Sabtu, 22 November 2014


Oleh: Agus Dedi Putrawan
Nusa Tenggara Barat (NTB) di kenal dengan dua pulau kecilnya yaitu pulau Sumbawa dan pulau Lombok. Di pulau Sumbawa terkenal kekayaan dengan alamnya berupa tambang emasnya yang dikelola oleh Newmoont sedangkan di pulau Lombok sendiri terkenal dengan sebuatan pulau seribu masjid, pulau lombok sendiri sekitar 80% lebih penduduk pulau ini adalah suku Sasak, sebuah suku bangsa yang masih dekat dengan suku bangsa Bali. Selain itu telah banyak berdiri pondok pesantren, hal tersebut antara lain dikarenakan selain mayoritas penduduk provinsi itu beragama Islam juga terdapat para ulama/kyai yang biasa di sebut “Tuan Guru” yang berperan aktif dalam dakwah Islamiyah khususnya di pulau Lombok.
Tuan guru di Lombok telah menjadi orang yang paling berpengaruh dan telah menujukkan eksistensinya dalam masyarakat sejak abad ke 19. Tuan Guru adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi yang diberikan label Tuan Guru oleh masyarakat sebagai wujud dari pengakuan mereka terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki seseorang. Pada umumnya mereka diberikan gelar Tuan Guru  karena pernah belajar di timur tengah (belajar pada ulama-ulama terkenal) atau minimal pernah berhaji, memiliki jama’ah pengajian (pengajar Majlis Ta’lim di beberapa tempat), atau pondok pesantren dan memiliki latar belakang hubungan dengan orang yang berpengaruh, atau boleh jadi karena orang tuanya adalah tuan guru.
Kharisma dan status sosial Tuan Guru semakin meningkat seiring dengan bertambahluasnya wilayah dakwah dan semakin banyaknya pengikut Tuan Guru. Dalam kurun waktu dari abad ke-18 sampai dengan sekarang, telah terjadi perubahan struktur sosial dalam masyarakat sasak. Sebelumnya terdapat empat golongan struktur sosial, secara berurutan adalah 1). golongan raja dan keluarga raja, termasuk di dalamnya keturunan-keturunannya. 2). Golongan nigrat atau raden. 3). Golongan pruangse, orang kebanyakan. 4). Golongan  jajar karang  (budak). Saat ini struktur sosial pada masyarakat sasak meliputi 1). Tuan guru, tokoh agama (ulama). 2). Tuan haji,  mereka orang kebanyakan yang terdiri dari mereka yang mampu secara finansial (orang kaya, pemilik modal, para bangsawan, pegawai negeri atau yang sederajat dengannya). 3). Non haji, mereka yang secara finansial berada di bawah
Kata Tuan Guru dalam bahasa sasak memiliki dua makna  yakni; Tuan yang artinya orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, kemudian Guru adalah seorang pengajar atau di wilayah pesantren dikenal dengan istilah Ustadz.[1] Tidak semua orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji kemudian dia seorang pengajar/ustadz di sebut Tuan Guru namun ada kriteria khusus yang melekat dari dirinya ada pengakuan dari masyarakat. Tuan Guru, adalah orang yang oleh masyarakat dianggap sebagai orang yang alim.[2]  Sementara Nurcholis Madjid, memberi pengertian kiai dalam pandangan masyarakat secara umum dianggap sebagai orang yang mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu keagamaan bila dibandingkan dengan orang lain pada umumnya.[3]
Namun dalam perkembangannya, nama Tuan Guru kini dianggap meredup oleh sebagian masyarakat di pulau Lombok bahwa kharismatiknya terkotori karena terjun ke dunia perburuan kekuasaan yakni politik.
Kata politik, dijelaskan Abdul Mu’in Salim dalam buku Fiqih Siyāsah, berasal dari bahasa  latin politicus, dan bahasa Yunani (greek), politicus yang berarti relating to a citizen. Kedua kata ini, berasal dari kata polis yang bermakna city. Politik kemudian diserap dalam  bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu;
(1) segala yang berkaitan dengan tindakan, kebijaksanaan, siyāsah, dsb, (2) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, (3) dipergunakan sebagai nama bagi semua disiplin ilmu pengetahuan, yaitu ilmu politik[4]
Hal di atas dimanfaatkan sebagai lahan subur perpolitikan untuk meraup suara suatu partai politik baik pemilihan Gubernur maupun pemilihan Bupati dengan embel-embel memberikan sumbangan kepada pondok pesantren dan tak jarang bahkan juga Tuan Guru ikut dalam politik praktis. Yang menjadi pertimbangan adalah dengan menduduki suatu kepemimpinan maka Syi’ar agama/dakwah akan semakin mudah dan di permudah, baik dakwah bil lisan maupun dakwah bil hal (dakwah dengan kata-kata, dakwah dengan tindakan dan materi).  Namun dalam realitanya di masyarakat hal itu tampak terbalik dan dalam kompetisi perebutan kekuasaan Tuan Guru A misalnya mengusung bendera putih sedangkan Tuan Guru B mengusung bendera merah begitu pula halnya dengan Tuan Guru-Tuan Guru yang lain mendukung bendera masing-masing.
Tuan Guru dalam kancah politik, setelah terjadinya reformasi politik atau pada masa pasca Orde Baru. Karena pada masa Orde Baru Tuan Guru hanya dijadikan sebagai juru kampaye atau sebagai lumbung suara pada hajatan lima tahunan. Pada tingkatan legislatif maupun eksekutif pun Tuan Guru tidak memiliki peran apa-apa. Post-post tersebut diisi oleh para kaum Menak[5]. Tanpa memperoleh jabatan apapun Tuan Guru hanya sebagai legitimasi pada tataran keagamaan. Munculnya reformasi politik pada pasca Orde Baru, memberikan ruang kepada Tuan Guru untuk terjun di dunia politik. Pada pasca Orde Baru (masa Reformasi) ini kemudian memberikan dinamika baru dalam politik masyarakat Sasak dan juga bangkitnya politik Islam, yang diwakili oleh para Tuan Guru. Pencalonan Tuan Guru “Bajang” pada Pilkada 2008 di Nusa Tenggara Barat memberikan bukti bahwa tokoh agama tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, melainkan juga dapat memimpin pemerintahan. Dalam pencalonan Tuan Guru “Bajang” ini juga memberikan warna pada dinamika politik pada masyarakat Sasak yang sebelumnya selalu dikuasai oleh golongan Menak. Kemenangan Tuan Guru Bajang ini bukan hanya dikarenakan faktor ketokohan yang dimilikinya, melainkan juga memiliki modal sosial yang cukup, memiliki masa yang jelas dan momentum yang tetap. Karena dari semua calon yang ada memiliki keterlibatan korupsi. Sehingga Tuan Guru Bajang adalah calon alternatif yang paling bersih dari calon-calon yang ada. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010, yang dilakukan di Lombok Timur. Yaitu tentang pergeseran peran Tuan Guru yang dulunya sebagai pendakwah kemudian bergeser pada pasca Orde Baru menjadi politisi.
Meminjam jargon Cak Nur “Islam Yes, Partai Islam No” membuktikan bahwa kehormatan Tuan Guru bisa saja di injak-injak oleh umat dikarenakan partai/calon yang mereka usung tidak sesuai dengan arah yang diingin kan rakyat/umat.  Hal di atas akan menjadi tolak ukur bagaimana dan ke mana dakwah keislaman akan dibawa. Pondok pesantren sering kali menjadi rebutan partai politik dan para kandidat, keterlibatan Tuan Guru dan kiprahnya dalam bidang politik memang cukup fenomenal untuk di angkat ke permukaan serta eksistensi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang “kadang – kadang” dimanfaatkan oleh pengasuhnya (Tuan Guru) untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Dalam konteks politik, Tuan Guru dapat mendatangkan suara dalam jumlah besar, tokoh kharismatik akan selalu menjadi incaran team sukses atau partai politik, Tuan Guru diharapkan akan mengkristalisasikan pengaruhnya pada persepsi politik masyarakat. Maka berbagai pola pendekatan yang dilakukan aktor politik (termasuk tim sukses) untuk memperoleh dukungan dari Tuan Guru yang merupakan manifestasi dari keinginan mereka untuk mengambil pengaruh untuk memenangkan calon yang di jagokan.[6]
Dikhawatirkan dalam perjalanannya akan terjadi apa yang disebut “abused of power” yaitu penyelewengan kekuasaan dan bisa dibayangkan apabila seorang tokoh agama sebagai publik figur melakukan kesalahan yang otomatis akan membuat efek yang besar bagi citra agama yang ia emban. Maka tidak salah apa yang di risaukan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) dengan jargonnya yang kontroversial yaitu “Islam yes, partai Islam no” terbukti apa yang di alami partai PKS adalah buah kekhawatiran Cak Nur sendiri meskipun pada masanya menuai misundertanding di kalangan para ulama.


"tulisan ini diambil dari tulisan penulis yang beberapa waktu telah di published di laman kompasiana" http://politik.kompasiana.com/2014/11/22/tuan-guru-sebagai-alat-kampanye-refleksi-dari-buruknya-politik-kampanye-di-indonesia-692928.html


[2] M. Cholil Bisri, Ketika Nurani Bicara, (Remaja Rosda karya: 2000)., hlm 85
[3] Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta:Paramadina, 2002)., hlm. 96.
[4] Abdul Mu’in Salim, Fiqih Siyāsah: konsepsi kekuasaan politik dalam al-qur’an. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994)., cet ke-I. hlm. 34.
[5] Sebutan untuk tingkatan Kasta bangsawan dalam suku sasak

Rabu, 19 November 2014

Agus Dedi Putrawan

Posted by Unknown On 09.12 | No comments


Curriculum vite

Nama                           : Agus Dedi Putrawan
Tempat &
Tanggal Lahir              : Lembar , 17 Agustus, 1989
Alamat                        : Gunung Gundil, Jembatan Kembar , Lembar
Kota                            : Mataram
Jenis Kelamin              : Laki-Laki
Alamat Email              : agusdediputrawan@gmail.com
Hobby                        :  Membaca, Travel
Pengalaman Kerja:
-          On The Job Training Di Hotel Lombok Garden Mataram  Dibagian Laundry. Juli – Agustus 2009.
-          On The Job Training Di Hotel Puri Saron Senggigi – NTB   Dibagian Food Product and Weiter . Agustus – September 2009.
Study :
-          SD  di SD 2 Jembatan Kembar, SMP di  SMP 1 Lembar , SMA di SMA 1 Lembar
-          Kuliah D1 Pariwisata di BIMANTARA EDUCATION CENTER , Jurusan Menejemen Perhotelan dan Pariwisata.-2008-2009
-          Melanjutkan Kuliah di  IAIN MATARAM. Fakultas Dakwah, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.
-          Uin Sunan Kalijaga, Hukum Islam jurusan Study Politik dan Pemerintahan dalam Islam
Pengalaman Organisasi :
-          GUGUN Fc. Persatuan Sepak Bola Gunung Gundil. Sejak SD  Sampai Sekarang
-          Karang Taruna, Organisasi Remaja Masjid  
-          Organisasi Pecinta Alam MAPALA (Extrakulikular SMA)
-          Gerakan Pramuka ( Dari SMP Sampai SMA) Saka Bayang Kara.  Pengerek Bendera Ketika Jambore  Di Giri Menang
-          Kopma IAIN ( koprasi mahasiswa) 2009.
-          ESC ( English study club ) 2010 sampai sekarang
-          PMII ( Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Rayon Al Ghazali. Ketua Bidang Media dan Informasi- Organisasi Ekstra Kampus
-          FM Lobar ( Forum Mahasiswa Lombok Barat) Sebagai Anggota – Ekstra Kampus
-          BEM ( Badan Esksekutif Mahasiswa) Sebagai Anggota-Intra Kampus-2009 -1010
-          HMJ ( Himpunan Mahasiswa Jurusan ) Sebagai Ketua Umum- 2011 –2012.
-          IKMP (ikatan keluarga pasca sarjana) UIN Suka, sebagai Ketua bidang Olahraga 2013-2014.
-          Berugaq Institute, Organisasi yang Bergelut dalam Bidang Sosial. 2013-2014.


Senin, 17 November 2014




“Konstruksi Sosial Perempuan Sasak: Membangun Peran Perempuan dalam Mewujudkan Era Ke-emas-an Kaum Perempuan Sasak”

Dalam diskusi yang kelima ini tentang konstruksi sosial perempuan sasak, agus dedi putrawan sebagai moderator mengawali diskusi dengan menitikberatkan pada pembahasan yang lebih mengena, tajam dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai wacana yang dapat memberikan gambaran kepada perempuan sasak tentang peran mereka sebagai perempuan seutuhnya, dengan harapan para pemateri dan peserta diskusi dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap era emas perempuan sasak dimasa mendatang.

Adanya sebuah budaya patriarki dikalangan masyarakat sasak telah mengisolasi peran perempuan sasak itu sendiri, budaya patriarki yang lebih mengutamakan kekuasaan kaum laki-laki menjadikan perempuan tidak memiliki peran sama sekali, bahkan sebagian besar kaum perempuan bertugas hanya pada tataran “kasur, dapur dan sumur”. Keadaan ini tentu saja menjasi sebuah dilema ketika perempuan harus terkukung oleh budaya patriarki, yang mana perempuan seharusnya dapat mengekspresikan kemampuannya demi kekuatan dan kesejahteraan keluarga, akan tetapi kaum laki-laki masih memiliki keegoisan dalam memberikan kebebesan tersebut.

Rohany Inta Dewi sebagai Narasumber sekaligus sebagai pengurus Berugaq Institute mewacanakan akan pentingnya kesadaran bersama antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, kesadaran ini akan berdampak pada bebasnya setiap peran yang ada untuk diaplikasikan. Namun, dewasa ini, masyarakat masih tidak bisa membedakan antara gender dengan seks, sehingga terjadi kesalahan pemaknaan akan hal tersebut. Suhirman sebagai narasumber kedua lebih menjelaskan bagaimana kondisi kaum perempuan pada masa lalu, mulai dari peradaban yunani, romawi, china. Di mana kaum pada masa peradaban tersebut kaum perempuan tidak memiliki harga diri sama sekali, bahkan kaum laki-laki berhak menjual kaum perempuan sesuka hati mereka. Begitu juga pada zaman jahiliyah, Akan tetapi, ketika Al-Qur’an diturunkan, kaum perempuan dapat menghirup udara segar. Dan untuk lebih jelasnya, pembaca bisa melihat hasil tulisan Rohany Inta Dewi (KSPS: Konservatif Vs Kontemporer), dan Suhirman Jayadi (KSPS: Al-Qur’an Menyapa Perempuan Sasak)

Dari dua pemateri, audience merespon bahwa menarik sekali ketika membahas tentang perempuan bahkan sangat seksi, apalagi membahas tentang perempuan sasak. Hal ini terlontarkan oleh saudara irawan dan mempertanyakan bagaimana peran perempuan sasak dewasa ini? Serta perlu kita pahami sejarah atau latar belakang munculnya konstruksi-konstruksi sosial perempuan sasak itu sendiri? Guna mengkaji dan menemukan benang merah akan permasalahan kaum perempuan. Selain itu stigma yang muncul terhadap kaum perempuan menjadi salah satu konstruksi yang buruk bagi kaum perempuan, di mana kaum perempuan (dedare sasak) tidak boleh keluar rumah untuk menghindari pandangan-pandangan negatif dari masyarakat sasak itu sendiri, karena selain banyak terjadi kecelakaan pernikahan akibat hamil duluan, perempuan sasak dewasa ini juga tidak terlalu bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Kelalaian-kelalaian yang dilakukan berdampak pada pernikahan dini, padahal mereka juga memiliki tanggungjawab terhadap perubahan Lombok dan arah emas kaum perempuan kedepan itu sendiri. Kata Muhamad Hatim.



Dari sisi lain, pandangan kaum perempuan yang minim terhadap peran, baik dalam tataran keluarga maupun masyarakat diungkapkan oleh saudari Mustiani, perempuan sasak khususnya dewasa ini tidak memiliki peran sama sekali, peran dalam membangun karakter perempuan dari setiap stakeholder masyrakat seakan-akan tersembunyi, bahkaan tidak terdeteksi, sehingga ketika Berugaq Institute berbicara masalah kaum perempuan tidak hanya dalam ruang diskusi namun harus diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi nyata dilapangan. Berbeda dengan saudara Fahrurrasyid yang lebih melihat kepada sisi-sisi negatif tentang mas kawin, pandangan masyarakat yang lebih melihat sebagai harga perempuan merupakan sebuah kekerasan simbolik terhadap perempuan itu sendiri. Perempuan seakan-akan dijual dan tidak memiliki peran setelah menjadi “istri”. Hal ini dikarenakan perempuan harus terikat dengan harga yang sudah dinegosiasikan kedua belah pihak, dan suami berhak mengatur kehidupan kaum perempuan ketika negosiasi menjadi sebuah konplik tersembunyi. Dimana konflik tersembunyi merupakan hasil dari rasa kecewa pihak laki-laki terhadap harga yang terlalu mahal, dan dibayar dengan keterpaksaan, bahkan ketika tidak menerima negosiasi tersembut, itu akan menjadi sebuah beban moral dihadapan masyarakat.

Kehawatiran lain dari konstruksi sosial perempuan sasak dewasa ini adalah tentang masih terjadinya pernikahan dini yang berdampak pada meningkatnya jumlah janda. Wajah ini menjadi sebuah persoalan krusial yang penting untuk dikaji secara lebih mendalam, karena persoalan ini akan semakin memperparah keadaan kaum perempuan itu sendiri. perempuan yang seharusnya merdeka dari kaum laki-laki terhadap pemutusan peran, dan merdeka dari diri mereka sendiri, malah mereka harus terjebak oleh keegoisan yang menyebabkan pada kecelakaan, seperti keinginan cepat menikah karna gaya pacaran yang tidak produktif, hamil duluan, perjodohan dan yang lainnya. Persoalan ini sudah tentu akan menghentian peran perempuan yang lebih luas, misalnya; perannya dalam dunia pendidikan, kesehatan, pariwisata, tradisi dan budaya, membangun karekter perempuan itu sendiri dan peran-peran lain yang mampu mengangkat derajat kaum perempuan.

Oleh karena itu, permasalahan kaum perempuan menjadi tugas dan amanah yang harus dikaji oleh Berugaq Institute guna menemukan benang merah. Serta mengembalikan peran-peran perempuan yang ideal dan tidak menyalahi koridor dalam kehidupan berumah tangga. Maka rekomendasi yang ditawarkan oleh pengurus Berugaq Institute diserahkan secara langsung kepada Berugaq Institute yang kemudian akan dijalankan oleh pengurus itu sendiri.



Rekomendasi Berugaq Institute Terhadap Konstruksi Sosial Perempuan Sasak: Membangun Peran Perempuan dalam Mewujudkan Era Ke-emas-an Kaum Perempuan Sasak

a.    Kholidi (Anggota Departemen Penelitian, Pengabdian dan Pengembangan SDM)
Untuk mewujudkan peran kaum perempuan, Berugaq Institute adalah wadah yang besar untuk hal tersebut. Gerakan anti penindasan terhadap kaum perempuan harus terealisasi guna perempuan lebih memiliki masa depan yang cerah dalam membangun keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara. Oleh karena itu, sebagai pengurus Berugaq Institute, kita harus berusaha dan berjuang untuk mengibarkan bendera kemerdekaan kaum perempuan.

b.    Mustiani (Anggota DepartemenPemberdayaan Perempuan)
Apa yang Berugaq Institute wacanakan hari ini harus terlaksa dalam bentuk aski-aksi nyata agar tidak hanya didengung-dengungkan dalam sebuah diskusi, perempuan harus mampu melihat realitas dan peran yang dimilikinya, perempuan harus bisa merubah keadaannya sendiri, baik melalui pendidikan dan hal-hal lain yang dapat membuat kaum perempuan terbebas dari kukungan peran.

c.     Hatim (Bendahara Berugaq Institute)
Untuk mewujudkan peran kaum perempuan, tidak selamanya kaum perempuan menjadi objek dalam pembangunan, laki-laki juga harus dilibatkan dalam membentuk kesadaran kaum laki-laki, dengan kata lain, ketika peran perempuan dapat terealisasi namun ketika laki-laki masih egois terhadap peran mereka sebagai kepala rumah tangga dan kepala-kepala lainnya, hal ini akan selalu tumpang tindih, terealisasinya peran kaum permpuan hanya sebuah wacana yang tergambar dalam realitas palsu. Oleh karena itu kesadaran kaum perempuan dan laki-laki adalah tonggak dalam mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya terhadap peran kaum perempuan.

d.    Habibi (Anggota departemen Politik, Sosial dan Budaya)
Peran kaum perempuan sesungguhnya terletak pada karakter perempuan itu sendiri, kebebasan atau kemerdekaan peran kaum perempuan tidak akan pernah terwujud ketika kaum perempuan itu sendiri tida mau mewujudkan perannya. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki kesempatan emas yang harus mereka gapai, dan kesempatan ini tidak hanya dimiliki oleh laki-laki.

e.     Irawan (Koordinator Departemen Penelitian, Pengabdian dan Pengembangan SDM)
Pada dasarnya perempuan harus dimengerti oleh  kaum laki-laki. Pengertian ini akan menjadi dukungan penuh akan tindakan-tindakan produktif yang dilakukan oleh kaum perempuan, seperti lagunya Ada Band “wanita ingin dimengeri”.

f.      Fahrurrasyid (Koordinator Departemen Analisi Kebijakan Publik dan Advokasi)
Mas kawin seharusnya tidak menjad hal utama dalam menempuh kehidupan berumah tangga, bahkan mas kawin harus dihapuskan dari tradisi pernikahan, karena makna mas kawin desa ini lebih kepada harga kaum perempuan untuk kaum laki-laki, dan hal ini merupakan kekerasan simbolik terhadap kaum perempuan itu sendiri.

g.    Syukur (Sekretaris Direktur Berugaq Institute)
Untuk meujudkan peran kaum perempuan seutuhnya, maka pemerintah dan stakeholder lainnya harus menggunakan tiga pendekatan. Dalam konteks MIKRO, peran perempuan dalam rumah tangga harus diawali dari kaum laki-laki (Suami) yang bertanggungjawab terhadap perempuan (Istri), maka pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan “sentuhan” dimana suami sebagai kepala rumah tangga harus memberikan ruang diskusi kepada sang istri untuk menentukan pilihan hidupnya (pilhan berkarir), guna meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan “rangsangan” dimana sang suami harus mendukung penuh atas tindakan-tindakan produktif sang istri, tidak hanya dukungan moril namun juga dukungan materil. Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan “kepuasan”, dimana sang suami harus memberikan penghargaan kepada sang istri baik dalam ketidakberhasilan maupun keberhasilan yang dicapai, penghargaan ini dapat berdampak pada kepuasaan sang istri akan dukungan dan pemberian hadian istimewa atas keberhasilan sang istri. Dalam konteks MEZZO, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial mekanis dan kelompok. Sedangkan secara MAKRO maka pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan Politik, Budaya, dan Sistem.

h.     Agus Dedi Putrawan (Koordinator departemen Politik, Sosial dan Budaya)
Sesunggunya budaya patriarki adalah salah satu budaya yang telah membelenggu peran kaum perempuan, budaya patriarki yang masih dijalani oleh masyarakat sasak harus digerus ke meja hijau untuk didiskusikan bersama dalam mencapai budaya demokrasi peran baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, salah satu isu yang harus kita angkat sebagai pengurus Berugaq Institute adalah menghapus budaya ini sedini mungkin agar tidak menjadi budaya turun-temurun dan penindasan peran kaum perempuan secara professional.

i.       Rohany Inta Dewi (Koordinator Departemen Pemberdayaan Perempuan)
Kaum laki-laki dengan kaum perempuan pada dasarnya harus saling memahami dan menghargai peran satu sama lain, ketika hal ini dapat terjadi maka tidak akan ada skat-skat (saling meragukan) yang bersifat tak nampak dalam hubungan keluarga. Kesadaran kaum laki-laki akan peran perempuan menjadi prioritas utama yang harus dipahami.

j.       Suhirman Jayadi (Koordinator Departemen Keagamaan dan Pendidikan)
Permasalahan terhadap kaum perempuan sesungguhnya harus dibangun berlandaskan pada moralitas, intelektualitas, dan building connection, peran perempuan tidak hanya dibangun berdasarkan pada kepentingan politik. Karena kenyataan dewasa ini, perempuan dijadikan sebagai marketing politik oleh partai demi kepentingan partai politik, apalagi seorang perempuan memiliki nama yang dapat mendulang suara dan memenangkan partai politik tertentu, dan kenyataan ini sudah tidak dapat kita pungkiri. Kenyataannya, kaum perempuan sendiri memiliki potensi tersendiri, sebuah potensi yang dapat mewujudkan harapan keluarga, harapan masyarakat dan harapan bangsa dan negara. Di mana potensi tersebut adalah potensi membangun keluarga yang sejahtera, masyarakat yang mandiri serta bangsa dan negara yang kuat.

Keberfungsian kaum perempuan seharusnya dapat terealisasi dengan baik, karena dengan keberfungsian perempuan akan berdampak pada terlahirnya generasi muda yang berpendidikan, karena kunci sukses generasi muda dalam dunia pendidikan ada pada kekuatan kesejahteraan keluarga, serta dengan keberfungsian perempuan dapat mewujudkan kemapuan keluarga dalam mengakses kesehatan yang lebih baik, dengan asumsi dasar bahwa terkadang kaum laki-laki sebagai pemimpin keluarga tidak dapat memenuhi atau mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan kenyataan ini, kesadaran terhadap pemberdayaan perempuan yang lebih rill adalah sebuah solusi tepat, baik dalam konteks mikro, mezzo dan makro.



Yogyakarta; 12 November 2014
Mengetahui;
Direktur Berugaq Institute                                                      Sekjen Berugaq Institute

Salimuddin. S.Th.I                                                                Syukur. S.Sos.I



Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this