan perubahan sosial secara perlahan, sistematis dan dinamis dalam lingkungan masyarakat. (Talcot Parson)
[5] Dr. Mansour Fakih. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi. Cetakan Ke-VI. Insist Press. Yogyakarta. Hlm 51.
[6] ibid hlm 48-49
[7] Sade merupakan sebuah Desa yang sampai hari ini mewakili masyarakat Lombok secara keseluruhan oleh karena ia merupakan salah satu kelompok suku sasaq tertua dibagian Lombok Selatan. Selain itu ia mampu merepresentasikan kolektiva sosial masyarakat Sasaq yang cukup murni. Desa ini berada ddi wilayah Desa Rambitan, Pujut, Lombok Tengah yang secara emosial masyarakat didalamnya mengaku sebagai keturunan (trah) Betare Batu Dinding dan Betare Kiyangan dan makamnya disebut “Pedewe dan makam Sunting”. Setiap saat tradisi ritual penghormatan terhadap leluhurnya, disebut Tradisi rutual Ngayu-ayu. Untuk masyarakat Sade khususnya nmempunyai makam leluhur yaitu makam Sunting, yang bercirikan makam pra aksara (pra sejarah). Makam ini biasanya diziarahi khususnya hari sabtu, ketika para keturunanya mempunyai hajat (Kurdap Selake, S.Pd. 2011. Mengenal Budaya Dan Adat Istiadat Komunitas Suku Sasaq Di Desa Tradisional Sade. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat. mataram. Hlm 3-4.  
[8] Piotr Sztompka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial.  Prenada Media Grup. Jakarta. Hlm 85-86.
[9] Daniel L. Pals. 2011. Seven theories Of Religion. IRCisoD. Yogyalarta. hlm 342-346.

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this