Senin, 26 Januari 2015
Etika Kultural Masyarakat Sasak
Posted by Unknown
On 20.47
| 1 comment
Oleh. Ishak Hariyanto
Begitu
kompleksnya kultural masyarakat sangat, namun karena adanya kompleksitivitas
ini maka kita memiliki ruang gerak untuk melihat sasak dari berbagai macam
ragam serta sudut pandang pengetahuan. Dalam hal ini penulis ingin melihat
sasak dalam sudut pandang “filsafat etika”. Etika kultural masyarakat sasak
sebenarnya telah lama mengendap dalam tubuh masyarakat sasak yang kadang tidak
kita sadari, diantara etika kultural masyarakat sasak tersebut adalah—konsep kebersamaan,
kebahasaan, keramah tamahan, membantu satu sama lain, kekeluargaan, kepedulian.
Semua konsep etika ini sangat kuat dalam tradisi masyarakat pada tahun (80-2000).
Nuansa kultural masyarakat sasak seperti ini bagi penulis masih sangat alami
dan memiliki nuansa yang penuh dengan ketenangan. Tulisan yang singkat ini
tentunya tidak bisa mengcover secara keseluruhan etika kultural masyarakat
sasak, akan tetapi paling tidak ada beberapa yang cukup representatif yang
dianggap penting untuk diklarifikasi.
Etika kultural
masyarakat sasak yang dimaksud disini adalah aturan-aturan, awik-awik desa,
local wisdom yang terdapat dalam masyarakat sasak. Konsep etika yang terdapat
dalam masyarakat sasak ini sebenarnya adalah suatu hal yang menarik untuk kita
gali secara secara mendalam karena memilki makna secara filosofis. Dan tentunya
etika yang terdapat dalam tubuh masyarakat sasak ini sebenarnya sebagai dari
identitas, kekuatan positif serta jati diri masyarakat sasak ketika
bersinggungan dan bahkan bertemu dengan entitas kultural masyarakat lain di
luar sasak. Konsep-konsep etika kultural dalam masyarakat sasak yang mampu
penulis angkat dalam hal ini adalah—etika kebersamaan, kebahasaan, keramah
tamahan, membantu satu sama lain, dan etika kepedulian. Semua konsep ini ketika
melebur dan bertemu dengan entitas lain di luar sasak; menjadi sesuatu yang tidak berharga lagi dan
bahkan redup dimakan oleh zaman dan kita tidak mampu menyadarinya bahwa konsep-konsep
tersebut telah hilang. Etika kultural masyarakat sasak tersebut jangan dimaknai
secara normatif, akan tetapi harus dimaknai dengan konteks hidup kita di era
millenium ketiga ini—dan terlebih lagi, kita tarik dalam sebuah kajian yang
membutuhkan pemaknaan kembali dengan konteks kekinian kita sebagai
identitas sasak.
Identitas
sasak ini yang menurut penulis tidak lagi muncul dalam kultural masyarakat
sasak, nuansa etik yang dulu kental sebagai identitas sasak, maka pada saat ini
redup dimakan oleh zaman. Keberadaan nuansa etika ini bagi penulis hanya
terdapat di desa-desa atau di perkampungan, akan tetapi kalau dalam konteks
perkotaan konsep etika kultural ini sudah lama redup dan menghilang. Memang globalisasi
berpengaruh besar terhadap (world view) masyarakat sasak, sehingga berdampak
pada robohnya sendi-sendi kultural yang dari “etika positif menuju etika
keredupan”. Meskipun arus global telah merubah ragam kehidupan masyarakat sasak
akan tetapi paling tidak kita pernah merasakan atmosper etika kultural yang
masih alami seperti ini.
Tujuan
dari tulisan yang singkat ini sebenarnya untuk mendeskripsikan etika yang
terdapat dalam kultural masyarakat sasak yang telah lama redup, dan bahkan hampir
menghilang. Etika kultural tersebut adalah kebersamaan, kebahasaan, keramah
tamahan, membantu satu sama lain dan kepedulian. Konsep etika tersebut yang
penulis namakan etika kultural masyarakat sasak yang alami dan telah meredup. Memang
sejauh analisis penulis akibat meredupnya etika kultural masyarakat tersebut
adalah akibat dari pengaruh zaman yang berbeda, materialisme dan individualisme.
Akan tetapi pengaruh-pengaruh ini jangan dimaknai sebagai suatu akibat yang
negatif semata, akan tetapi malah berakibat yang positif yakni pada tataran
kedewasaan dalam menjalani kehidupan, persaingan membangun kekayaan, pendidikan
dan aspek-aspek sosial lainnya.
Sejauh analisis
penulis 5-10 Tahun kedepan masyarakat sasak tidak lagi memilki konsep etika sebagai
identitas masyarakat sasak. Semakin suatu desa berbenturan dengan peradaban
modern dan berubah menjadi perkotaan maka akan
mengakibatkan menghilangnya konsep etika masyarakat yang penulis
sebutkan di atas, dan bahkan akan semakin menggrogoti nilai-nilai etik
masyarakat sasak. Oleh karena itu kita harus jeli dalam melihat suatu
perubahan, dan menganalisisnya, kita tidak bisa hanya sebatas beranggapan,
bahwa perubahan itu suatu yang “sunnatullah”, anggapan yang “sunnatullah”
ini-lah yang akan membuat nalar analisis kita sebagai seorang akademisi
meredup, sehingga rasionalitas kita menjadi terkungkung dalam konsep
sunnatullah semata.
Perubahan
yang terjadi dalam pola pikir masyarakat sasak tentu saja akibat perubahan
zaman, materialisme, individualisme. Untuk
mengembalikan etika kultural masyarakat sasak tersebut memang agak sulit, karena
struktur masyarakat serta etika kehidupan masyarakat telah berbeda. Meskipun
sulit bukan berarti tidak mungkin—karena
untuk mengembalikan nuansa etika kultural tersebut dibutuhkan kesadaran
dalam diri kita serta diluar kita sebagai bagian dari struktur masyarakat
sasak. Andaikan dalam tulisan ini dituntut untuk mencari problem solving—tentu saja dibutuhkan kajian yang lebih serius dan
mendalam untuk mencari jawabannya dan bahkan perlu untuk didiskusikan dalam
forum-forum keilmuan guna membangun etika kultural masyarkat sasak yang lebih
dinamis dengan konteks zaman.
Langganan:
Postingan (Atom)