Oleh: MSI (M. Salimudin Ishak)
Dr. Al-Makin, seorang doktor
sekaligus adalah dosen Sosiologi Agama-UIN Sunan Kalijaga dalam sebuah diskusi
(seminar) menyatakan “Indonesia adalah Negeri tersubur di dunia”. Indonesia selain
sebagai negara yang sangat kental dengan adat dan tradisi, gotong royong dan
religiusitas (keberagamaan) yang tinggi juga merupakan negara yang sangat
terbuka, subur, legowo dan lainnya. Kesuburan ini terlihat dengan jumlah agama
yang menjamur di Indonesia saat ini,[2]
baik yang merupakan agama pribumi asli maupun juga agama bawaan masyarakat
luas. Begitu juga jika dilihat dari aliran yang ada di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup pesat; adanya aliran Syi’ah yang bernegara di Iran,
Ahmadiyah di India, Wahhabi di Saudi Arabia dan sekitarnya, dan tak terlupakan ISIS
yang saat ini masih ‘memanas’. Kesemua aliran keagamaan tersebut terlihat merupakan
bawaan atau Islam Transnasional yang dibawa ke Indonesia. Karena pada dasarnya
Indonesia, dalam sejarahnya hanya mengenal istilah Islam Nahdliyin (NU/NW) di
Jawa, dan Lombok, Muhammadiyah di Jogjakarta, Persis di Jawa Barat, al-Washitiyah
di daerah Sumatera. Semua organisasi Islam pribumi tersebut pada intinya memiliki ruh yang sama, yakni Islam
Keindonesiaan.
Wacana Indonesia ‘subur’ diatas
membawa penulis kepada pembahasan yang lebih kepada permasalahan sosial
masyarakat Sasak terkait kemodernan. dan tetntunya sudah bisa ditebak bahwa,
Indonesia saat ini, dimanapun, Desa terpencil-pun sudah terkena dengan arus
modernisasi. Ini bisa dibuktikan dengan- sebagaimana tulis Fakhr al-Rasyid[3]-menjamurnya
americanisasi, Chinaisasi, Inggrisisasi, dan Indomart, Alfamart, dan
sejenisnya yang merupakan produk modern Barat. Di satu sisi juga membuktikan, tesa
di atas; Indonesia adalah negara tersubur.
Namun kemudian, selain
permasalahan sosial versus modern tersebut, tema krusial dan fundamental
adalah masalah keberagamaan masayarakat Indonesia (dalam hal ini masyarakat
Sasak) dalam menghadapi arus modernisasi yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
Ini artinya, modernisasi adalah sudah mutlak adanya, dan masyarakat beragama harus
menjadikan abad modern menjadi kawan, bukan lawan. Sampai disini, pertanyaan
yang akan di jawab adalah; Bagaimana Karakter keberagamaan dalam
Masyarakat Sasak secara umum? Sudah siapkah masyarakat Sasak menerima
Kemodernan? Bagaimana Solusi Konkrit untuk Menyeimbangi antara Agama dan
Kemodernan yang tidak, jika di baca dalam perspektif al-Qur’an?
Jawaban
Pertama, Pada
dasarnya, dalam masyarakat Sasak, Agama merupakan elemen yang sangat penting. Agama
tidak hanya menjadi pondasi sosial dalam membina moralitas individu dan
kelompok, melainkan agama juga harus menopang segala lini sistem sosial, tradisi,
budaya, maupun politik. Karenanya, melanggar agama juga sekaligus melanggar
adat/tradisi. dianggap melanggar tradisi (sebagai contoh, sistem awek-awek
yang diterapkan di beberapa Desa misalkan menyatakan: jika berzina atau mabuk
di tempat atau desa tertentu, maka akan melanggar tradisi setempat. Disni
terlihat agama mengikat dan seiring sejalan dengan tradisi). Sampai disini,
dapat dikatakan agama dalam masyarakat Sasak akan terus menjadi ujung tombak
kemajuan dan memajukan peradaban dalam segala aspek. Namun, sekali lagi akan
tetap terjadi, jika peran agama di maksimalkan dalam berkehidupan.
Jawaban Kedua,
terkait
kesiapan masyarakat Sasak dalam menghadapi arus modernisasi. Dalam kacamata
pribadi penulis, sekali lagi dalam pandangan “pribadi” penulis, Masyarakat
Sasak terlihat belum siap dalam menerima arus Globalisasi dan/atau modern. Beberapa
alasan bisa disebutkan disini:, pertama, bahwa masyarakat Sasak saat ini
kebablakan dalam menghadapi arus globalisasi. Dengan munculnya berbagai
perubahan tersebut, meniscayakan adanya persaingan antar kelompok dan individu
(individualisme). Hal demikian sedikit banyak pasti akan berdampak pada kualitas
keberagamaan menjadi terkikis. Kedua, masyarakat kalangan remaja seiring
pergumulannya dengan modern, ingin berpenampilan ‘modern’ nan gaul. Ini
terbukti dengan mulainya bermunculan gengster, pergaulan bebas baik anak
Mahasiswa maupun Sekolah Menengah, seks bebas yang merupakan ‘anak angkat’ dari
kemajuan IT, serta perjudian dan minum-minuman yang sudah menjadi hiasan
masyarakat perkotaan bahkan pinggiran desa di masyarakat Sasak. Ini semua, pada
akhirnya akan memberangus nilai-nilai agama di masyarakat Sasak. Ini artinya,
karakter keberagamaan (penjelasan pada jawaban pertama) masyarakat Sasak sudah
mulai berubah-jika tidak ingin mengatakan menghilang-.
Jawaban Ketiga,
bagaimana sikap yang ditawarkan al-Qur’an?. Al-Qur’an memang bukanlah kitab
modern, tapi juga bukanlah semata untuk masyarakat ‘Arab’ semata-yang pada
waktu itu belum adanya istilah modern, globalisasi, IT, dan lainnya. Dengan
demikian dapat dikatakan, al-Qur’an dalam beberapa tempat juga mewanti-wanti
akan adanya arus masa depan.[4]
Terkait hal ini, al-Qur’an dalam surat al-Baqarah memberikan suatu ungkapan “ummatan
wasathan” yang penulis terjemahkan dengan umat yang moderat. Ayat tersebut,
kiranya menjadi tawaran al-Qur’an dalam menyikapi modernisasi. Moderat
diartikan dengan tidak menolak secara mentah, begitu juga tidak menerima
modernisasi seadanya. Perlu diadakannya filter atau klarifikasi/selektif, yang
mana nantinya akan membawa kepada
peradaban masyarakat yang memiliki mental dan Iman yang kuat.
Problema diatas, tentunya
menjadi masalah dan tanggung jawab bersama, begitu juga Berugaq Institute.
Dengan demikian solusi sekaligus tawaran dari penulis adalah: pertama,
Respon cepat yang harus ditunjukkan oleh para pemegang ‘amanah’ rakyat (pemerintah-pemangku
adat dan Agama) terhadap bahaya modernisasi yang di khawatirkan. Dengan
demikian, perlu diadakannya filterisasi terhadap budaya asing yang masuk
ke dalam masyarakat Sasak. Kedua, diadakannya pembugaran
kembali (Refresh) akan budaya asli Sasak kepada masyarakat (terlebih kalangan
muda) yang diiringi dengan pemahaman karakter agama Islam yang kokoh. Dengan
demikian akan didapat pemahaman agama yang lebih arif dan ramah terhadap lokal.
Begitu pula, dengan pemahaman agama yang kuat, akan berimplikasi pada
penyaringan yang sehat oleh masyarakat terhadap budaya asing, apakah budaya
tersebut sesuai dengan ruh agama atau tidak.[5]
[1] Disampaikan dalam diskusi
rutin nan wajib BERUGAQ INSTITUTE, Malam Kamis, tanggal 22 Oktober 2014. Di
depan Gedung Multi Purpose UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[2] Menurut hasil sensus tahun
2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96%
Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13%
agama lainnya, dan 0,38%, sensus tersebut berdasarkan agama-agama yang resmi di
Indonesia. Namun sebenarnya terdapat ratusan agama (tidak resmi) pribumi dan juga
agama luar. http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=agama-2&info1=e
diakses pada tanggal 22 oktober 2014
[3] Fakhr al-Rasyid adalah
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, juga merupakan Koordinator dalam
bidang Kajian dan Advokasi di Berugaq Institute.
[4] Penulis menangkap bahwa,
penggunaan kata dengan fiil mudharek dalam setiap tempatnya al-Qur’an
memberikan pemahaman bahwa, adanya relasi masa depan yang harus diperhatikan
dan dipertimbangkan.
[5] Sampai disini, perlu
ditegaskan bahwa, tidak semua wajah agama yang ada menerima arus perubahan
modern. Dalam Islam tercatat tidak sedikit aliran-aliran yang sangan ‘sinis’
dengan kemajuan. Dengan dalih, hidup harus disesuaikan dengan zaman Nabi,
segala tindak tanduk harus mencontohi kehidupan nabi Muhammad yang 15 Abad
silam.