Oleh : Muzakkir S.[1]
Mahar sebagai salah
satu intstrumen yang urgen dalam ritual pernikahan di semua agama, suku, ras
dan golongan, sehingga eksistensi mahar tidak bisa diabaikan apalagi
disepelekan. Dalam dimensi ruang agama (red. Islam), mahar memiliki ruang
fleksebelitas atau ma’ruf yang
berimplikasi pada penegasian ruang gerak atas batas dari mahar tersebut. Pada
dasarnya Islam tidak memberikan standar tertentu tentang berapa nominal atau
nilai dari suatu mahar, tetapi Islam menyediakan ruang yang sangat fleksibel
sehingga tidak seorang pun dapat memiliki otoritas dalam penentuan mahar. Namun
dengan kehadiran budaya di masyarakat, secara pasti selalu merubah dan berupaya
harmonis dengan ajaran agama. Kearifan lokal selalu menjadi jurus jitu dalam
mengharmoniskan hubungan agama dan budaya atau akulturasi dari keduanya menjadi
amunisi dalam mengkanter wacana-wacana negatif. Bukan bermaksud tidak
menghargai budaya, sebagai suatu keharusan maka budaya sudah seharusnya dijaga,
dilestarikan dan patut menjadi kebanggaan. Namun bukan berarti tidak ada ruang
kritik dan ruang revolusi dalam budaya tersebut.
Fenomena budaya merariq
(perkawinan) di masyarakat Sasak menjadi kajian yang selalu menarik untuk diteliti,
dikaji dan didiskusikan. Banyak ritual dan nilai filosofis yang melekat dalam
budaya merariq tersebut. Mulai dari proses pra-nikah, proses nikah dan proses
pasca nikah sarat dengan nilai budaya dan nilai agama. Mahar menjadi ritual
pra-nikah yang dapat menentukan proses nikah dan pasca-nikah. Di masyarakat
Sasak proses tawar menawar mahar atau negosiasi dalam penentuan nominal/nilai
mahar terkesan atau bahkan sarat dengan nilai bisnis dan ekonomi. Apapun
alasan dan pertimbangan dari kedua mempelai khususnya dari keluarga sang calon istri
sepanjang dalam proses mbait wali dominasi pertimbangan ekonomi dan
stratifikasi sosial menjadi penentuan mahar yang paling kuat. Indikasi dan
wacana yang muncul di permukaan adalah orang tua merasa telah membesarkan anak
gadisnya sejak kecil dan telah banyak menghabiskan dana, sebagai akibatnya
muncul sikap dari orang tua untuk mendapatkan ganti rugi dari calon menantu
dalam usaha membesarkan anaknya tersebut.
Fleksebilitas mahar
seharusnya bebas dari intervensi dan tendensi dari semua pihak, namun yang
terjadi adalah adanya intervensi dalam penentuan mahar oleh beberapa pihak
dalam hal ini orang tua, tokoh adat bahkan melibatkan semua keluarga pihak
perempuan. Sehingga mengganggu pemiliki otoritas mahar yang sesungguhnya
yaitu calon istri. Standar mahar di masyarakat Sasak ditentukan oleh tingkat
sosial dan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat sosial keluarga perempuan
dan semakin tinggi tingkat pendidikan calon istri maka nilai tawar akan semakin
tinggi. Sebaliknya semakin rendah tingkat sosial dan tingkat pendidikan maka
semakin rendah nilai ekonomis yang ditawarkan. Di sinilah ruang kritik dalam
budaya merariq tersebut, bahwa sakralitas nikah yang didasarkan cinta akan bisa
pudar hanya dengan nominal standar mahar. Hemat penulis, seharusnya otoritas
mahar dikembalikan kepada calon istri tanpa intervensi dan tendesi dari orang
tua, yang patut menjadi pertimbangan bersama mestinya adalah faktor agama
calon menantu.
Dalam ajaran Islam,
Nabi Muhammad menentukan mahar secara kasuistik dan masih abstrak. Pada satu
kesempatan nabi memberikan standar mahar yang mahal, dan pada kesempatan lain
standar mahar yang ditawarkan sangatlah murah. Inilah ruang yang diberikan
sebagai standar penentuan mahar. Seharusnya dalam penentuan mahar orang tua
mempertimbangkan asas kemampuan calon menantu, sehingga tidak menghambat
pelaksanaan nikah. Jadi, mahar tidak boleh diabaikan dan diremehkan, tetapi
tidak boleh memberatkan dan mengekang.
[1]
Mahasiswa Pascarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan merupakan Kepala Bidang
Kajian Sosial dan Budaya di Berugaq Institute. Penulisa adalah Alumni Ponpes al-Halimy
Sesele, Lombok Barat.