Selasa, 04 November 2014




By; Agus Dedi Putrawan
 

Sejarah mencatat bencana terbesar yang pernah dihadapi barat dalam masa berabad-abad ialah adanya perebuatan kuasa antara penguasa duniawi dengan penguasa agama, antara Keitzer dengan Paus, sampai menimbulkan faham “pemisahan agama dan negara” dan kemudian lahirlah faham”Scularism” yang menduniawikan seluruh persoalan (Zainal Abidin, 1979). Di era kontemporer saat ini sebagian kaum muslim mengharamkan politik terutama yang berasal dari barat, Demokrasi dikatakan “haram” karena berasal dari barat. Keadaan diperparah dan menjadikan trauma yang melekat hingga sekarang oleh sistem pemerintahan yang dibawa oleh Mustafa Kamal Attartuk. Lebih lanjut kemudian mereka ingin mengembalikan sistem pemerintahan seperti zaman Khalifah.

Setelah berakhirnya di Turki Utsmani pada tahun 1924, dunia Islam mulai ramai membicarakan konsep negara Islam (Salim Azam, 1979). Dalam sejarah Islam, kita menyaksikan berbagai gejolak politik yang terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang. Pergolakan kepemimpinan era pasca wafatnya Nabi merekam peristiwa-peristiwa pergantian, perebutan, hingga faktor keturunan Power menjadi pembelajaran dalam perpolitikan untuk masa kini terutama kaum muslim. Ketika wafatnya Rasulullah, muslim di Madinah terkumpul dalam beberapa grup politik; Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim. Setiap kelompok memiliki pemimpin yang mereka hormati. Kaum Anshor dipimpin oleh Sa’ad bin Ubaidah, Muhajirin dipimpin oleh Abu Bakar, sementara Bani Hasyim dipimpin oleh Umar. Masing masing kelompok berdebat di sebuah tempat di Ibnu Sa’adah mengenai pemimpin dan situasi politik mereka. Keempat pemimpin setelah rasulullah menjadi pemimpin dengan metode yang berbeda satu sama lain, karena itulah tidak perlu terlalu diributkan mengenai metode yang akan digunakan untuk penunjukan khilafah, tidak ada kewajiban khusus, itu sesuai kondisi. Selain itu kasus kelompok-kelompok yang terbentuk setelah meninggalnya Rasulullah bisa menjadi sebuah Qiyas, bahwa partai politik itu diperbolehkan dalam Islam, asalkan tetap berasaskan Islam sebagai ideologi.

Kita patut mengapresiasi organisasi Islam seperti HTI yang ingin memperjuangkan negara Islam berdiri, namun ada baiknya kita terlebih dahulu memflashback dalam berbagai segi, terutama aspek fakta sejarah (historical fact), sehingga kita bisa lebih memahami apa yang kita akan perjuangkan. Di bawah ini saya akan coba mengulas lebih dalam masalah tersebut.

Politik hadir jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Politik adalah sesuatu yang membicarakan tentang apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak kita lakukan (Aristoteles). Karena politk lebih dahulu hadir, Kaum muslim menggunakan politik guna mencapai kemaslahatan umat. Politik dikenal dengan dua wajah; baik dan buruk, sehingga tergantung siapa yang mengendalikan politik tersebut. Boleh kita sematkan dalam dua tokoh besar yakni Aristoteles yang berbicara tentang bentuk-bentuk negara ideal, dengan Marchiaveli berbicara tantang merebut, mempertahankan kekuasaan.

Al-Qur’an dan Hadist sebagai pedoman hidup manusia, pertama-tama melalui surah An-Nisa. Dalam ayat yang singkat namun mempunyai arti yang luas
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS: An-Nissa: 58).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS: An-Nissa:59)

Di dalam al-Qur’an tidak akan kita temukan konsep atau sistem negara Islam, namun prinsip dan nilai pemilihan, menjalankan dan memimpin ada dalam al-Qur’an.  tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam. Nabi Muhammad Saw. datang untuk menyempurnakan risalah tauhid, penutup Nabi dan Rasul. Islam tanpa negara tetap akan ada karena Islam bukan sebuah entitas politik semata, bukan sebuah wilayah, namun lebih dari pada itu. Masalah politik (negara) adalah masalah pemikiran “kamu lebih tahu urusan duniamu” (al-Hadist). Politik praktis adalah satu dari sekian jalan mengapai kemaslahatan. Madinah dengan Piagam Madinahnya waktu itu adalah bibit dari sebuah negara karena negara modern saat ini mempunyai prasyarat tertentu.

Selanjutnya pada masa Khulafaur Rasidun, kita melihat tidak terdapat sistem pemerintahan yang baku. Proses pembaiatan Abubakar di Saqhifah Bani Saidah misalnya, banyak ilmuan mengatakan terdapat nilai-nilai demokrasi di dalamnya karena proses pembai’atan yang melibatkan orang banyak. Kemudian berlanjut ke pewarisan kekuasaan dari Abubakar kepada Umar Bin Khattab dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Secara tidak langsung ini adalah sebuah konsep turunan kekuasaan atau biasa disebut putra mahkota. Kita berlanjut ke pembentukan dewan pemilih yang berjumlah tujuh orang oleh Umar untuk memilih penggantinya menjadi khilafah. “apabila terdapat empat orang setuju maka suara yang empat itu yang menang, tapi apabila sisanya yang tiga tidak setuju atau memberontak, Maka penggal kepalanya” kata Umar. Secara tidak langsung ini mirip dengan sistem Demokrasi Pancasila kita waktu MPR mengangkat presiden sebelum reformasi, atau mirip dengan konsep Teo-Demokrasinya Iran dengan ahlul ahli wal aqlinya memilih perdana menteri. Kaum orientalis menyebut Utsman membangun dinasti politik karena mengangkat keluarganya saja.  Kemudian Ali, juga hampir seperti Demokrasi betulan walaupun ada buih-buih Syiah, khawarij, Sunni dan perpecahan yang ditelurkan hingga sekarang.

Saya ingin menambahkan tentang pemerintahan Bani Umaiyah dan Bani Abasyiah, dimana pada saat itu Ummaiyah mengikrarkan berakhirnya sistem khilafah kemudian ia ganti dengan sistem keturunan atau mendekati sistem monarki. Dalam perjalanannya pergantian, penyerahan, perebutan kekuasaan mewarnai sejarah pemerintahan Islam waktu itu. Saya sampai pada satu kesimpulan; “terhunusnya pedang diantara umat Islam bukan karena akidah, tapi lebih kepada politik”.

Pertanyaan yang timbul ialah “sistem negara mana yang akan kita pakai?”. Coba lihat negeri kita, lihat juga tetangga kita, atau lihat negara-negara Jazirah Arab. Meraka berpecah belah, bersekutu dengan barat, bahkan Arab Saudi bersedia menyediakan landasan serta minyaknya kepada Amerika untuk menyerang Iran. Belum lagi Mesir yang membuat tembok baja di jalur Gaza berpuluh-puluh Kilo, mengurung rakyat Palestina yang sedang dibantai oleh Israel. Sebenarnya tidak penting sistem apa yang kita anut, entah itu demokrasi, monarki, otoriter, khilafah atau apapun itu, yang terpenting adalah nilai-nilai Islami itu tetap eksis dalam sebuah individu dan negara.

Demokrasi adalah satu dari sekian banyak pilihan sistem negara, dan suara yang menang adalah suara mayoritas di Indonesia. Pertanyaannya, sekarang mau tidak umat Islam mendirikan negara Islam?. Satu solusi dari penulis yakni, jangan jijik berpolitik terlebih demokrasi, karena jika kita mengharamkan demokrasi, BERDEMONSTRASI hakikatnya adalah salah satu nilai dari demokrasi itu sendiri. kemudian masuklah dalam kesistem, seperti al-Ihwanul al-Muslim.

La Sunni, La Syiah, La Ahmadiyah. Wahdah, Wahdah Islamiyah.
Tidak ada Sunni, tidak ada Syiah, tidak ada Ahmadiyah, yang ada adalah Islam yang satu .
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this