Oleh:
Agus Dedi Putrawan
Nusa
Tenggara Barat (NTB) di kenal dengan dua pulau kecilnya yaitu pulau Sumbawa dan
pulau Lombok. Di pulau Sumbawa terkenal kekayaan dengan alamnya berupa tambang
emasnya yang dikelola oleh Newmoont sedangkan di pulau Lombok sendiri terkenal
dengan sebuatan pulau seribu masjid, pulau lombok sendiri sekitar 80% lebih penduduk
pulau ini adalah suku Sasak, sebuah suku bangsa yang masih dekat dengan suku
bangsa Bali. Selain itu telah banyak berdiri pondok pesantren, hal tersebut
antara lain dikarenakan selain mayoritas penduduk provinsi itu beragama Islam juga
terdapat para ulama/kyai yang biasa di sebut “Tuan Guru” yang berperan aktif dalam dakwah Islamiyah khususnya di
pulau Lombok.
Tuan
guru
di Lombok telah menjadi orang yang paling berpengaruh dan telah menujukkan
eksistensinya dalam masyarakat sejak abad ke 19. Tuan Guru adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki pengetahuan
agama yang tinggi yang diberikan label
Tuan Guru oleh masyarakat sebagai wujud dari pengakuan mereka terhadap
kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang. Pada umumnya mereka diberikan
gelar Tuan Guru karena pernah belajar di timur tengah
(belajar pada ulama-ulama terkenal) atau minimal pernah berhaji, memiliki
jama’ah pengajian (pengajar Majlis Ta’lim
di beberapa tempat), atau pondok pesantren dan memiliki latar belakang hubungan
dengan orang yang berpengaruh, atau boleh jadi karena orang tuanya adalah tuan
guru.
Kharisma dan status sosial Tuan Guru semakin meningkat seiring dengan bertambahluasnya wilayah
dakwah dan semakin banyaknya pengikut Tuan
Guru. Dalam kurun waktu dari abad ke-18 sampai dengan sekarang, telah terjadi
perubahan struktur sosial dalam masyarakat sasak. Sebelumnya terdapat empat
golongan struktur sosial, secara berurutan adalah 1). golongan raja dan
keluarga raja, termasuk di dalamnya keturunan-keturunannya. 2). Golongan nigrat atau raden. 3). Golongan pruangse,
orang kebanyakan. 4). Golongan jajar karang (budak). Saat ini struktur sosial pada
masyarakat sasak meliputi 1). Tuan guru,
tokoh agama (ulama). 2). Tuan haji, mereka orang kebanyakan yang terdiri dari
mereka yang mampu secara finansial (orang kaya, pemilik modal, para bangsawan,
pegawai negeri atau yang sederajat dengannya). 3). Non haji, mereka yang secara
finansial berada di bawah
Kata Tuan Guru
dalam bahasa sasak memiliki dua makna
yakni; Tuan yang artinya
orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, kemudian Guru adalah seorang pengajar atau di wilayah pesantren dikenal
dengan istilah Ustadz.[1]
Tidak semua orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji kemudian dia seorang
pengajar/ustadz di sebut Tuan Guru
namun ada kriteria khusus yang melekat dari dirinya ada pengakuan dari
masyarakat. Tuan Guru, adalah orang
yang oleh masyarakat dianggap sebagai orang yang alim.[2]
Sementara Nurcholis Madjid, memberi
pengertian kiai dalam pandangan masyarakat secara umum dianggap sebagai orang
yang mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu keagamaan bila dibandingkan dengan
orang lain pada umumnya.[3]
Namun dalam perkembangannya, nama Tuan Guru kini dianggap meredup oleh sebagian
masyarakat di pulau Lombok bahwa kharismatiknya terkotori karena terjun ke dunia
perburuan kekuasaan yakni politik.
Kata politik, dijelaskan Abdul Mu’in Salim
dalam buku Fiqih Siyāsah, berasal dari bahasa latin politicus, dan bahasa Yunani (greek),
politicus yang berarti relating to a citizen. Kedua kata ini,
berasal dari kata polis yang bermakna city. Politik kemudian
diserap dalam bahasa Indonesia dengan
tiga arti, yaitu;
(1)
segala yang berkaitan dengan tindakan, kebijaksanaan, siyāsah, dsb, (2)
mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau
kelicikan, (3) dipergunakan sebagai nama bagi semua disiplin ilmu pengetahuan,
yaitu ilmu politik[4]
Hal di atas dimanfaatkan sebagai lahan subur
perpolitikan untuk meraup suara suatu partai politik baik pemilihan Gubernur maupun
pemilihan Bupati dengan embel-embel memberikan sumbangan kepada pondok
pesantren dan tak jarang bahkan juga Tuan
Guru ikut dalam politik praktis. Yang menjadi pertimbangan adalah dengan
menduduki suatu kepemimpinan maka Syi’ar
agama/dakwah akan semakin mudah dan di permudah, baik dakwah bil lisan maupun dakwah
bil hal (dakwah dengan kata-kata,
dakwah dengan tindakan dan materi). Namun
dalam realitanya di masyarakat hal itu tampak terbalik dan dalam kompetisi
perebutan kekuasaan Tuan Guru A misalnya
mengusung bendera putih sedangkan Tuan
Guru B mengusung bendera merah begitu pula halnya dengan Tuan Guru-Tuan Guru yang lain mendukung
bendera masing-masing.
Tuan Guru dalam kancah politik, setelah
terjadinya reformasi politik atau pada masa pasca Orde Baru. Karena pada masa
Orde Baru Tuan Guru hanya dijadikan
sebagai juru kampaye atau sebagai lumbung suara pada hajatan lima tahunan. Pada
tingkatan legislatif maupun eksekutif pun Tuan
Guru tidak memiliki peran apa-apa. Post-post tersebut diisi oleh para kaum Menak[5].
Tanpa memperoleh jabatan apapun Tuan Guru
hanya sebagai legitimasi pada tataran keagamaan. Munculnya reformasi politik
pada pasca Orde Baru, memberikan ruang kepada Tuan Guru untuk terjun di dunia politik. Pada pasca Orde Baru (masa
Reformasi) ini kemudian memberikan dinamika baru dalam politik masyarakat Sasak
dan juga bangkitnya politik Islam, yang diwakili oleh para Tuan Guru. Pencalonan Tuan Guru “Bajang” pada Pilkada 2008 di Nusa
Tenggara Barat memberikan bukti bahwa tokoh agama tidak hanya sebagai pemimpin
keagamaan, melainkan juga dapat memimpin pemerintahan. Dalam pencalonan Tuan
Guru “Bajang” ini juga memberikan warna pada dinamika politik pada masyarakat
Sasak yang sebelumnya selalu dikuasai oleh golongan Menak. Kemenangan Tuan Guru Bajang ini bukan hanya dikarenakan
faktor ketokohan yang dimilikinya, melainkan juga memiliki modal sosial yang
cukup, memiliki masa yang jelas dan momentum yang tetap. Karena dari semua
calon yang ada memiliki keterlibatan korupsi. Sehingga Tuan Guru Bajang adalah calon alternatif yang paling bersih dari
calon-calon yang ada. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010, yang dilakukan di
Lombok Timur. Yaitu tentang pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah kemudian bergeser pada
pasca Orde Baru menjadi politisi.
Meminjam jargon Cak Nur “Islam Yes, Partai Islam No”
membuktikan bahwa kehormatan Tuan Guru
bisa saja di injak-injak oleh umat dikarenakan partai/calon yang mereka usung
tidak sesuai dengan arah yang diingin kan rakyat/umat. Hal di atas akan menjadi tolak ukur bagaimana
dan ke mana dakwah keislaman akan dibawa. Pondok pesantren sering kali menjadi rebutan partai politik
dan para kandidat, keterlibatan Tuan Guru
dan kiprahnya dalam bidang politik memang cukup fenomenal untuk di angkat ke permukaan
serta eksistensi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang “kadang –
kadang” dimanfaatkan oleh pengasuhnya (Tuan
Guru) untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Dalam konteks politik, Tuan Guru dapat mendatangkan suara dalam
jumlah besar, tokoh kharismatik akan selalu menjadi incaran team sukses atau partai
politik, Tuan Guru diharapkan akan
mengkristalisasikan pengaruhnya pada persepsi politik masyarakat. Maka berbagai
pola pendekatan yang dilakukan aktor politik (termasuk tim sukses) untuk
memperoleh dukungan dari Tuan Guru yang
merupakan manifestasi dari keinginan mereka untuk mengambil pengaruh untuk
memenangkan calon yang di jagokan.[6]
Dikhawatirkan dalam perjalanannya akan terjadi apa yang
disebut “abused of power” yaitu penyelewengan kekuasaan dan bisa dibayangkan
apabila seorang tokoh agama sebagai publik
figur melakukan kesalahan yang otomatis akan membuat efek yang besar bagi citra agama yang ia emban. Maka tidak salah
apa yang di risaukan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan jargonnya yang kontroversial yaitu “Islam yes, partai Islam no” terbukti apa yang di alami partai PKS adalah buah kekhawatiran
Cak Nur sendiri meskipun pada masanya menuai misundertanding di kalangan para ulama.
"tulisan ini diambil dari tulisan penulis yang beberapa waktu telah di published di laman kompasiana" http://politik.kompasiana.com/2014/11/22/tuan-guru-sebagai-alat-kampanye-refleksi-dari-buruknya-politik-kampanye-di-indonesia-692928.html
[2] M. Cholil
Bisri, Ketika Nurani Bicara, (Remaja Rosda karya: 2000)., hlm 85
[3] Nurcholis
Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta:Paramadina, 2002)., hlm. 96.
[4] Abdul Mu’in
Salim, Fiqih Siyāsah: konsepsi kekuasaan politik dalam al-qur’an.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994)., cet ke-I. hlm. 34.
[5] Sebutan untuk tingkatan Kasta
bangsawan dalam suku sasak