Sabtu, 07 Februari 2015


Oleh: Ishak Hariyanto[1]

Berbicara tentang eksistensi sesungguhnya disini merujuk pada keberadaan serta tradisi yang ada dalam masyarakat sasak. Tradisi disini sesungguhnya terkait tentang sebuah kebiasaan yang ada disebuah komunitas masyarakat, salah satunya adalah tradisi ngorek[2] yang ada di masyarakat Lombok. Ngorek ini adalah sebuah tradisi yang menggunakan benda-benda tajam seperti pisau, pedang untuk membacok diri sendiri—kebiasaan ini sering dilakukan oleh para pemuda dan bahkan anak-anak sasak yang ada di Lombok Tengah, hal ini dilakukan sebagai sebuah simbol kekuatan yang sengaja dipertunjukkan ketika dalam sebuah acara nyongkolan[3] (seremonial perkawinan).

Tradisi ngorek ini hanya ada di Lombok secara umum dan secara khusus di Lombok Tengah. Penulis sendiri tidak tau secara pasti kapan dan apa yang melatarbelakangi terjadinya kebiasaan ngorek  ini, akan tetapi sejauh analisis penulis; hal ini dilatar belakangi oleh sebuah perlawanan para pemuda, baik dari dominasi politik, ekonomi dan sosial, dari dominasi tersebut hal ini ditunjukkan dari tradisi ngorek/membacok diri di depan orang banyak sebagai manifestasi bahwa sesungguhnya pemuda sasak memiliki power sebagai sebuah perlawanan.

Tradisi ngorek ini dalam sejarahnya tidak ada—karena dalam budaya sasak ketika ada orang kawin maka akan ada tradisi nyongkolan saja; yakni iring-iringan keluarga serta kerabat pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan dan di iringi dengan musik tradisional sasak yang disebut gamelan. Acara iring-iringan pengantin ini pada awalnya berjalan dengan damai serta aman karena murni di iringi dengan musik serta iring-iringan keluarga serta kerabat pengantin—Akan tetapi seiring perkembangan zaman tradisi nyongkolan ini tidak hanya di iringi oleh musik gamelan[4] serta kerabat, keluarga  penganti saja—akan tetapi tetapi saat ini nyongkolan dalam tradisi sasak ini juga di iringi oleh tradisi ngorek tersebut.

Seperti penulis katakan di atas bahwa sejak kapan tradisi ngorek ini mulai berkembang dan mengakar di tengah-tengah masyarakat sasak—oleh karena itu asumsi sementara penulis hal ini di latar-belakangi oleh adanya dominasi politik, ekonomi dan  sosial. Asumsi penulis ini diperkuat dengan adanya masyarakat sasak yang melakukan sebuah perlawanan serta menunjukkan kebolehan ngorek/membacok diri di ketika acara nyongkolan sedang berlansung.

Ngorek ini dilakukan oleh para pemuda dan bahkan anak-anak, pada saat acara nyongkolan (seremonial pernikahan) masyarakat sasak. Eksistensi ngorek saat ini sudah menjadi sebuah kebiasaan yang ada di masyarakat sasak[5] Lombok Tengah sebagai sebuah tontonan ketika melakukan iringan pengantin—dan  dalam ngorek ini ada hal-hal yang bersifat mistik yang tidak bisa dijangkau oleh logika kita, karena ngorek ini dilakukan dengan penuh nuansa mistik.[6]

Pengertian mistik misalnya menurutMargaret Smith mendeskripsikan mistisme; sebagai bagian terpenting dari semua agama yang benar, yang bangkit menentang formalitas beku dan ketumpulan religius, tujuan mistisme menurutnya untuk membangun hubungan sadar dengan yang absolut  dimana manusia menemukan objek cinta yang bersifat personal (personal object of love). Dalam hal mistik juga Evelyn Underhill tidak kalah penting dalam memberikan pengertian mistik. Mistik menurutnya adalah—kesatuan antara tuhan dan jiwa manusia dan pengertian lebih lanjut Underhill mengatakan jalan mistik utamanya dipahami sebagai sebuah proses sublimasi yang menuntun hubungan diri manusia dengan tuhan sampai pada tingkat yang lebih tinggi daripada hubungan yang terjadi pada kesadaran moral.[7]

Sebelum melakukan ngorek terlebih dahulu sang pengorek harus memiliki mantera atau doa-doa serta ritual yang harus dijalani, karena kebiasaan masyarakat sasak dulu—masih kuatnya dunia kepercayaan terhadap sesuatu baik itu benda dan bahkan roh-roh yang memiliki kekuatan supranatural untuk memberikan kekuatan, dan mungkin hal ini sejalan seperti apa yang telah dikatakan oleh E.B Tylor dalam konsep animismenya.[8] Dalam konsep yang lain juga E.B Tylor menyebutnya dengan dinamisme dalam bahasa yunani berasal dari kata dunamos.[9]

Menarik dalam konteks masyarakat sasak seperti apa yang dikatakan oleh E.B. Tylor di atas sama halnya dengan kepercayaan yang masih melekat dalam kehidupan masyarakat sasak—yakni kepercayaan terhadap benda-benda yang memiliki sebuah kekuatan natural tersendiri, salah satunya tradisi ngorek ini maish berlaku dan bahkan semakin berkembang di masyarakat sasak—hal ini di tandai oleh tradisi ngorek tersebut, karena ngorek ini dilakukan dengan penuh nuansa mistik maka masyarakat sasak masih senang menjaga tradisi ngorek tersebut. Ngorek seperti penulis katakana di atas bahwa—membacok diri sendiri dengan benda-benda tajam, akan tetapi sebelum membacok diri sendiri dengan benda tajam terlebih dahulu sang-pengorek harus berdoa agar tubuhnya tidak tembus oleh benda tajam tersebut. Biasanya para sesepuh atau orang tua memberikan sejenis rokok kepada sang-pengorek yang sudah diberikan mantera-mantera dan juga disuruh mengunyah buah pinang dan bahkan daun sirih yang sudah diberikan mantera-matera juga. Ketika sang-pengorek sudah menghisap rokok dan juga mengunyah  daun sirih tersebut tubuh sang-pengorek akan terasa gatal dan obatnya hanya menggunakan benda tajam untuk membacok diri dan itulah yang disebut dengan ngorek.[10]

Membacok diri sendiri yang disebut dengan ngorek yang ada di masyarakat sasak ini sekarang sudah mengakar dan  menjadi sebuah kebiasaan masyarakat sasak, khususnya di Lombok Tengah Desa Penujak dan sekitarnya, berbeda dengan desa-desa lain. Suatu hal yang membuat ngorek ini menjadi menarik yakni harus di iringi dengan musik gendang beleq atau sejenis gamelan, apabila musik gendang beleq ini sudah di tabuh maka para pemuda mengeluarkan pedangnya untuk membacok diri dan bahkan menggorok leher sendiri, akan tetapi setelah musik berenti di tabuh maka berenti pula aktifitas ngorek itu, karena ngorek ini penuh dengan nuansa mistik karena harus ada doa-doa yang harus dibaca supaya menjadi kebal dan benda-benda tajam tidak bisa melukai tubuh sang-pengorek, hal ini memang terlihat sangat menarik karena bagian dari tontonan masyarakat yang belum pernah melihat tradisi tersebut dan bahkan pula tradisi ini oleh orang menganggap bahwa ngorek ini sangat ekstrim dan bahkan menakutkan sekali karena menggunakan benda-benda tajam untuk membacok diri.

Ngorek ini kadang-kadang bisa berakibat sangat fatal bagi sang-pengorek karena walaupun sudah menggunakan doa, menghisap rokok yang sudah dikasih mantera-mantera itupun bisa membuat sang pengorek terkena oleh parangnya sendiri apabila tidak memiliki ilmu kebal yang lebih kuat. Dan yang cukup mengherankan juga ngorek ini hanya bisa dilaksanakan ketika proses nyongkolan atau iring-iringan pengantin, karena mantera-mantera dari rokok dan daun sirih yang digunakan sang-pengorek itu hanya berlaku pada momen nyongkolan itu saja, dan apabila sudah keluar dari barisan nyongkolan atau bahkan nyongkolan sudah berahir maka mantera-mantera ngorek itu berahir juga dan tidak bisa digunakan lagi.

Dari sinilah kita bisa melihat kekuatan mantera-mantera serta doa yang dipakai seseorang agar menjadi kebal ketika proses ngorek itu dilkasanakan, dan bahkan antara ngorek dan juga musik gendang belek memiliki hubungan yang kuat, seperti penulis katakan di atas bahwa ketika musik sudah mulai ditabuh maka para pemuda yang ingin ngorek lansung membacok dirinya dan menggorok lehernya. Penulis menganggap bahwa ngorek ini mulai muncul dan menjadi sebuah tradisi ketika tahun 2007-an dan ketika itu penulis baru selesai di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

Tulisan yang singkat ini berdasarkan pengalaman penulis dan terjun lansung dalam menyaksikan fenomena ngorek di tengah-tengah masyarakat sasak. Fenomena  ngorek ini sudah menjadi sebuah kebiasaan para pemuda disana. Kemunculan ngorek ini sangat menarik minat penulis untuk meneliti serta menganalisisnya, apa yang melatarbelakangi sehingga muncul fenomena ngorek ini. Asumsi sementara penulis tentang keberadaan ngorek ini muncul sebagai sebuah bentuk perlawanan kaum laki-laki terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial—dan juga kemunculan ngorek ini dipicu oleh sikap kaum laki-laki yang ingin menunjukkan kejantanan serta superioritas mereka dalam menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat sasak.
Akan tetapi fenomena ngorek ini tidak bisa dipahami tanpa merujuk pada sistem perkawinan masyarakat sasak yakni—sistem perkawinan merarik (kawin lari). Merarik kawin lari yang ada di lombok sebagai sebuah tradisi dalam menjalankan perkawinan. Antara tradisi ngorek dengan merarik ini saling terkait dan memiliki hubungan yang sangat erat—karena ngorek ini terjadi apabila ada perkawinan dalam masyarakat sasak yang berujung pada prosesi nyongkolan yang dilakukan oleh masyarakat sasak. Memang konsep merarik  memiliki keunikan tersendiri dan juga memiliki tujuan, dimana keunikan perkawinanan merarik (kawin lari) ini harus dilakukan dengan memaling[11] mencuri gadis terlebih dahulu sebagai calon istri, sedangkan tujuan dari kawin lari ini dilakukan untuk mempertahankan budaya lombok dan juga sebagai sebuah perlawanan kaum laki-laki terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial. Fenomena budaya kawin lari ini sangat menarik karena merujuk pada masyarakat yang menganut sistem perkawinan yang meyakini bahwa secara kebudayaan adalah sebuah cara yang paling disetujui oleh kaum laki-laki dalam menunjukkan superioritas dan kejantanannya sebagai respon dari dominasi politik dan ekonomi dari kekuatan-kekuatan internal dan eksternal.

Keberadaan suatu tradisi tentu memiliki penyebabnya, baik itu ekonomi, politik dan juga perubahan sosial—diantara tradisi itu adalah ngorek yang ada di masyarakat sasak Lombok Tengah. Keberadaan tradisi ngorek ini tentu bukanlah hal yang kebetulan “sunnatullah” terjadi begitu saja secara alami. Penulis menekankan keberadaan suatu tradisi di dalam masyarakat manapun pasti ada penyebabnya—terlebih lagi fenomena ngorek di Lombok, maka dari itu akan menjadi tugas kita untuk meneliti secara mendalam dan menganalisisnya secara lebih jauh guna mendapatkan pemahaman dibalik “sunnatullah”. Penulis sendiri sangat menghindari corak pemikiran “sunnatullah” karena cenderung akan terjebak dalam pemikiran apologetis—maka alangkah baiknya dibalik fenomena sunnatullah ini kita cari jawabannya agar muncul nalar ilmiah yang lebih  kritis dan sistematis.

Dalam tulisan yang singkat ini penulis ucapkan banyak terimaksih, kami tunggu comment, kritikan, sanggahan serta masukan saudara-saudara. Matur tampiasih..!!!




[1]Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Filsafat Islam (Prodi Agama dan Filsafat).
[2]Ngorek ini adalah istilah dalam bahasa sasak yang  memilki makna membacok diri dengan benda-benda tajam  sebagai bentuk perlawanan kaumlaki-laki atas dominasi politik, ekonomi dan sosial. Ngorek ini juga bertujuan menunjukkan eksistensi kaum laki-laki bahwa diri mereka perkasa, akan tetapi ngorek ini akan menuai kontroversi bahkan dapat mengakibatkan permusuhan diantara masyarakat, karena ngorek ini tidak lain hanya bertujuan untuk menunjukkan sikap superioritas serta keberanian kaum laki-laki bahwa diri mereka kebal atas benda-benda tajam.
[3]Konsep Nyongkolan ini dilakukan dengan iring-iringan menuju rumah orang tua pengantin perempuan ini para masyarakat disana semua berdandan, berhias dan juga menggunakan pakaian adat sasak untuk ikut mengiringi pengantin menuju kerumah orang tua pengantin perempuan sambil diiringi musik ciloka’ dan gamelan. Sedangkan dipihak keluarga perempuan juga akan  menyiapkan musik dan segala hal untuk menyambut datangnya pasangan pengantin untuk proses sorong serah (serah terima) pengantin yang sayah dimata sosial masyarakat dan juga hukum Islam.
[4]Gamelan dan gendang belek adalah musik tradisional suku sasak. Gendang belek ini tidak jauh berbeda dengan gamelan yang ada di budaya Bali, alat musik yang digunakan hampir semuanya sama akan tetapi yang  membedakan hanya dari segi pakaian yang digunakan oleh pemain musik.
[5]Kata sasak merujuk pada suku yang ada di pulau Lombok, sasak ini adalah nama suku asli penduduk pulau Lombok yang sering disebut dengan masyarakat suku sasak.
[6] Mistik (mysticism) adalah keyakinan dalam penyatuan dengan hakikat ilahi lewat cara-cara kontemplasi ekstatik, dan keyakinan dalam kekuatan akses spiritual menujurealitas ultimate atau wilayah pengetahuan yang terbuka bagi pemikiran sehari-hari. Lihat Simon Blackburn dalam The Oxford Dictionari of Philosophy, terj. Yudi Santoso, cet ke-I 2013, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 581.
                [7]Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Penerbit Kalam, 2001), hlm. 16.
                [8]Kata animisme berasal dari bahasa latin, anima yang berarti roh, yaitu kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup dan punya kekuatan yang ada dibalik sesuatu. Animisme adalah bentuk pemikiran paling tua yang dapat ditemukan dalam setiap sejarah umat manusia. Lihat Daniel l. Pals, Seven Theories of Religion, terj. Inyiak Ridwan Muzir, cet ke-II (Yogyakarta, IRCiSoD, 2012). 41.
                [9]Dinamisme dan di inggriskan menjadi dynamis yang dalam bahasa indonesia berarti kekuatan, kekuasaan atau khasiat. Selanjutnya kata tersebut menurut Honig dalam Ahmad Abd Syakur dinamisme diartikan dengan jenis paham dan perasaan keagamaan yang terdapat di berbagai bagian dunia, pada berjenis-jenis bangsa dan menunjukkan banyak persamaan. Baca Ahmad Abd Syakur dalam E.B. Tylor. Islam dan kebudayaan Akulturasi Nilai-Nilai Islam Dalam Budaya Sasak. (Yogyakarta, Fak Adab Press UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 19.
[10]Akibat mengkonsumsi rokok, daun sirih, atau dalam bahasa sasak pamaQ yang sudah diberikan mantera-mantera oleh sesepuh maka sang-pengorek merasakan hal yang berbeda dalam tubuh mereka, tubuh sang pengorek mulai merasakan gatal-gatal serta mereka menjadi percaya diri karena diakibatkan oleh mantera-mantera tadi. Dan untuk menghilangkan rasa gatal dalam tubuh mereka, maka sang pengorek harus membacokkan diri mereka dengan benda-benda tajam sebagai obatnya.
[11]Memaling dalam bahasa Indonesia adalah mencuri, akan tetapi memaling ini memiliki makna yang lebih sfesifik  yakni sebuah  perkawinan, pernikahan atau konsep dalam masyarakat suku sasak ketika menjalankan tradisi perkawinan, karena fenomena budaya kawin lari ini sangat menarik karena merujuk pada masyarakat yang menganut sistem perkawinan yang meyakini bahwa secara kebudayaan adalah sebuah cara yang paling disetujui karena ini termasuk dalam penjagaan  kearifan lokal (local wisdom) yang dimana kaum laki-laki dalam menunjukkan superioritas dan kejantanannya adalah sebagai respon dari dominasi politik dan ekonomi dari kekuatan-kekuatan internal dan eksternal.








Rapat Evaluasi dan Maulidan Bareng IKPM Lombok Tengah, 2015







Oleh : Muzakkir S.[1]

Mahar sebagai salah satu intstrumen yang urgen dalam ritual pernikahan di semua agama, suku, ras dan golongan, sehingga eksistensi mahar tidak bisa diabaikan apalagi disepelekan. Dalam dimensi ruang agama (red. Islam), mahar memiliki ruang fleksebelitas atau ma’ruf  yang berimplikasi pada penegasian ruang gerak atas batas dari mahar tersebut. Pada dasarnya Islam tidak memberikan standar tertentu tentang berapa nominal atau nilai dari suatu mahar, tetapi Islam menyediakan ruang yang sangat fleksibel sehingga tidak seorang pun dapat memiliki otoritas dalam penentuan mahar. Namun dengan kehadiran budaya di masyarakat, secara pasti selalu merubah dan berupaya harmonis dengan ajaran agama. Kearifan lokal selalu menjadi jurus jitu dalam mengharmoniskan hubungan agama dan budaya atau akulturasi dari keduanya menjadi amunisi dalam mengkanter wacana-wacana negatif. Bukan bermaksud tidak menghargai budaya, sebagai suatu keharusan maka budaya sudah seharusnya dijaga, dilestarikan dan patut menjadi kebanggaan. Namun bukan berarti tidak ada ruang kritik dan ruang revolusi dalam budaya tersebut.

Fenomena budaya merariq (perkawinan) di masyarakat Sasak menjadi kajian yang selalu menarik untuk diteliti, dikaji dan didiskusikan. Banyak ritual dan nilai filosofis yang melekat dalam budaya merariq tersebut. Mulai dari proses pra-nikah, proses nikah dan proses pasca nikah sarat dengan nilai budaya dan nilai agama. Mahar menjadi ritual pra-nikah yang dapat menentukan proses nikah dan pasca-nikah. Di masyarakat Sasak proses tawar menawar mahar atau negosiasi dalam penentuan nominal/nilai mahar terkesan atau bahkan sarat dengan nilai bisnis dan ekonomi. Apapun alasan dan pertimbangan dari kedua mempelai khususnya dari keluarga sang calon istri sepanjang dalam proses mbait wali dominasi pertimbangan ekonomi dan stratifikasi sosial menjadi penentuan mahar yang paling kuat. Indikasi dan wacana yang muncul di permukaan adalah orang tua merasa telah membesarkan anak gadisnya sejak kecil dan telah banyak menghabiskan dana, sebagai akibatnya muncul sikap dari orang tua untuk mendapatkan ganti rugi dari calon menantu dalam usaha membesarkan anaknya tersebut.

Fleksebilitas mahar seharusnya bebas dari intervensi dan tendensi dari semua pihak, namun yang terjadi adalah adanya intervensi dalam penentuan mahar oleh beberapa pihak dalam hal ini orang tua, tokoh adat bahkan melibatkan semua keluarga pihak perempuan. Sehingga mengganggu pemiliki otoritas mahar yang sesungguhnya yaitu calon istri. Standar mahar di masyarakat Sasak ditentukan oleh tingkat sosial dan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat sosial keluarga perempuan dan semakin tinggi tingkat pendidikan calon istri maka nilai tawar akan semakin tinggi. Sebaliknya semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan maka semakin rendah nilai ekonomis yang ditawarkan. Di sinilah ruang kritik dalam budaya merariq tersebut, bahwa sakralitas nikah yang didasarkan cinta akan bisa pudar hanya dengan nominal standar mahar. Hemat penulis, seharusnya otoritas mahar dikembalikan kepada calon istri tanpa intervensi dan tendesi dari orang tua, yang patut menjadi pertimbangan bersama mestinya adalah faktor agama calon menantu.

Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad menentukan mahar secara kasuistik dan masih abstrak. Pada satu kesempatan nabi memberikan standar mahar yang mahal, dan pada kesempatan lain standar mahar yang ditawarkan sangatlah murah. Inilah ruang yang diberikan sebagai standar penentuan mahar. Seharusnya dalam penentuan mahar orang tua mempertimbangkan asas kemampuan calon menantu, sehingga tidak menghambat pelaksanaan nikah. Jadi, mahar tidak boleh diabaikan dan diremehkan, tetapi tidak boleh memberatkan dan mengekang.



[1] Mahasiswa Pascarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan merupakan Kepala Bidang Kajian Sosial dan Budaya di Berugaq Institute. Penulisa adalah Alumni Ponpes al-Halimy Sesele, Lombok Barat.

Jumat, 06 Februari 2015

FM LOBAR dalam Arus Perubahan Sosial

Posted by Unknown On 23.32 | No comments


“Telaah Globalisasi versus Karakter Mahasiswa Sasak Lombok Barat”
Oleh: Agus Dedi Putrawan[1]
agusdediputrawan@gmail.com




Dalamdiskusi kali ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk mengurai dua kata kunci yang nantinya akan kita bedah bersama-sama sesuai dengan bidang studi masing-masing. Namun terlebih dahulu ada baiknya pembahasan ini saya mulai dari perspektif keilmuan penulis yakni apa yang orang katakan ilmu “curiga” atau sosiologi politik. Dua kata kunci yang penulis ajukan adalah “globalisasi” dan “mahasiswa Sasak” Lombok Barat. Baik, mari kita urai kata kunci pertama dengan seksama!.

Globalisasi dalam masyarakat dikenal dengan sebutan global atau mendunia, globalisasi diartikan di sini adalah proses, upaya dan usaha di mana satu idiologi yang berasal dari Eropa dan Amerika menjadi idiologi tunggal yang mempengaruhi dunia yang biasa disebut “modern” atau “modernisasi”. Contohnya; kemajuan teknologi, mobilisasi, transportasi dan telekomunikasi di Eropa dan Amerika masuk kepelosok-pelosok desa.  Orang bangga ketika sudah disebut modern dan cenderung malu jika disebut ketinggalan zaman “gawah”. Listrik, Televisi, koran, radio, handphone internet, sudah masuk keperkampungan. Orang sudah dengan gampang mendapat berita tentang sesuatu yang jauh melalui media masa. Orang sudah bias bertegur sapa meskipun jaraknya bermil-mil dengan handphone, Facebook, email, twitter, skype, dan lain sebagainya. Namun tahukah anda globalisasi atau modernisasi adalah bentuk dari benturan antarperadaban “Clash of Civilization” (Samuel Hutington), antara agama, budaya (timur) dan teknologi (science) daribarat. Tampaknya teknologi memenangkan dirinya dalam perebutan hati manusia kontemporer saat ini. Agama, dan budaya masih atau harus berfikir keras untuk mulai mendialogkan hal tersebut.

Sebenarnya jika kita telisik lebih jauh, kemajuan Eropa dan Amerika tidak lepas dari pola-pola perkembangan manusia yang menurut Ernest Gellnerdalamteori Nation and Nationalism “Masyarakat eropa sebelum renaisans mengalami masa-masa sulit, kebodohan, perbudakan, monopoli raja dan Gereja membatasi ekspresi masyarakat social pada waktu itu, peralihan dari Hunter Gather Society ke Argo Literal Society membuka gerbang perubahan menuju Industrial Society, yang kemudian orang-orang sudah tidak terikat lagi kepada raja dan gereja, selanjutnya timbul istilah secular, capitalism, modernity, nationalism, socialism, akibat dari riak-riak perjuangan masyarakat eropa. Eropa sudah sukses dengan kemodernisasiannya, sekarang mari kita tengok dunia dalam skup yang lebih kecil yakni masyarakat sasak”. (Krismono)

Gaggap Gembita abad 21 ini sebenarnya Eropa dan Amerika sudah masuk ke dalam Neo-Modern,  namun siapa bilang kita sudah di tahap ini..? Eropa dan Amerika wajar, karena mereka On the Track dalam sejarah (lihat. Max Weber, etika protestan and spirit of capitalism), Indonesia bagaimana? Lombok?. Lombok Barat? Ternyata kita adalah Negara berkembang yang masuk dalam tipe Negara Ketiga (negara-negara terjajah). Edward Said dalam bukunya orientalism mengatakan, “Negara ketiga di abad 21 adalah neo orientalism atau neo colonialism”.

Kata kunci kedua adalah. “Mahasiswa Lobar” Minimal ada dua pendekatan tokoh apabila kita ingin melihat karakter dalam suatu masyarakat. Pertama, menurut Emile Durkheim”jika ingin melihat orang (Lombok Barat) lihatlah masyarakatnya, karena masyarakatlah yang membentuk individu Lobar tersebut”. Kedua, menurut Max Weber “jika ingin melihat Masyarakat (Lombok Barat) lihatlah individu-individu-nya, karena individu-individulah yang membentuk masyarakat Lombok Barat ”. Saya akan memakai pendekatan Emile Durkheim untuk melihat karakter mahasiswa Lombok Barat, karena pendekatan Durkheim lebih mudahdi fahami dalam diskusi ini.

Durkheim menekankan bahwa tugas intelektual yang concern terhadap masyarakat adalah mempelajari apa yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta social mencakup representasi mental yang dimiliki bersama oleh individu-individu dan hubungan actual dalam pemersatuan individu-individu. Ia membayangkan fakta social sebagai kekuatan (force) dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa. (awik-awik desa, aturan adat, agama, hukum, dll). Contoh; individu dilahirkan dalam masyarakat tertentu dan dibatasi untuk bertindak menurut representasi kolektif (keluarga, masyarakat) yang berlaku dan di dalam hubungan sosial yang mapan.

Menurutnya semua tindakan individu “dibatasi” oleh factor sosial di luar dirinya. Istilah paling umum untuk “batas” ini adalah solidaritas sosial. Ada dua bentuk solidaritas. Pertama, solidaritas mekanik. Kedua, Solidaritas organik. Karakter mahasiswa lobar masuk ke mekanik atau organik di bawah akan di bedah dengan seksama.

Solidaritas mekanik dicirikan, masyarakat kesukuan “elementer”, yang diorganisasikan di seputar kesamaan, primitive dan homogenitas, sedangkan solidaritas organic dicirikan, masyarakat dengan pembagian kerja yang luas dan yang memiliki pola saling ketergantungan.

Penjelasan.
Pertumbuhan populasi di masyarakat (Lombok Barat) primitive meningkatkan perbedaan sosial, mengurangi kemungkinan solidaritas mekanis dengan melemahnya adat istiadat dan budaya tradisional yang telah menyatukan mereka. Perluasan pembagian kerja cenderung disertai oleh peningkatan egoism dan anomi, meski Dukheim melihat ini adalah sebuah fenomena tradisional.

Perbedaan sosial di seputar fungsi khusus menghasilkan saling ketergantungan yang terus meningkat dari individu dan ini menjadi dasar dari sebuah bentuk solidaritas social yang baru (solidaritas organik). Solidaritas organik ini dapat dicapai ketika sebuah pembagian kerja yang kompleks dan tingkat individualism yang tinggi digabung dengan sebuah aturan moral mengenai hubungan kontraktual.

Kesimpulan
Hal yang ditakutkan dari globalisasi adalah tergerusnya agama dan budaya lokal, lalu bagaimana komentar anda tentang Lombok Barat?

Rupanya Mahasiswa Lombok Barat sudah masuk ketahap solidaritas organik dengan pembagian jurusan dengan profesionalitas masing-masing. Namun masih sebatas fisik, dalam alam pikiran dan tindakan mereka masih bersemayam agama dan budaya Sasak dengan solidaritas mekanik-nya.[2]


[1]Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan  Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam. dan saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang "Pengembangan dan Research" Berugaq Institute Lombok.
[2] Semogabermanfaat, SekiandanTerimakasih

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this