Selasa, 25 November 2014



Oleh; Muhammad Habibi. S.Pd
 

A.      PENDAHULUAN
Tantangan modernisasi serta globalisasi yang menjadi momok penting dalam pergeseran nilai budaya lokal seringkali dianggap sebagai hal sepele bahkan biasa oleh sebagian orang. Padahal ini merupakan masalah yang cukup serius dan bisa menjangkit sendi-sendi kebudayaan kita. Sehingga lahirlah budaya-budaya baru yang notabene merupakan produk budaya barat yang bahkan dapat mengkerdilkan identitas kebangsaan kita. Terlebih banyaknya selogan-selogan akademis yang mengatasnamakan keadilan gender, mendekonstruksi budaya partimornial dan bahkan masih banyak lagi proyek-proyek brain washing lainya yang mereka tawarkan atas nama keadilan dalam rangka membangkitkan pemikiran progresif.
Pada akhirnya pemikiran-pemikiran semacam ini akan membawa kita semakin jauh dengan apa yang kita sebut sebagai budaya bangsa yang harus kita lestarikan. Sehingga tidak salah disaat Lalu Azhar dalam buku babat Sasak yang berjudul Arya Banjar Getas mengungkapkan apa yang menjadi selogan VOC atau imprealisme Belanda ketika menjajah Indonesia “kalau mau menghancurkan sebuah negara maka hancurkanlah sejarah dan kebudayaannya”. Artinya, begitu penting sebuah budaya bangsa dalam rangka membangkitkan jiwa nasionalisme serta patriotisme rakyatnya. Di samping itu perkembanggan teknologi juga tanpa disadari telah menjauhkan kita dari nilai-nilai kebudayaan, walaupun disatu sisi peran teknologi sangat membantu dalam menyelesaikan tugas kita dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi kalau kita tidak bisa membatasi diri dalam menggunakannya maka yang lahir adalah jiwa-jiwa individualis yang jauh dari nilai-nilai gotong royong. Bahkan tak jarang kita melihat fenomena yang sangat riskan ditengah kehidupan sehari-hari. Di mana pengguna smart phon merasa lebih bahagia dengan teman dunia mayanya yang ntah berada dibelahan dunia sana, ketimbang berbicara dengan teman-temannya yang berada di depan dia.
Berdasarkan pemamaparan yang dieksplorasi di atas, budaya Sasak juga mengalami kasus yang sama, di mana nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur etnis Sasak juga telah mengalami pergeseran, mengalami kelunturan, dan seakan-akan kehilangan makna sesungguhnya. Kelunturan nilai-nilai itu terjadi karena adanya pengaruh kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi atau globalisasi, serta laju pembangunan yang tidak didasarkan atas budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, generasi penerus dalam komunitas Sasak dewasa ini tidak lagi sepenuhnya mempedomani nilai-nilai tersebut, bahkan ada kecenderungan untuk ditinggalkan. Keadaan yang mengkhawatirkan itu menuntut adanya upaya untuk menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan masyarakat Sasak dewasa ini, sehingga generasi muda tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri. Usaha ini akan efektif dilakukan melalui pendidikan, dan membangun kembali kesepakatan antar kelompok yang ada dalam komunitas Sasak itu sendiri secara sungguh-sungguh untuk memfotmat kembali nilai-nilai luhur tersebut, menyesuaikannya dengan kehidupan masa kini dan dikemas dengan afik sebagai modal untuk menghadapi tantangan masa depan.

B.       MEMAHAMI BUDAYA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk system agama dan politik, adat istiadat, pakaian, bahasa, dan seni. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Adapaun dalam konteks sekala cakupan, budaya sangat luas sekali. Terbukti dari banyaknya komponen serta instrument penting yang mengkonstruksi lahirnya sebuah budaya atau yang sering kita sebut sebagai kearifan lokal. Di samping itu produk yang dihasilkanya-pun berbeda-beda tergantung ruang di mana mereka berbicara. Baik yang berbicara dalam konteks sosial, agama, maupun kesenian. Sehingga kita bisa mengkelasifikasikan ruang cakukapnnya menjadi dua:  
1.    Budaya dalam konteks makro: adalah budaya yang dimiliki oleh sebuah Negara tanpa diikat oleh struktur etnis atau suku tertentu yang mempengaruhinya. Misalnya budaya nasional. 
2.    Budaya dalam konteks mikro: adalah budaya yang lahir dari suku atau etnis tertentu yang sifatnya particular dan tidak bersfat universal layaknya budaya nasional. Misalnya, adat Sasak, adat Sunda, adat Jawa, adat Madura, Sumbawa, Papua dan lainnya.
Menurut Cateora seorang antorpolog mengatakan bahwa perwujudan budaya dapat kita klasifikasikan menjadi dua kategori:
1.    Kebudayaan Material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya, termsuk juga makanan dan minuman yang menjadi local wisdom daerah tersebut.
2.    Kebudayaan Non Material
Kebudayaan non material adalah segala bentuk ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, baik itu berupa dongeng, cerita rakyat, lagu atau tarian tradisional, serta aturan-aturan yang mengikat masyarakat pada daerah tertentu yang mereka yakini sebagai sebuah budaya yang harus mereka lestarikan.
C.      GENEOLOGI BUDAYA SASAK
Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku Sasak merupakan etnis utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku Sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi, Kata Sasak pada prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi Sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang Sasak.
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerjaan di Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha, memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan. Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII-XIV dan penguasaan kerajaan Gel-Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri asal-usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lombok dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi
Gumi Sasak silih berganti mengalami peralihan kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Islam masuk ke Lombok sepanjang abad XVI ada beberapa versi masuknya Islam ke Lombok yang pertama berasal dari Jawa masuk lewat Lombok timur., yang kedua pengIslaman berasal dari Makassar dan Sumbawa ketika ajaran tersebut diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan– kerajaan di Lombok timur dan Lombok tengah. Mayoritas etnis Sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti Islam abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat.
Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khasanah kebudayaan Sasak. Sebagai bentuk dari Pertemuan(difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Seperti dalam hal Kesenian, bentuk kesenian di lombok sangat beragam. Kesenian asli dan pendatang saling melengakapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling terasa berakulturasi dengan kesenian lokal yaitu kesenian bali dan pengaruh kebudayaan Islam. Keduanya membawa Kontribusi yang besar terhadap perkembangan ksenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Implementasi dari pertemuan kebudayaan dalam bidang kesenian yaitu, Yang merupakan pengaruh Bali; Kesenian Cepung, cupak gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang merupakan pengaruh Islam yaitu Kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak, Gamelan, Rebana.
Suku bangsa Sasak yang memdiami pulau Lombok menggunakan bahasa daerah Sasak. Pada umumnya bahasa daerah Sasak dibagi dua yaitu bahasa halus dan bahasa jamaq (biasa). Bahasa halus digunakan untuk berbicara dengan yang lebih tua, orang tua dan dengan golongan bangsawan Sasak. Sedangkan bahasa jamaq (biasa) digunakan dalam bahasa sehari–hari terutama dalam pergaulan masyarakat biasa. Masyarakat suku Sasak dalam stratifikasi sosialnya dibagi dua kelompok yaitu golongan bangsawan atau permenak dan kelompok rakyat biasa yang disebut jajar karang atau kaula. Perbedaan stratifikasi sosial sangat terlihat dalam prosesi upacara, seperti pada upacara sorong serah aji krama yaitu salah satu bagian dari upacara perkawinan adat Sasak. Aji krama (tingkat keutamaan) golongan bangsawan mempunyai nilai yang tinggi dibandingkan golongan kaula dan pelaksanaan tata upacara lebih rumit dibandingkan tata cara perkawinan kalangan masyarakat biasa. Namun saat ini perbedaan stratifikasi sosial tidak seketat dulu hal ini tidak lepas dari pengaruh modernisasi.
D.      KEARIFAN LOKAL SASAK
Masyarakat Sasak sebenarnya telah mempunyai kearifan lokal yang sangat complicated yang berkembang sejak zaman dahulu kala, sebagaimana halnya masyarakat lain yang juga mempunyai kearifan lokal mereka sendiri, baik yang menyangkut sosila ekonomi, politik, keagamaan, kesenian, kerajinan, serta permainan dan makanan khas daerah. Maju dan mundurnya kearifan lokal suatu masyarakat terkait pula dengan keyakinan keagamaan yang mereka miliki, termasuk dalam hal ini adalah seni budaya masyarakat Sasak. Begitu pula masyarakat Sasak dikala mereka masih memeluk agama Hindu dan Budha, seni budaya mereka banyak diwarnai oleh ajaran atau tradisi keagamaan yang berkembang di kalangan masyarakat Hindu atau Budha.  Demikian juga setelah mereka memeluk agama Islam, maka seni budaya mereka pun terpengaruh pula oleh ajaran agama tersebut.
Selain faktor agama yang mempengaruhi konstruksi budaya lokal sasak, ada juga faktor penguasa yang secara silih berganti mengusai Bumi Gora atau bumi gugur ancah yang juga turut mewarnai akulturasi budaya Sasak. Di antarnya Kerajaan Selaparang, Kerajaan Pejanggik, Memelaq, Majapahit, Karang Asem, Belanda dan Jepang. Sehingga lahirlah budaya lokal atau local wisdom Sasak yang kita bisa saksikan saat ini, yang tentunya sarat dengan akulturasi budaya yang kental. Sehingga tidak heran jika beberapa kearifan lokal kita ada yang sama dengan kearifan loakl di daerah-daerah lain di Indonesia ini.
Di antara kearifan lokal Sasak yang berkembang saat ini, dapat kita klasifikasikan menjadi lima kelompok besar:, sosial budaya, ritus keagamaan, kesenian, perkawinan, kerajinan, dan permainan:
1.    Sosial Budaya
Saling jot/perasak (saling memberi atau mengantarkan makanan), pesilaq (saling undang untuk suatu hajatan keluarga), saling pelangarin (saling layat jika ada kerabat/sahabat yang meninggal), ayoin (saling mengunjungi), dan saling ajinan (saling menghormati atau saling menghargai terhadap pebedaan, menghargai adanya kelebihan dan kekurangan yang dimilki oleh seseorang atau kelompok tertentu), saling jangoq (silaturrahmi saling menjenguk jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah), saling begawe (mendatangi kerabat atau tetangga yang mengadakan acara dengan membawa beras atau gula), ikut menyongkolan (tradisi mengantarkan pengantin peria kerumah mertuanya), Medang (semacam acara memasak yang dilakukan oleh remaja putri ditempat kerabat atau tetangga yang mengadakan selamatan, ntah itu nikahan maupun sunatan. Di mana remaja putra saling adu pemberiannya dengan sainggannya kepada cewek yang mereka taksir), dan masih banyak lagi kearifan lokal yang lainnya yang mengandung nilai sosial.
2.    Ritual kegamaan
Adapun dalam ritual keagamaan juga bannyak terdapat kearifan lokal yang bisa kita saksikan dalam budaya Sasak. Di ataranya zikiran, (semacam tahlilan atau selamatan yang sering dilakukan oleh orang Sunni NU pada umumnya, ketika ada kerabat atau tetangga yang meninggal dunia), ngurisan atau aqiqah (ritual pemotongan rambut secara simbolis oleh tokoh agama apabila ada sanak famili yang melahirkan dan mengadakan selamatan), yiwaq, petangdase, nyatus, nyeribu’ (merupakan stape atau fase-fase yang dilakukan ketika zikiran atau tahlilan ketika ada kerabat atau tetangga yang terkena musibah kematian), baca yasin di kuburan keluarga pasca sholat idul fitri (semacam nyekar di makam keluaga dalam tradisi jawa), silaturrahim pasca sholat ‘id baik idul fitri maupun idul adha kerumah kerabat dan sanak family, maulidan (dengan mengadakan pengajian dan makan-makan untuk memeriahkan kelahiran Nabi Muhammad Saw)., Namatan, (selamatan yang dilakukan ketika anak mereka berhasil menyelesaikan memabaca satu mushaf al-Qur’an), lebaran topat (adalah perayaan yang dilakukan setelah hari ketujuh bulan Sawal, di mana masyarakat sasak pergi ketempat rekreasi bersama keluarganya untuk makan ketupat bersama)  dan masih banyak lagi kearifan lokal lainnya.
3.    Kesenian
Dalam bidang kesenian masyarakat Sasak cukup memiliki banyak jenis kesenian, di antaranya seni tari-tarian yang meliputi (tari Oncer, tari Tandang Mendet. Tari Genderung, tari bala-bala, tari Topeng Pengarat, tari Sireh, tari Beriuk Tinjal, tari Mandalike, tari Bajang Girang,  tari Perang Topat, tarti Peresean, tari Rudat,) dll. Sedangkan dalam seni musik, masyarakat sasak mempunyai musik tradisional yang disebut Gendang Beleq, Kecimol, Ale-ale, Kasidah, yang biasanya di sewa atau tetanggep ketika ada acara pernikahan sebagai pengiring penganten. Ada juga Rudad (Semacam drama komedi yang miring dengan Opra Van Java yang pernah ditayangkan disalah satu Stasiun TV), Wayang Sasak, Lagu Cilokak, Gamelan Tokol, Presean (tradisi saling pukul pakai rotan dengan mengunakan tameng dari kulit binatang, yang biasanya dimainkan untuk mengharap turunnya hujan), Singe (sejenis kuda-kudaan yang terbuat dari kayu dan di usung oleh empat orang sambil di ingiringi musik tradisional. Biasanya di sewa untuk mengusung anak yang akan di khitan atau pasangan mempelai yang sedang menikah), Perang Timbung, Dan masih banyak lagi yang lainnya.        
4.    Ritual Perkawinan
Selain itu adat istiadat suku Sasak juga dapat di saksikan pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila mereka mau dinikahi oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan terlebih dahulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan "Merarik" atau "Selarian". Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang tokoh adat untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahi oleh seseorang, ini yang disebut dengan "Mesejati" atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai Mesejati maka akan diadakan yang disebut dengan "Nyelabar" atau kesepakatan mengenai biaya resepsi, baru setelah itu diadakan akad nikah dan menyongkolan (semacam tradisi mengantarkan pihak laki-laki oleh masyarakatnya kepada mertuanya untuk sunkeman dalam tradisi jawa). Barus setelah beberapa hari dia menikah pihak laki-laki datang bersama istrinya ke kerabat mertuanya untuk melaksanakan tradisi bales lampak nae, istilah sasak membalas kedatangannya ketika mereka nyongkolan dulu.
5.    Kerajinan Tangan dan Makanan
Seni kerajinan tangan di Gumi Sasak sangat banyak sekali, namun seiring majunya zaman dan arus globalisasi yang tak terhindarkan, sehingga banyak dari pengerajin lebih memilih banting setir atau gantung sepatu dalam istilah sepak bola, dengan mencari mata pencaharian lain daripada bertahan menganyam. Hal ini disebabkan orang-orang lebih melirik peralatan yang lebih efesien bagi mereka ketimbang menggunakan kerajinan lokal. Di antara kerajinan tangan khas Sasak adalah: Kemek (Periuk dalam Istilah Jawa), Kete (sejenis wajan namun terbuat dari tanah liat), Semen (kendi yang terbuat dari tanah liat sebagai tempat minum orang terdahulu), Senduk Tangken (sejenis sendok yang terbuat dari batok kelapa), Bong (sejenis gentong atau tempayan tempat menyimpan air) Selao (sejenis Bong tapi biasanya digunakan tempat menyimpan beras), kecapin kere (topi yang dibuat dari daun rumbia), Tebola’ (sejenis penutup kepala yang biasanya digunakan oleh petani disawah), Sambar (biasanya digunakan untuk menangkap belalang disawah yang terbuat dari bambu), Keraro (wadah besar yang fungisnya seperti bak karet) Penarak (sejenis keraro cuman ukurannya lebih kecil), Terompe (semacam sandal namun terbuat dari kayu) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Adapun mengenai makanan daerah Lombok juga tidak kalah dengan daerah-daerah lainnya seperti: Pelecing Kangkung, Olah-olah botor, Cucur, Renggi, Opak-opak, Ore, Jaje Tujak, Poteng, Bowor Sedekah, Merasun, Cerorot, Banget Tankil, Wajik, Abuk, Serabi dan masih banyak lagi makanan atau masakan daerah lainnya.
6.    Permainan
Kekayaan budaya lokal suku Sasak tidak hanya menyangkut aturan normative yang disepakati oleh sebagian orang, kemudian diwariskan kegenerasi selanjutnya. Tapi lebih dari itu, kebudayaan lokal Sasak juga menyangkut permainan daerah yang tidak kalah menariknya dengan permainan-permainan kontemporer. Di mana permainan daerah ini lebih mengedepannkan sisi komunal dan sosial, dibanding dengan permainan kotemporer yang lebih dominan bersifat individual dan tidak sosial. Hal ini terbukti dari banyaknya permainan daerah sasak yang mengandung unsur sosial yang tinggi di antaranya:
Permainan Selodoran (permainan ini sangat membutuhkan kecekatan dan ketangkasan selain dari kekompakan anggotanya. Selain itu permainan ini juga bagus untuk kesehatan karena membutuhkan banyak gerak dalam melakukanya). Main Benteng, (permainan yang teridiri dari dua kubu yang saling tangkap antara kubu yang satu dengan yang lainnya. Di mana dalam permainan ini, yang menjadi pemenang adalah mereka yang berhasil menginjak benteng lawannya tanpa kenak tangkap oleh pihak musuh). Main Gansingan (mungkin permainan ini sudah common di daerah lainnya, cuman menariknya di suku Sasak jenis gansingan-nya tidak hanya terbuat dari kayu tetapi juga terbuat dari besi). Main Peldok, Main Katrik, (kedua permainan ini sama-sama terbuat dari bahan bambu. Hanya saja untuk aturan mainya cukup kompleks sehingga susah untuk dijelaskan tanpa memainkannya). Main Galeng (permainan yang hampir mirip dengan main petak umpet pada umumnya. Hanya saja dalam main petak umpet khas suku Sasak ini,  menggunakan instrument tertentu dalam permainanya. Sehingga disaat instrument tersebut berhasil dirobohkan, maka yang bertugas menjaga instrument tersebut harus mengulangi lagi permainannya). Dan masih banyak lagi permainan suku Sasak lainnya yang mungkin penulis tidak bisa menguraikan secara terperinci dalam makalah ini.
E.       TANTANGAN BUDAYA LOKAL
Mempertahankan budaya lokal di era modernisasi dan globalisasi memang bukanlah perkara mudah. Apalagi ditambah dengan kebijakan presiden yang mengikuti percaturan ekonomi tingkat Asia APEC (Asian Pacific Ekonomi Corporation) dengan tujuan kesejahteraan rakyat banyak, sangatlah perlu pengkajian ulang sebagai bahan refleksi kita bersama. Ditambah human resources negeri ini sangat minim sekali, alih-alih memajukan perekonomian bangsa malah takutnya yang terjadi sebaliknya. Inilah sekelumit permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini terlebih juga yang menyangkut masalah budaya lokal.
Budaya yang selama ini kita banggakan sebagai warisan bangsa, kini luntur sudah digerus oleh kemajuan zaman. Dulu banyak orang merasa bangga dengan makan makanan khas daerah mereka, sekarang malah yang terjadi sebaliknya, Dulu banyak anak remaja yang sibuk bermain dengan permainan khas daerahnya yang sarat dengan nilai sosial, malah yang terjadi sekarang sebaliknya, mereka justru merasa lebih nyaman dengan permainan gadget mereka, yang tanpa mereka sadari malah cedrung membentuk mereka sebagai karakter yang apatis, individualis, bahkan menjadi generasi yang idiot. Jika kasus ini terus menjadi momok penting yang terus dibiarkan, maka jangan heran jika suatu saat nanti mereka kehilangan kebanggan mereka sebagai generasi bangsa, yaitu kearifan lokal bangsa ini.
Oleh kerenanya peran stakeholder atau pemegang kebijakan dalam hal ini aparat pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, sangat memiliki peran penting dalam melestarikan budaya bangsa khulusnya local wisdom yang menjadi icon bangsa ini. Karena tanpa peran meraka dan kita bersama dalam mempertahankan kebudayaan lokal, lalu kita bisa mengharapkan siapalagi untuk melakukannya. Banyaknya negara dan daerah maju dengan pendapatan daerahnya yang tinggi dari obejek wisata budaya lokal bisa kita jadikan sebagai bahan acuan atau barometer dalam melestarikan budaya bangsa. Sehingga peran estafeta kebudayan lokal dinegeri ini bisa kita wariskan kegenerasi yang akan datang, dan tidak tergerus oleh perkembangan zaman.


DAFAR PUSTAKA


Azhar, Lalu Muhammad, Arya Banjar Getas, Bedah Takepan-Babad dan Buku Sasak. Klaten: PT Intan Sejati, 2003.
Abd. Syakur, Ahmad, Islam dan Kebudayaan, Akulturasi Niali-nilai Islam dalam Budaya Sasak, Yogyakarta: Adab Press, 2006.
Bafadal, Fauzi, Dampak Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan di Nusa Tenggara Barat, Mataram: Depdikbud, 1986.
Budiwanti, Erni, Islam Sasak, Yogyakarta: 1981.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Barat, Mataram: Depdikbud, 1978.
_____________, Peranan Pendidikan dalam Pembinaan Kebudayaan Nasional di Daerah Nusa Tenggara Barat, Mataram: Depdikbud, 1993.
Tawalinuddin, Haris, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Lombok, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Makalah, 1981.
Widiastuti, Baiq Titek, Dampak Pengembangan Parawisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Nusa Tenggara Barat, (Mataram: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya NTB, 1992).
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this