Sumber Gambar; twelve-hijab.blogspot.com
By; Agus Dedi Putrawan
Sejarah
mencatat bencana terbesar yang pernah dihadapi barat dalam masa berabad-abad
ialah adanya perebuatan kuasa antara penguasa duniawi dengan penguasa agama,
antara Keitzer dengan Paus, sampai menimbulkan faham “pemisahan agama dan
negara” dan kemudian lahirlah faham”Scularism”
yang menduniawikan seluruh persoalan (Zainal Abidin, 1979). Di
era kontemporer saat ini sebagian kaum muslim mengharamkan politik terutama
yang berasal dari barat, Demokrasi dikatakan “haram” karena berasal dari barat.
Keadaan diperparah dan menjadikan trauma yang melekat hingga sekarang oleh
sistem pemerintahan yang dibawa oleh Mustafa Kamal Attartuk. Lebih lanjut
kemudian mereka ingin mengembalikan sistem pemerintahan seperti zaman Khalifah.
Setelah
berakhirnya di Turki Utsmani pada tahun 1924, dunia Islam mulai ramai
membicarakan konsep negara Islam (Salim Azam, 1979). Dalam sejarah Islam, kita menyaksikan
berbagai gejolak politik yang terjadi dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Pergolakan kepemimpinan era pasca wafatnya Nabi merekam peristiwa-peristiwa
pergantian, perebutan, hingga faktor keturunan Power menjadi pembelajaran dalam perpolitikan untuk masa kini
terutama kaum muslim. Ketika wafatnya Rasulullah, muslim di Madinah terkumpul
dalam beberapa grup politik; Anshar, Muhajirin dan Bani Hasyim. Setiap kelompok
memiliki pemimpin yang mereka hormati. Kaum Anshor dipimpin oleh Sa’ad bin
Ubaidah, Muhajirin dipimpin oleh Abu Bakar, sementara Bani Hasyim dipimpin oleh
Umar. Masing masing kelompok berdebat di sebuah tempat di Ibnu Sa’adah mengenai
pemimpin dan situasi politik mereka. Keempat pemimpin setelah rasulullah
menjadi pemimpin dengan metode yang berbeda satu sama lain, karena itulah tidak
perlu terlalu diributkan mengenai metode yang akan digunakan untuk penunjukan
khilafah, tidak ada kewajiban khusus, itu sesuai kondisi. Selain itu kasus
kelompok-kelompok yang terbentuk setelah meninggalnya Rasulullah bisa menjadi
sebuah Qiyas, bahwa partai politik
itu diperbolehkan dalam Islam, asalkan tetap berasaskan Islam sebagai ideologi.
Kita
patut mengapresiasi organisasi Islam seperti HTI yang ingin memperjuangkan
negara Islam berdiri, namun ada baiknya kita terlebih dahulu memflashback dalam berbagai segi, terutama aspek
fakta sejarah (historical fact),
sehingga kita bisa lebih memahami apa yang kita akan perjuangkan. Di bawah ini
saya akan coba mengulas lebih dalam masalah tersebut.
Politik
hadir jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Politik adalah sesuatu yang membicarakan
tentang apa yang sebaiknya kita lakukan dan apa yang sebaiknya tidak kita
lakukan (Aristoteles). Karena politk lebih dahulu hadir, Kaum muslim
menggunakan politik guna mencapai kemaslahatan umat. Politik dikenal dengan dua
wajah; baik dan buruk, sehingga tergantung siapa yang mengendalikan politik
tersebut. Boleh kita sematkan dalam dua tokoh besar yakni Aristoteles yang
berbicara tentang bentuk-bentuk negara ideal, dengan Marchiaveli berbicara
tantang merebut, mempertahankan kekuasaan.
Al-Qur’an
dan Hadist sebagai pedoman hidup manusia, pertama-tama melalui surah An-Nisa. Dalam
ayat yang singkat namun mempunyai arti yang luas
“Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS: An-Nissa:
58).
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS:
An-Nissa:59)
Di
dalam al-Qur’an tidak akan kita temukan konsep atau sistem negara Islam, namun
prinsip dan nilai pemilihan, menjalankan dan memimpin ada dalam al-Qur’an. tidak ada perintah untuk mendirikan negara
Islam. Nabi Muhammad Saw. datang untuk menyempurnakan risalah tauhid, penutup Nabi dan Rasul. Islam
tanpa negara tetap akan ada karena Islam bukan sebuah entitas politik semata,
bukan sebuah wilayah, namun lebih dari pada itu. Masalah politik (negara)
adalah masalah pemikiran “kamu lebih tahu
urusan duniamu” (al-Hadist). Politik praktis adalah satu dari sekian jalan
mengapai kemaslahatan. Madinah dengan Piagam Madinahnya waktu itu adalah bibit
dari sebuah negara karena negara modern saat ini mempunyai prasyarat tertentu.
Selanjutnya
pada masa Khulafaur Rasidun, kita melihat tidak terdapat sistem pemerintahan
yang baku. Proses pembaiatan Abubakar di Saqhifah Bani Saidah misalnya, banyak
ilmuan mengatakan terdapat nilai-nilai demokrasi di dalamnya karena proses
pembai’atan yang melibatkan orang banyak. Kemudian berlanjut ke pewarisan
kekuasaan dari Abubakar kepada Umar Bin Khattab dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Secara tidak langsung ini adalah sebuah
konsep turunan kekuasaan atau biasa disebut putra mahkota. Kita berlanjut ke
pembentukan dewan pemilih yang berjumlah tujuh orang oleh Umar untuk memilih
penggantinya menjadi khilafah. “apabila
terdapat empat orang setuju maka suara yang empat itu yang menang, tapi apabila
sisanya yang tiga tidak setuju atau memberontak, Maka penggal kepalanya” kata Umar. Secara tidak langsung ini mirip
dengan sistem Demokrasi Pancasila kita waktu MPR mengangkat presiden sebelum
reformasi, atau mirip dengan konsep Teo-Demokrasinya Iran dengan ahlul ahli wal aqlinya memilih perdana
menteri. Kaum orientalis menyebut Utsman membangun dinasti politik karena
mengangkat keluarganya saja. Kemudian
Ali, juga hampir seperti Demokrasi betulan walaupun ada buih-buih Syiah,
khawarij, Sunni dan perpecahan yang ditelurkan hingga sekarang.
Saya
ingin menambahkan tentang pemerintahan Bani Umaiyah dan Bani Abasyiah, dimana
pada saat itu Ummaiyah mengikrarkan berakhirnya sistem khilafah kemudian ia
ganti dengan sistem keturunan atau mendekati sistem monarki. Dalam perjalanannya
pergantian, penyerahan, perebutan kekuasaan mewarnai sejarah pemerintahan Islam
waktu itu. Saya sampai pada satu kesimpulan; “terhunusnya pedang diantara umat
Islam bukan karena akidah, tapi lebih kepada politik”.
Pertanyaan
yang timbul ialah “sistem negara mana yang akan kita pakai?”. Coba lihat negeri
kita, lihat juga tetangga kita, atau lihat negara-negara Jazirah Arab. Meraka
berpecah belah, bersekutu dengan barat, bahkan Arab Saudi bersedia menyediakan
landasan serta minyaknya kepada Amerika untuk menyerang Iran. Belum lagi Mesir yang
membuat tembok baja di jalur Gaza berpuluh-puluh Kilo, mengurung rakyat
Palestina yang sedang dibantai oleh Israel. Sebenarnya tidak penting sistem apa
yang kita anut, entah itu demokrasi, monarki, otoriter, khilafah atau apapun
itu, yang terpenting adalah nilai-nilai Islami itu tetap eksis dalam sebuah individu
dan negara.
Demokrasi
adalah satu dari sekian banyak pilihan sistem negara, dan suara yang menang
adalah suara mayoritas di Indonesia. Pertanyaannya, sekarang mau tidak umat
Islam mendirikan negara Islam?. Satu solusi dari penulis yakni, jangan jijik
berpolitik terlebih demokrasi, karena jika kita mengharamkan demokrasi, BERDEMONSTRASI
hakikatnya adalah salah satu nilai dari demokrasi itu sendiri. kemudian masuklah
dalam kesistem, seperti al-Ihwanul al-Muslim.
La
Sunni, La Syiah, La Ahmadiyah. Wahdah, Wahdah Islamiyah.
Tidak ada Sunni, tidak ada Syiah,
tidak ada Ahmadiyah, yang ada adalah Islam yang satu .