Bertumpu pada ontologi pendidikan yaitu “apa”
yang seharusnya di ajarkan di sekolah dan Perguruan Tinggi?. Kurikulum pendidikan
mesti dapat memberikan reformasi terhadap pendidikan Indonesia. Namun demikian,
yang menjadi catatan saat ini tidak hanya “apa” yang harus di ajarkan di
sekolah, namun bagaimana pendidikan dapat memicu terjadinya perubahan dalam
masyarakat tertentu. Artinya, lembaga pendidikan bertanggung jawab atas
terciptanya SDM yang baik untuk kemajuan Daerah. Pengukuran terhadap mutu
pendidikan tidak dapat dilihat dari kuantitas belaka, tetapi prestasi kualitas
harus menjadi tujuan utama. Orientasi pendidikan tidak hanya menghasilkan para
pencari kerja atau pemburu CPNS, tapi pendidikan menciptakan komunitas kecil
dalam masyarakat yang berfikir lebih strategis dan luas dalam perspektif untuk
pembangunan dan perubahan yang lebih baik.
Lembaga pendidikan tidak harus menciptakan
masyarakat baru dengan orientasi Seeking Job, tapi harus berorientasi
pada manusia dengan tingkat kreatifitas ide-ide dan gagasan perubahan dalam
masyarakat yang berorientasi pada Creating Job. Inilah
terminologi pendidikan yang harus di implementasikan di daerah yang baru atau
daerah otonomi baru.
Yang menarik dalam perhatian saya adalah, pertama,
fenomena PNS yang dijadikan sebuah tolak ukur dari kebanyakan masyarakat
Indonesia untuk mencapai sebuah pengakuan diri akan sebuah kesuksesan karir.
Lulus CPNS sama dengan harga diri dan derajat meninggi, sehingga muncullah para
sarjana muda yang terkesan “dipaksakan” lulus dengan title yang dipaksakan
pula. Seperti contoh sederhana yang sering muncul yaitu ketika tenaga yang
dibutuhkan seperti guru, tenaga medis, tenaga professional, dan lain-lain.
Akibatnya orang beramai-ramai bahkan berebutan untuk memperebutkan
posisitersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dari orientasi pendidikan
dalam minat jurusan yang diambil mahasiswa pada Perguruan Tinggi. Dalam dunia kerja,
hal ini wajar saja terjadi. Orang akan memilih suatu pilihan jursan sesuai dengan
kesempatan dunia kerja dan profesi. Namun dalam upaya menciptkan pendidikan sebagai
kunci perubahan, orientasi pendidikan yang “sempit” itu harus menjadi perhatian
penting.
Kedua, yang menarik dari persoalan diatas adalah munculnya
disorientasi pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan sebagai olah hati, olah
rasa, dan olah raga bagi setiap lapisan masyarakat berubah menjadi semacam ruang
sempit yang berisi manusia-manusia tanpa kreatifitas dan ide-ide perubahan yang
lebih inklusif. Cara berfikir ini melahirkan perspektif yang sempit dalam masyarakt
terhadap dunia penididikan. Pendidikan dianggap hanya sebagai upaya untuk mendapat
kan kerja. Orang tua akan berupaya semaksimal mungkin untuk pendidikan anaknya asal
dapt kerja, sayangnya sang anak, pun tidak
mengerti tentang tanggung jawab pendidikan dalam masyarakat. Pendidikan hanya diliht
dari perspektif kerja.
Persoalan ini tidak saja menimbulkan disorientasi
pendidikan dalam masyarakat. Melainkan, berbahaya bagigenerasi masa depan.
Harusnya, ditanamkan dalam generasi untuk melakukan ide-ide perubahan dan pengembangan
ilmu pengtahuan sehingga menjadi manusia terdidik dengan orientasi Creating
Job.
Cara berfikir masyarakat yang demikian tidak hanya
terjadi di daerah pingggiran. Dalam masyarakat perkotaan pun hal ini sudah biasa
terjadi. Pendidikan sebagai kunci perubahan harus dapat melahirkan manusia dengan
tingkat ide, gagasan, dan kreatifitas sebagai modal pembangunan daerah. Semoga kita
dapat merealisasikannya. Amiiin.
[1] Materi diskusi
rutin Berugaq Institute 4 februari 2015, penulis adalah Dewi Satria Elmiana,
alumni Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dan sekarang sedang ‘nyambi
sebagai’ dosen POLITEKNIK PPKP Yogyakarta.