sumber gambar; danangsenoputro.wordpress.com
Oleh; Muhammad Habibi. S.Pd
A.
PENDAHULUAN
Tantangan
modernisasi serta globalisasi yang menjadi momok penting dalam pergeseran nilai
budaya lokal seringkali dianggap sebagai hal sepele bahkan biasa oleh sebagian
orang. Padahal ini merupakan masalah yang cukup serius dan bisa menjangkit
sendi-sendi kebudayaan kita. Sehingga lahirlah budaya-budaya baru yang notabene
merupakan produk budaya barat yang bahkan dapat mengkerdilkan identitas
kebangsaan kita. Terlebih banyaknya selogan-selogan akademis yang mengatasnamakan
keadilan gender, mendekonstruksi budaya partimornial dan bahkan masih banyak
lagi proyek-proyek brain washing lainya yang mereka tawarkan atas nama
keadilan dalam rangka membangkitkan pemikiran progresif.
Pada akhirnya
pemikiran-pemikiran semacam ini akan membawa kita semakin jauh dengan apa yang
kita sebut sebagai budaya bangsa yang harus kita lestarikan. Sehingga tidak
salah disaat Lalu Azhar dalam buku babat Sasak yang berjudul Arya Banjar Getas
mengungkapkan apa yang menjadi selogan VOC atau imprealisme Belanda ketika
menjajah Indonesia “kalau mau menghancurkan sebuah negara maka hancurkanlah
sejarah dan kebudayaannya”. Artinya, begitu penting sebuah budaya bangsa dalam
rangka membangkitkan jiwa nasionalisme serta patriotisme rakyatnya. Di samping
itu perkembanggan teknologi juga tanpa disadari telah menjauhkan kita dari nilai-nilai
kebudayaan, walaupun disatu sisi peran teknologi sangat membantu dalam
menyelesaikan tugas kita dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kalau kita
tidak bisa membatasi diri dalam menggunakannya maka yang lahir adalah jiwa-jiwa
individualis yang jauh dari nilai-nilai gotong royong. Bahkan tak jarang kita
melihat fenomena yang sangat riskan ditengah kehidupan sehari-hari. Di mana pengguna
smart phon merasa lebih bahagia dengan teman dunia mayanya yang ntah
berada dibelahan dunia sana, ketimbang berbicara dengan teman-temannya yang
berada di depan dia.
Berdasarkan
pemamaparan yang dieksplorasi di atas, budaya Sasak juga mengalami kasus yang sama,
di mana nilai-nilai yang telah diwariskan
oleh leluhur etnis Sasak juga telah mengalami pergeseran, mengalami kelunturan,
dan seakan-akan kehilangan makna sesungguhnya. Kelunturan nilai-nilai itu
terjadi karena adanya pengaruh kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi
atau globalisasi, serta laju pembangunan yang tidak didasarkan atas budaya
masyarakat setempat. Oleh karena itu, generasi penerus dalam komunitas Sasak
dewasa ini tidak lagi sepenuhnya mempedomani nilai-nilai tersebut, bahkan ada
kecenderungan untuk ditinggalkan. Keadaan yang mengkhawatirkan itu menuntut
adanya upaya untuk menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan
masyarakat Sasak dewasa ini, sehingga generasi muda tidak tercerabut dari akar
budayanya sendiri. Usaha ini akan efektif dilakukan melalui pendidikan, dan
membangun kembali kesepakatan antar kelompok yang ada dalam komunitas Sasak itu
sendiri secara sungguh-sungguh untuk memfotmat kembali nilai-nilai luhur
tersebut, menyesuaikannya dengan kehidupan masa kini dan dikemas dengan afik
sebagai modal untuk menghadapi tantangan masa depan.
B.
MEMAHAMI BUDAYA
Budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga
kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk system agama dan politik, adat istiadat, pakaian, bahasa, dan seni.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.
Kebudayaan sangat erat
hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat
itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan
sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain,
yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink,
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo
Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi
tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang
akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya
ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Adapaun dalam konteks
sekala cakupan, budaya sangat luas sekali. Terbukti dari banyaknya komponen
serta instrument penting yang mengkonstruksi lahirnya sebuah budaya atau yang
sering kita sebut sebagai kearifan lokal. Di samping itu produk yang
dihasilkanya-pun berbeda-beda tergantung ruang di mana mereka berbicara. Baik yang
berbicara dalam konteks sosial, agama, maupun kesenian. Sehingga kita bisa
mengkelasifikasikan ruang cakukapnnya menjadi dua:
1.
Budaya dalam konteks makro: adalah budaya yang dimiliki oleh sebuah
Negara tanpa diikat oleh struktur etnis atau suku tertentu yang
mempengaruhinya. Misalnya budaya nasional.
2. Budaya dalam konteks
mikro: adalah budaya yang lahir dari suku atau etnis tertentu yang sifatnya
particular dan tidak bersfat universal layaknya budaya nasional. Misalnya, adat
Sasak, adat Sunda, adat Jawa, adat Madura, Sumbawa, Papua dan lainnya.
Menurut Cateora seorang
antorpolog mengatakan bahwa perwujudan budaya dapat kita klasifikasikan menjadi
dua kategori:
1. Kebudayaan Material
Kebudayaan
material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk
dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya,
termsuk juga makanan dan minuman yang menjadi local wisdom daerah
tersebut.
2. Kebudayaan Non Material
Kebudayaan
non material adalah segala bentuk ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi ke generasi, baik itu berupa dongeng, cerita rakyat, lagu atau tarian
tradisional, serta aturan-aturan yang mengikat masyarakat pada daerah tertentu
yang mereka yakini sebagai sebuah budaya yang harus mereka lestarikan.
C.
GENEOLOGI BUDAYA SASAK
Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni
pulau Lombok, suku Sasak merupakan etnis utama
meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa
berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku Sasak
sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi, Kata Sasak pada
prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti
kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi Sasak
yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang Sasak.
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih
bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik
internal, yaitu peperangan antar kerjaan di Lombok maupun ekternal yaitu
penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha,
memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan.
Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan
kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII-XIV dan penguasaan
kerajaan Gel-Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai
beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri
asal-usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari
pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota
keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam
kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan
kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lombok dalam waktu yang
cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan
kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre –
genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional
berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan
Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang
menarik dan saling melengkapi
Gumi Sasak silih berganti mengalami peralihan
kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan kerajaan Islam Selaparang dan
Pejanggik. Islam masuk ke Lombok sepanjang abad XVI ada beberapa versi masuknya
Islam ke Lombok yang pertama berasal dari Jawa masuk lewat Lombok timur., yang kedua
pengIslaman berasal dari Makassar dan Sumbawa ketika ajaran tersebut diterima
oleh kaum bangsawan ajaran tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan– kerajaan
di Lombok timur dan Lombok tengah. Mayoritas etnis Sasak beragama Islam, namun
demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan
lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti Islam
abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah kurang mendapat
tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat
menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat
keberadaannya hanya di bagian barat.
Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok
dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya
khasanah kebudayaan Sasak. Sebagai bentuk dari Pertemuan(difusi, akulturasi,
inkulturasi) kebudayaan. Seperti dalam hal Kesenian, bentuk kesenian di lombok
sangat beragam. Kesenian asli dan pendatang saling melengakapi sehingga
tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling terasa berakulturasi dengan
kesenian lokal yaitu kesenian bali dan pengaruh kebudayaan Islam. Keduanya
membawa Kontribusi yang besar terhadap perkembangan ksenian-kesenian yang ada
di Lombok hingga saat ini. Implementasi dari pertemuan kebudayaan dalam bidang
kesenian yaitu, Yang merupakan pengaruh Bali; Kesenian Cepung, cupak
gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang merupakan
pengaruh Islam yaitu Kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak,
Gamelan, Rebana.
Suku bangsa Sasak yang memdiami pulau Lombok
menggunakan bahasa daerah Sasak. Pada umumnya bahasa daerah Sasak dibagi dua
yaitu bahasa halus dan bahasa jamaq (biasa). Bahasa halus digunakan
untuk berbicara dengan yang lebih tua, orang tua dan dengan golongan bangsawan Sasak.
Sedangkan bahasa jamaq (biasa) digunakan dalam bahasa sehari–hari
terutama dalam pergaulan masyarakat biasa. Masyarakat suku Sasak dalam
stratifikasi sosialnya dibagi dua kelompok yaitu golongan bangsawan atau permenak
dan kelompok rakyat biasa yang disebut jajar karang atau kaula.
Perbedaan stratifikasi sosial sangat terlihat dalam prosesi upacara, seperti
pada upacara sorong serah aji krama yaitu salah satu bagian dari upacara
perkawinan adat Sasak. Aji krama (tingkat keutamaan) golongan bangsawan
mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan golongan kaula dan pelaksanaan tata
upacara lebih rumit dibandingkan tata cara perkawinan kalangan masyarakat
biasa. Namun saat ini perbedaan stratifikasi sosial tidak seketat dulu hal ini
tidak lepas dari pengaruh modernisasi.
D.
KEARIFAN LOKAL SASAK
Masyarakat Sasak sebenarnya telah mempunyai kearifan lokal yang sangat complicated
yang berkembang sejak zaman dahulu kala, sebagaimana halnya masyarakat lain
yang juga mempunyai kearifan lokal mereka sendiri, baik yang menyangkut sosila
ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, kerajinan, serta permainan dan makanan
khas daerah. Maju dan mundurnya kearifan lokal suatu masyarakat terkait pula
dengan keyakinan keagamaan yang mereka miliki, termasuk dalam hal ini adalah
seni budaya masyarakat Sasak. Begitu pula masyarakat Sasak dikala mereka masih
memeluk agama Hindu dan Budha, seni budaya mereka banyak diwarnai oleh ajaran
atau tradisi keagamaan yang berkembang di kalangan masyarakat Hindu atau Budha. Demikian juga setelah mereka memeluk agama
Islam, maka seni budaya mereka pun terpengaruh pula oleh ajaran agama tersebut.
Selain faktor
agama yang mempengaruhi konstruksi budaya lokal sasak, ada juga faktor penguasa
yang secara silih berganti mengusai Bumi Gora atau bumi gugur ancah yang
juga turut mewarnai akulturasi budaya Sasak. Di antarnya Kerajaan Selaparang,
Kerajaan Pejanggik, Memelaq, Majapahit, Karang Asem, Belanda dan Jepang.
Sehingga lahirlah budaya lokal atau local wisdom Sasak yang kita bisa
saksikan saat ini, yang tentunya sarat dengan akulturasi budaya yang kental.
Sehingga tidak heran jika beberapa kearifan lokal kita ada yang sama dengan kearifan
loakl di daerah-daerah lain di Indonesia ini.
Di antara
kearifan lokal Sasak yang berkembang saat ini, dapat kita klasifikasikan menjadi
lima kelompok besar:, sosial budaya, ritus keagamaan, kesenian, perkawinan, kerajinan,
dan permainan:
1.
Sosial
Budaya
Saling jot/perasak (saling memberi atau
mengantarkan makanan), pesilaq (saling undang untuk
suatu hajatan keluarga), saling pelangarin (saling layat jika ada
kerabat/sahabat yang meninggal), ayoin (saling mengunjungi), dan
saling ajinan (saling menghormati atau saling
menghargai terhadap pebedaan, menghargai adanya kelebihan dan kekurangan yang
dimilki oleh seseorang atau kelompok tertentu), saling jangoq (silaturrahmi saling
menjenguk jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah),
saling begawe (mendatangi kerabat atau
tetangga yang mengadakan acara dengan membawa beras atau gula), ikut menyongkolan
(tradisi mengantarkan pengantin peria kerumah mertuanya), Medang
(semacam acara memasak yang dilakukan oleh remaja putri ditempat kerabat atau
tetangga yang mengadakan selamatan, ntah itu nikahan maupun sunatan. Di mana
remaja putra saling adu pemberiannya dengan sainggannya kepada cewek yang
mereka taksir), dan masih banyak lagi kearifan lokal yang lainnya yang
mengandung nilai sosial.
2.
Ritual
kegamaan
Adapun dalam
ritual keagamaan juga bannyak terdapat kearifan lokal yang bisa kita saksikan
dalam budaya Sasak. Di ataranya zikiran, (semacam tahlilan atau
selamatan yang sering dilakukan oleh orang Sunni NU pada umumnya, ketika ada
kerabat atau tetangga yang meninggal dunia), ngurisan atau aqiqah
(ritual pemotongan rambut secara simbolis oleh tokoh agama apabila ada sanak
famili yang melahirkan dan mengadakan selamatan), yiwaq, petangdase,
nyatus, nyeribu’ (merupakan stape atau fase-fase yang dilakukan
ketika zikiran atau tahlilan ketika ada kerabat atau tetangga yang
terkena musibah kematian), baca yasin di kuburan keluarga pasca sholat idul
fitri (semacam nyekar di makam keluaga dalam tradisi jawa), silaturrahim
pasca sholat ‘id baik idul fitri maupun idul adha kerumah kerabat dan
sanak family, maulidan (dengan mengadakan pengajian dan makan-makan
untuk memeriahkan kelahiran Nabi Muhammad Saw)., Namatan, (selamatan
yang dilakukan ketika anak mereka berhasil menyelesaikan memabaca satu mushaf
al-Qur’an), lebaran topat (adalah perayaan yang dilakukan setelah hari
ketujuh bulan Sawal, di mana masyarakat sasak pergi ketempat rekreasi bersama
keluarganya untuk makan ketupat bersama) dan masih banyak lagi kearifan lokal lainnya.
3.
Kesenian
Dalam bidang
kesenian masyarakat Sasak cukup memiliki banyak jenis kesenian, di antaranya
seni tari-tarian yang meliputi (tari Oncer, tari Tandang Mendet. Tari
Genderung, tari bala-bala, tari Topeng Pengarat, tari Sireh, tari Beriuk
Tinjal, tari Mandalike, tari Bajang Girang, tari Perang Topat, tarti Peresean, tari Rudat,)
dll. Sedangkan dalam seni musik, masyarakat sasak mempunyai musik tradisional
yang disebut Gendang Beleq, Kecimol, Ale-ale, Kasidah, yang biasanya di
sewa atau tetanggep ketika ada acara pernikahan sebagai pengiring penganten.
Ada juga Rudad (Semacam drama komedi yang miring dengan Opra Van Java
yang pernah ditayangkan disalah satu Stasiun TV), Wayang Sasak, Lagu Cilokak,
Gamelan Tokol, Presean (tradisi saling pukul pakai rotan dengan
mengunakan tameng dari kulit binatang, yang biasanya dimainkan untuk mengharap
turunnya hujan), Singe (sejenis kuda-kudaan yang terbuat dari kayu dan
di usung oleh empat orang sambil di ingiringi musik tradisional. Biasanya di
sewa untuk mengusung anak yang akan di khitan atau pasangan mempelai yang
sedang menikah), Perang Timbung, Dan masih banyak lagi yang
lainnya.
4.
Ritual
Perkawinan
Selain itu adat
istiadat suku Sasak juga dapat di saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana
perempuan apabila mereka mau dinikahi oleh seorang lelaki maka yang perempuan
harus dilarikan terlebih dahulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini
yang dikenal dengan sebutan "Merarik" atau "Selarian".
Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang tokoh
adat untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan
dinikahi oleh seseorang, ini yang disebut dengan "Mesejati"
atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai Mesejati
maka akan diadakan yang disebut dengan "Nyelabar" atau
kesepakatan mengenai biaya resepsi, baru setelah itu diadakan akad nikah dan menyongkolan
(semacam tradisi mengantarkan pihak laki-laki oleh masyarakatnya kepada
mertuanya untuk sunkeman dalam tradisi jawa). Barus setelah beberapa
hari dia menikah pihak laki-laki datang bersama istrinya ke kerabat mertuanya
untuk melaksanakan tradisi bales lampak nae, istilah sasak membalas
kedatangannya ketika mereka nyongkolan dulu.
5.
Kerajinan
Tangan dan Makanan
Seni kerajinan
tangan di Gumi Sasak sangat banyak sekali, namun seiring majunya zaman
dan arus globalisasi yang tak terhindarkan, sehingga banyak dari pengerajin
lebih memilih banting setir atau gantung sepatu dalam istilah sepak bola,
dengan mencari mata pencaharian lain daripada bertahan menganyam. Hal ini
disebabkan orang-orang lebih melirik peralatan yang lebih efesien bagi mereka
ketimbang menggunakan kerajinan lokal. Di antara kerajinan tangan khas Sasak
adalah: Kemek (Periuk dalam Istilah Jawa), Kete (sejenis wajan
namun terbuat dari tanah liat), Semen (kendi yang terbuat dari tanah liat
sebagai tempat minum orang terdahulu), Senduk Tangken (sejenis sendok
yang terbuat dari batok kelapa), Bong (sejenis gentong atau tempayan
tempat menyimpan air) Selao (sejenis Bong tapi biasanya digunakan
tempat menyimpan beras), kecapin kere (topi yang dibuat dari daun
rumbia), Tebola’ (sejenis penutup kepala yang biasanya digunakan oleh
petani disawah), Sambar (biasanya digunakan untuk menangkap belalang
disawah yang terbuat dari bambu), Keraro (wadah besar yang fungisnya
seperti bak karet) Penarak (sejenis keraro cuman ukurannya lebih kecil),
Terompe (semacam sandal namun terbuat dari kayu) dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Adapun mengenai
makanan daerah Lombok juga tidak kalah dengan daerah-daerah lainnya seperti: Pelecing
Kangkung, Olah-olah botor, Cucur, Renggi, Opak-opak, Ore, Jaje Tujak, Poteng,
Bowor Sedekah, Merasun, Cerorot, Banget Tankil, Wajik, Abuk, Serabi dan masih
banyak lagi makanan atau masakan daerah lainnya.
6.
Permainan
Kekayaan budaya
lokal suku Sasak tidak hanya menyangkut aturan normative yang disepakati oleh
sebagian orang, kemudian diwariskan kegenerasi selanjutnya. Tapi lebih dari
itu, kebudayaan lokal Sasak juga menyangkut permainan daerah yang tidak kalah
menariknya dengan permainan-permainan kontemporer. Di mana permainan daerah ini
lebih mengedepannkan sisi komunal dan sosial, dibanding dengan permainan
kotemporer yang lebih dominan bersifat individual dan tidak sosial. Hal ini
terbukti dari banyaknya permainan daerah sasak yang mengandung unsur sosial
yang tinggi di antaranya:
Permainan Selodoran
(permainan ini sangat membutuhkan kecekatan dan ketangkasan selain dari kekompakan anggotanya. Selain itu permainan ini juga
bagus untuk kesehatan karena membutuhkan banyak gerak dalam melakukanya). Main Benteng,
(permainan yang teridiri dari dua kubu yang saling tangkap antara kubu yang
satu dengan yang lainnya. Di mana dalam permainan ini, yang menjadi pemenang
adalah mereka yang berhasil menginjak benteng lawannya tanpa kenak tangkap oleh
pihak musuh). Main Gansingan (mungkin permainan ini sudah common
di daerah lainnya, cuman menariknya di suku Sasak jenis gansingan-nya
tidak hanya terbuat dari kayu tetapi juga terbuat dari besi). Main Peldok,
Main Katrik, (kedua permainan ini sama-sama terbuat dari bahan bambu. Hanya
saja untuk aturan mainya cukup kompleks sehingga susah untuk dijelaskan tanpa
memainkannya). Main Galeng (permainan yang hampir mirip dengan main
petak umpet pada umumnya. Hanya saja dalam main petak umpet khas suku Sasak
ini, menggunakan instrument tertentu
dalam permainanya. Sehingga disaat instrument tersebut berhasil dirobohkan,
maka yang bertugas menjaga instrument tersebut harus mengulangi lagi
permainannya). Dan masih banyak lagi permainan suku Sasak lainnya yang
mungkin penulis tidak bisa menguraikan secara terperinci dalam makalah ini.
E.
TANTANGAN BUDAYA LOKAL
Mempertahankan
budaya lokal di era modernisasi dan globalisasi
memang bukanlah perkara mudah. Apalagi ditambah dengan kebijakan presiden yang
mengikuti percaturan ekonomi tingkat Asia APEC (Asian Pacific Ekonomi
Corporation) dengan tujuan kesejahteraan rakyat banyak, sangatlah perlu pengkajian
ulang sebagai bahan refleksi kita bersama. Ditambah human resources
negeri ini sangat minim sekali, alih-alih memajukan perekonomian bangsa malah
takutnya yang terjadi sebaliknya. Inilah sekelumit permasalahan yang dihadapi
oleh bangsa ini terlebih juga yang menyangkut masalah budaya lokal.
Budaya yang
selama ini kita banggakan sebagai warisan bangsa, kini luntur sudah digerus
oleh kemajuan zaman. Dulu banyak orang merasa bangga dengan makan makanan khas daerah
mereka, sekarang malah yang terjadi sebaliknya, Dulu banyak anak remaja yang
sibuk bermain dengan permainan khas daerahnya yang sarat dengan nilai sosial,
malah yang terjadi sekarang sebaliknya, mereka justru merasa lebih nyaman
dengan permainan gadget mereka, yang tanpa mereka sadari malah cedrung membentuk
mereka sebagai karakter yang apatis, individualis, bahkan menjadi generasi yang
idiot. Jika kasus ini terus menjadi momok penting yang terus dibiarkan, maka
jangan heran jika suatu saat nanti mereka kehilangan kebanggan mereka sebagai
generasi bangsa, yaitu kearifan lokal bangsa ini.
Oleh kerenanya
peran stakeholder atau pemegang kebijakan dalam hal ini aparat
pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, sangat memiliki peran
penting dalam melestarikan budaya bangsa khulusnya local wisdom yang
menjadi icon bangsa ini. Karena tanpa peran meraka dan kita bersama
dalam mempertahankan kebudayaan lokal, lalu kita bisa mengharapkan siapalagi
untuk melakukannya. Banyaknya negara dan daerah maju dengan pendapatan
daerahnya yang tinggi dari obejek wisata budaya lokal bisa kita jadikan sebagai
bahan acuan atau barometer dalam melestarikan budaya bangsa. Sehingga peran
estafeta kebudayan lokal dinegeri ini bisa kita wariskan kegenerasi yang akan
datang, dan tidak tergerus oleh perkembangan zaman.
DAFAR PUSTAKA
Azhar, Lalu Muhammad, Arya Banjar Getas, Bedah Takepan-Babad dan Buku
Sasak. Klaten: PT Intan Sejati, 2003.
Abd. Syakur, Ahmad, Islam dan
Kebudayaan, Akulturasi Niali-nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta:
Adab Press, 2006.
Bafadal, Fauzi, Dampak
Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan di Nusa Tenggara Barat, Mataram:
Depdikbud, 1986.
Budiwanti, Erni, Islam Sasak,
Yogyakarta: 1981.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat,
Mataram: Depdikbud, 1978.
_____________, Peranan Pendidikan
dalam Pembinaan Kebudayaan Nasional di Daerah Nusa Tenggara Barat, Mataram:
Depdikbud, 1993.
Tawalinuddin, Haris, Sejarah
Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, Makalah, 1981.
Widiastuti, Baiq Titek, Dampak
Pengembangan Parawisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Nusa Tenggara
Barat, (Mataram: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya NTB,
1992).