“Konstruksi
Sosial Perempuan Sasak: Membangun Peran Perempuan dalam Mewujudkan Era
Ke-emas-an Kaum Perempuan Sasak”
Dalam
diskusi yang kelima ini tentang konstruksi sosial perempuan sasak, agus dedi
putrawan sebagai moderator mengawali diskusi dengan menitikberatkan pada
pembahasan yang lebih mengena, tajam dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai
wacana yang dapat memberikan gambaran kepada perempuan sasak tentang peran
mereka sebagai perempuan seutuhnya, dengan harapan para pemateri dan peserta
diskusi dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap era emas perempuan sasak
dimasa mendatang.
Adanya
sebuah budaya patriarki dikalangan masyarakat sasak telah mengisolasi peran
perempuan sasak itu sendiri, budaya patriarki yang lebih mengutamakan kekuasaan
kaum laki-laki menjadikan perempuan tidak memiliki peran sama sekali, bahkan
sebagian besar kaum perempuan bertugas hanya pada tataran “kasur, dapur dan
sumur”. Keadaan ini tentu saja menjasi sebuah dilema ketika perempuan harus
terkukung oleh budaya patriarki, yang mana perempuan seharusnya dapat
mengekspresikan kemampuannya demi kekuatan dan kesejahteraan keluarga, akan
tetapi kaum laki-laki masih memiliki keegoisan dalam memberikan kebebesan
tersebut.
Rohany
Inta Dewi sebagai Narasumber sekaligus sebagai pengurus Berugaq Institute mewacanakan
akan pentingnya kesadaran bersama antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan,
kesadaran ini akan berdampak pada bebasnya setiap peran yang ada untuk
diaplikasikan. Namun, dewasa ini, masyarakat masih tidak bisa membedakan antara
gender dengan seks, sehingga terjadi kesalahan pemaknaan akan hal tersebut.
Suhirman sebagai narasumber kedua lebih menjelaskan bagaimana kondisi kaum
perempuan pada masa lalu, mulai dari peradaban yunani, romawi, china. Di mana
kaum pada masa peradaban tersebut kaum perempuan tidak memiliki harga diri sama
sekali, bahkan kaum laki-laki berhak menjual kaum perempuan sesuka hati mereka.
Begitu juga pada zaman jahiliyah, Akan tetapi, ketika Al-Qur’an diturunkan,
kaum perempuan dapat menghirup udara segar. Dan untuk lebih jelasnya, pembaca
bisa melihat hasil tulisan Rohany Inta Dewi (KSPS:
Konservatif Vs Kontemporer), dan Suhirman Jayadi (KSPS:
Al-Qur’an Menyapa Perempuan Sasak)
Dari
dua pemateri, audience merespon bahwa menarik sekali ketika membahas tentang
perempuan bahkan sangat seksi, apalagi membahas tentang perempuan sasak. Hal
ini terlontarkan oleh saudara irawan dan mempertanyakan bagaimana peran
perempuan sasak dewasa ini? Serta perlu kita pahami sejarah atau latar belakang
munculnya konstruksi-konstruksi sosial perempuan sasak itu sendiri? Guna
mengkaji dan menemukan benang merah akan permasalahan kaum perempuan. Selain
itu stigma yang muncul terhadap kaum perempuan menjadi salah satu konstruksi
yang buruk bagi kaum perempuan, di mana kaum perempuan (dedare sasak) tidak
boleh keluar rumah untuk menghindari pandangan-pandangan negatif dari
masyarakat sasak itu sendiri, karena selain banyak terjadi kecelakaan
pernikahan akibat hamil duluan, perempuan sasak dewasa ini juga tidak terlalu
bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Kelalaian-kelalaian yang dilakukan
berdampak pada pernikahan dini, padahal mereka juga memiliki tanggungjawab
terhadap perubahan Lombok dan arah emas kaum perempuan kedepan itu sendiri.
Kata Muhamad Hatim.
Dari
sisi lain, pandangan kaum perempuan yang minim terhadap peran, baik dalam
tataran keluarga maupun masyarakat diungkapkan oleh saudari Mustiani, perempuan
sasak khususnya dewasa ini tidak memiliki peran sama sekali, peran dalam
membangun karakter perempuan dari setiap stakeholder masyrakat seakan-akan
tersembunyi, bahkaan tidak terdeteksi, sehingga ketika Berugaq Institute
berbicara masalah kaum perempuan tidak hanya dalam ruang diskusi namun harus
diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi nyata dilapangan. Berbeda dengan saudara
Fahrurrasyid yang lebih melihat kepada sisi-sisi negatif tentang mas kawin,
pandangan masyarakat yang lebih melihat sebagai harga perempuan merupakan
sebuah kekerasan simbolik terhadap perempuan itu sendiri. Perempuan seakan-akan
dijual dan tidak memiliki peran setelah menjadi “istri”. Hal ini dikarenakan
perempuan harus terikat dengan harga yang sudah dinegosiasikan kedua belah
pihak, dan suami berhak mengatur kehidupan kaum perempuan ketika negosiasi
menjadi sebuah konplik tersembunyi. Dimana konflik tersembunyi merupakan hasil
dari rasa kecewa pihak laki-laki terhadap harga yang terlalu mahal, dan dibayar
dengan keterpaksaan, bahkan ketika tidak menerima negosiasi tersembut, itu akan
menjadi sebuah beban moral dihadapan masyarakat.
Kehawatiran
lain dari konstruksi sosial perempuan sasak dewasa ini adalah tentang masih
terjadinya pernikahan dini yang berdampak pada meningkatnya jumlah janda. Wajah
ini menjadi sebuah persoalan krusial yang penting untuk dikaji secara lebih
mendalam, karena persoalan ini akan semakin memperparah keadaan kaum perempuan
itu sendiri. perempuan yang seharusnya merdeka dari kaum laki-laki terhadap
pemutusan peran, dan merdeka dari diri mereka sendiri, malah mereka harus
terjebak oleh keegoisan yang menyebabkan pada kecelakaan, seperti keinginan
cepat menikah karna gaya pacaran yang tidak produktif, hamil duluan, perjodohan
dan yang lainnya. Persoalan ini sudah tentu akan menghentian peran perempuan
yang lebih luas, misalnya; perannya dalam dunia pendidikan, kesehatan,
pariwisata, tradisi dan budaya, membangun karekter perempuan itu sendiri dan
peran-peran lain yang mampu mengangkat derajat kaum perempuan.
Oleh
karena itu, permasalahan kaum perempuan menjadi tugas dan amanah yang harus
dikaji oleh Berugaq Institute guna menemukan benang merah. Serta mengembalikan
peran-peran perempuan yang ideal dan tidak menyalahi koridor dalam kehidupan
berumah tangga. Maka rekomendasi yang ditawarkan oleh pengurus Berugaq Institute
diserahkan secara langsung kepada Berugaq Institute yang kemudian akan
dijalankan oleh pengurus itu sendiri.
Rekomendasi
Berugaq Institute Terhadap Konstruksi Sosial Perempuan Sasak: Membangun Peran
Perempuan dalam Mewujudkan Era Ke-emas-an Kaum Perempuan Sasak
a.
Kholidi
(Anggota Departemen Penelitian, Pengabdian dan Pengembangan SDM)
Untuk mewujudkan
peran kaum perempuan, Berugaq Institute adalah wadah yang besar untuk hal
tersebut. Gerakan anti penindasan terhadap kaum perempuan harus terealisasi
guna perempuan lebih memiliki masa depan yang cerah dalam membangun keluarga,
masyarakat maupun bangsa dan negara. Oleh karena itu, sebagai pengurus Berugaq
Institute, kita harus berusaha dan berjuang untuk mengibarkan bendera
kemerdekaan kaum perempuan.
b.
Mustiani
(Anggota DepartemenPemberdayaan Perempuan)
Apa yang Berugaq
Institute wacanakan hari ini harus terlaksa dalam bentuk aski-aksi nyata agar
tidak hanya didengung-dengungkan dalam sebuah diskusi, perempuan harus mampu
melihat realitas dan peran yang dimilikinya, perempuan harus bisa merubah
keadaannya sendiri, baik melalui pendidikan dan hal-hal lain yang dapat membuat
kaum perempuan terbebas dari kukungan peran.
c.
Hatim
(Bendahara Berugaq Institute)
Untuk mewujudkan
peran kaum perempuan, tidak selamanya kaum perempuan menjadi objek dalam
pembangunan, laki-laki juga harus dilibatkan dalam membentuk kesadaran kaum
laki-laki, dengan kata lain, ketika peran perempuan dapat terealisasi namun
ketika laki-laki masih egois terhadap peran mereka sebagai kepala rumah tangga
dan kepala-kepala lainnya, hal ini akan selalu tumpang tindih, terealisasinya
peran kaum permpuan hanya sebuah wacana yang tergambar dalam realitas palsu.
Oleh karena itu kesadaran kaum perempuan dan laki-laki adalah tonggak dalam
mewujudkan kemerdekaan yang sebenarnya terhadap peran kaum perempuan.
d.
Habibi
(Anggota departemen Politik, Sosial dan Budaya)
Peran kaum
perempuan sesungguhnya terletak pada karakter perempuan itu sendiri, kebebasan
atau kemerdekaan peran kaum perempuan tidak akan pernah terwujud ketika kaum
perempuan itu sendiri tida mau mewujudkan perannya. Karena pada dasarnya setiap
manusia memiliki kesempatan emas yang harus mereka gapai, dan kesempatan ini
tidak hanya dimiliki oleh laki-laki.
e.
Irawan
(Koordinator Departemen Penelitian, Pengabdian dan Pengembangan SDM)
Pada dasarnya
perempuan harus dimengerti oleh kaum
laki-laki. Pengertian ini akan menjadi dukungan penuh akan tindakan-tindakan
produktif yang dilakukan oleh kaum perempuan, seperti lagunya Ada Band “wanita
ingin dimengeri”.
f.
Fahrurrasyid
(Koordinator Departemen Analisi Kebijakan Publik dan Advokasi)
Mas kawin
seharusnya tidak menjad hal utama dalam menempuh kehidupan berumah tangga,
bahkan mas kawin harus dihapuskan dari tradisi pernikahan, karena makna mas
kawin desa ini lebih kepada harga kaum perempuan untuk kaum laki-laki, dan hal
ini merupakan kekerasan simbolik terhadap kaum perempuan itu sendiri.
g.
Syukur
(Sekretaris Direktur Berugaq Institute)
Untuk meujudkan
peran kaum perempuan seutuhnya, maka pemerintah dan stakeholder lainnya harus
menggunakan tiga pendekatan. Dalam konteks MIKRO, peran perempuan dalam rumah
tangga harus diawali dari kaum laki-laki (Suami) yang bertanggungjawab terhadap
perempuan (Istri), maka pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan
“sentuhan” dimana suami sebagai kepala rumah tangga harus memberikan ruang
diskusi kepada sang istri untuk menentukan pilihan hidupnya (pilhan berkarir),
guna meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pendekatan yang
kedua adalah pendekatan “rangsangan” dimana sang suami harus mendukung penuh
atas tindakan-tindakan produktif sang istri, tidak hanya dukungan moril namun
juga dukungan materil. Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan “kepuasan”,
dimana sang suami harus memberikan penghargaan kepada sang istri baik dalam
ketidakberhasilan maupun keberhasilan yang dicapai, penghargaan ini dapat
berdampak pada kepuasaan sang istri akan dukungan dan pemberian hadian istimewa
atas keberhasilan sang istri. Dalam konteks MEZZO, maka pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan sosial mekanis dan kelompok. Sedangkan secara MAKRO
maka pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan Politik, Budaya, dan
Sistem.
h.
Agus
Dedi Putrawan (Koordinator departemen Politik, Sosial dan Budaya)
Sesunggunya budaya
patriarki adalah salah satu budaya yang telah membelenggu peran kaum perempuan,
budaya patriarki yang masih dijalani oleh masyarakat sasak harus digerus ke
meja hijau untuk didiskusikan bersama dalam mencapai budaya demokrasi peran
baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, salah satu isu yang harus
kita angkat sebagai pengurus Berugaq Institute adalah menghapus budaya ini
sedini mungkin agar tidak menjadi budaya turun-temurun dan penindasan peran
kaum perempuan secara professional.
i.
Rohany
Inta Dewi (Koordinator Departemen Pemberdayaan Perempuan)
Kaum laki-laki
dengan kaum perempuan pada dasarnya harus saling memahami dan menghargai peran satu
sama lain, ketika hal ini dapat terjadi maka tidak akan ada skat-skat (saling
meragukan) yang bersifat tak nampak dalam hubungan keluarga. Kesadaran kaum
laki-laki akan peran perempuan menjadi prioritas utama yang harus dipahami.
j.
Suhirman
Jayadi (Koordinator Departemen Keagamaan dan Pendidikan)
Permasalahan terhadap
kaum perempuan sesungguhnya harus dibangun berlandaskan pada moralitas,
intelektualitas, dan building connection, peran perempuan tidak hanya
dibangun berdasarkan pada kepentingan politik. Karena kenyataan dewasa ini,
perempuan dijadikan sebagai marketing politik oleh partai demi
kepentingan partai politik, apalagi seorang perempuan memiliki nama yang dapat
mendulang suara dan memenangkan partai politik tertentu, dan kenyataan ini
sudah tidak dapat kita pungkiri. Kenyataannya, kaum perempuan sendiri memiliki
potensi tersendiri, sebuah potensi yang dapat mewujudkan harapan keluarga,
harapan masyarakat dan harapan bangsa dan negara. Di mana potensi tersebut
adalah potensi membangun keluarga yang sejahtera, masyarakat yang mandiri serta
bangsa dan negara yang kuat.
Keberfungsian kaum
perempuan seharusnya dapat terealisasi dengan baik, karena dengan keberfungsian
perempuan akan berdampak pada terlahirnya generasi muda yang berpendidikan,
karena kunci sukses generasi muda dalam dunia pendidikan ada pada kekuatan
kesejahteraan keluarga, serta dengan keberfungsian perempuan dapat mewujudkan
kemapuan keluarga dalam mengakses kesehatan yang lebih baik, dengan asumsi
dasar bahwa terkadang kaum laki-laki sebagai pemimpin keluarga tidak dapat
memenuhi atau mencukupi kebutuhan keluarga. Dengan kenyataan ini, kesadaran
terhadap pemberdayaan perempuan yang lebih rill adalah sebuah solusi
tepat, baik dalam konteks mikro, mezzo dan makro.
Yogyakarta; 12 November 2014
Mengetahui;
Direktur Berugaq Institute Sekjen
Berugaq Institute
Salimuddin. S.Th.I Syukur.
S.Sos.I