Kamis, 27 November 2014

Burhanudin

Posted by Unknown On 00.09 | No comments


Nama                                    : Burhanudin
Tempat & Tanggal Lahir         : Bongak, 22-04-1994
Alamat                                   : Bongak Desa Tempak Kecamatan Pujut Lombok Tengah NTB
Jenis Kelamin                         : Laki-Laki
Alamat Email/phone                : bajangburhan74@yahoo.com/081803767795
Hobby                                    :  Membaca, jalan-jalan


RIWAYAT PENDIDKAN

SDN Jelateng, MTSN Model Praya, MAN 1 Praya.
Universitas Negeri Yogyakarta  (Pendidikan Bahasa Perancis)


ORGANISASI

SAFEL UNY (Students Activity Forum Of Foreign Lenguages)

KEGIATAN YANG PERNAH DI IKUTI
Pidato Bahasa Perancis Tingkat Nasional 2014
Konfernsi Kurikulum Pendidikan Bahasa Perancis Indonesia 2014


Selasa, 25 November 2014


sumber gambar; lombok.panduanwisata.id
Oleh; Syukur. S.Sos.I[1]

A.      Latar Belakang
Arus perubahan masyarakat sasak dari tradisional menuju modernisasi merupakan bagian yang harus dilihat dari sisi positif dan negatif, banyak orang menganggap bahwa modernisasi adalah biang kerok terhadap keterpurukan moral manusia, pasalnya dunia modernisasi telah membuat instannya hidup, banyak terjadi kekerasan (KDRT, Anak terlantar, kekerasan seksual “anak maupun dewasa” dan persoalan sosial lainnya). Disisi lain, modernisasi adalah sebuah harapan baru untuk perubahan yang lebih baik “masa depan yang gemilang”. Tentu saja perbedaan ini terlahir dari sudut pandang yang berbeda, jika modernisasi dipandang dari sudut negatif maka hasilnya juga negatif, dan begitu juga sebaliknya.
Kemiskinan merupakan sebuah permasalahan sosial yang tidak hanya dihadapi oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berkembang, kemiskinan juga menjadi persoalan bagi negara-negara maju. Kemiskinan dapat menunjuk pada kondisi individu, kelompok maupun situasi kolektif masyarakat. Di negara-negara maju kemiskinan lebih bersifat individu, misalnya, akibat mengalami kecacatan (fisik atau mental), ketuaan, sakit yang parah dan berkepanjangan, atau kecanduan alcohol. Kondisi ini biasanya melahirkan kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari atau keluarga-keluarga tunggal (single parents or single families) yang hidupnya tergantung pada bantuan sosial dari pemerintah.[2]
Masyarakat sasak yang saat ini masih banyak terjadi persoalan sosial, seperti: kemiskinan, premanisme birokrasi, pernikahan dini, menjadi TKI atau TKW, perceraian, perampokan, pencurian, kecurangan terhadap ‘petani, nelayan, buruh’, perang saudara, bahkan eksploitasi seksual yang masih sedikit muncul dipermukaan. Sehingga persoalan inilah yang menyebabkan terjadinya ketidakberfunsian sosial yang utuh dalam tatanan masyarakat sasak, dan berakibat pada kemiskinan yang tiada ujung. Seperti lagu yang sering dinyanyikan oleh Rhoma Irama dimasa kejayaannya dan masih terdengar asik sampai saat ini “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin” dan yang miskin “gali lobang tutup lobang” yang ujung-ujungnya meninggal dunia karena tidak mampu melunasi hutangnya. Sesungguhnya semua persoalan ini adalah persoalan bersama, namun sebagai negara pemerintah berkewajiban untuk meyelesaikan semua persoalan tersebut secara terus menerus untuk memberikan kenyaman dan kedamaian bagi rakyatnya.
Kondisi ini tentu saja tidak terlepas dari birokrasi sebagai pemangku kebijakan tertinggi, yang mana dalam bukunya John Scott menjelaskan bahwa birokrasi adalah bentuk maju dari organisasi administratif berskala besar yang hadir dalam kapitalisme lanjut, dan kadang-kadang diambil menjadi ciri khas dari kapitalisme tersebut. Bagaimanapun, seperti yang ditujukkan Weber birokrasi tidak membatasi kapitalisme. Birokrasi berkembang dan memperkuat monopoli kondisi. Bagi Weber, birokrasi memiliki karakter structural yang berbeda dan juga beberapa ciri internal yang berkaitan dengan hal tersebut. Karakteristik structural birokrasi meliputi pola otoritasnya yang terpusat (sentralistik) dan jelas dengan banyak tingkat hierarki, pembagian kerja yang rumit antara spesialisasi yang luas dan resmi dari aktivitas-aktivitas mereka.[3]
Penjelasan ini menggambarkan bahwa kapitalisme birokrasi merupakan sebuah wajah yang nyata, yang mana birokrasi memiliki kekuatan dan otoritas yang tinggi dalam menentukan suatu kebijakan. Kembali pada persolan sosial yang muncul dalam tatanan masyarakat, hal tersebut adalah hasil dari ciptaan orang-orang kapitaslime untuk menentukan pasar bebas dalam negara berkembang. Seperti yang tergambar dalam sebuah film “Teenage Mutand Ninja Turtles” yang mana menceritakan tentang sebuah penciptaan “penyakit dan obat”. Ketika disebarkan wabah kepada masyarakat sebagai upaya untuk memperkenalkan obat, maka sekali lagi, rakyat adalah korban dari ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh orang-orang hebat untuk menentukan pasar dominan dalam pasar international yang disebarkan melalui kehidupan nyata masyarakat maupun melalui media.
B.       Rumusan Masalah
Masyarakat Sasak: Wacana Masa Depan Sasak “Lombok” kajian Teoritis merupakan sebuah wacana yang menggambarkan keadaan masa kini dan masa yang akan datang. Menganalisis kekuatan-kekuatan masyarakat sasak yang ada untuk melihat bagaimana keadaan masyarakat sasak di masa yang akan datang. Tentu saja ini adalah sebuah ketidak-mungkinan kerena masa depan adalah sesuatu yang tidak bisa digambarkan secara jelas, karena kita tidak tahu apa yang akan trjadi satu menit ke depan, akan tetapi dalam penulisan ini hanya melihat kesempatan dan peluang baru yang akan merubah keadaan masyarakat sasak menuju masyarakat yang lebih baik dan sejahtera. Jadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana kesiapan masyarakat sasak dalam melihat peluang besar terhadap masa depan yang lebih baik?
C.      Pembahasan
Masyarakat sasak saat ini sedang mengalami perubahan baru, sebuah perubahan yang memberikan gambaran baru bagi pandangan setiap orang, yang mana perubahan itu adalah gaya-gaya hidup baru, cara-cara untuk bekerja, cara mencintai, cara berintraksi satu sama lain, cara berakktivitas baru, yang pada intinya adalah sebuah hidup yang baru, dan sebuah kesadaran yang ikut berubah. Masyarakat sasak sedang mengalami lompatan perubahan yang dianggap sebuah “penantian perubahan”, yang penulis sebut sebagai “gelombang kedua”. Walaupun wacana ini adalah sebuah wacana gelombang ketiga,[4] karena masyarakat sasak saat ini masih belum siap menerima perubahan besar-besaran. Selain dikarenakan masyarakat sasak masih mempertahankan budaya tradisonal, modernisasi masih dinikmati sebatas awal perubahan.
Perubahan merupakan sebuah sifat dasar dari masyarakat, mengubah metafor “kehidupan sosial” seperti kehidupan itu sendiri. mengingat perubahan itu ada di mana-mana, maka kecepatannya, ruang lingkupnya, kedalamannya dan tempo perubahannya berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Perubahan terutama sekali adalah dapat merembes, secara cepat dan sangat nyata dalam masyarakat modern saat ini. Gagasan paling umum dari perubahan mengindikasikan beberapa peralihan dan hal entitas tertentu yang terjadi dalam waktu tertentu. Dalam rangka untuk menekankan bahwa kualitas dinamika dari entitas khusus itu berkaitan dengan masyarakat, sosiologi kontemporer sering menerapkan konsep bidang atau wilayah sosial (social field), yang maksudnya adalah jaringan yang berubah-ubah atau tidak tetap dari tindakan, intraksi, hubungan sosial, dan institusi sosial.[5]
Dua imaji (gambaran) masa depan yang sangat berbeda mencengkram imajinasi masyarakat sekarang ini. Sebagian besar rakyat saat ini, pada level di mana mereka tidak mau pusing memikirkan masa depan sama sekali, mengasumsi dunia yang mereka tahu akan bertahan dalam waktu yang tak terbatas. Mereka sulit untuk membayang sebuah pandangan hidup yang benar-benar berbeda bagi diri mereka, apalagi sebuah peradaban baru secara total. Tentu saja, mereka menyadari bahwa segalanya sedang berubah. Tetapi, mereka mengasumsi perubahan-perubahan sekarang ini bagaimanapun juga akan melewati mereka dan tak satupun yang akan mengoncang kerangka kerja ekonomi dan stuktur politik yang sudah mereka kenal. Mereka merasa yakin dengan harapannya bahwa masa depan akan terus berlangsung seperti masa kini.[6] Kenyataan ini merupakan sebuah gambaran nyata yang diberikan oleh masyarakat sasak (orang tua tempo dulu) dan penulis sering mendengar kata-kata ini ketika para orang tua berkumpul sambil bercerita tentang sejarah mereka masing-masing, bahwa “lemak no tukul-tukul uah dateng jawe, uah dateng luar negeri[7] artinya “suatu saat kita hanya sekedar duduk, kita sudah berada di jawa, bahkan luar negeri”. Dengan kata lain, masyarakat sasak sadar bahwa akan ada perubahan, namun sebagian besar masyarakat tidak mau tahu tentang perubahan, mereka lebih baik membiarkan perubahan itu dipikirkan oleh generasi mereka (generasi saat ini).

1.         Masyarakat Sasak: Perubahan Masa Kini Kaca Mata Pekerja Sosial
Perubahan sosial biasanya terkait dengan rangkaian kaitan temporal dan kausal. Serangkaian perubahan yang saling terkait, baik yang bersifat reproduktif maupun trnspormatif, disebut dengan proses sosial. Proses-proses sosial semacam ini mencakup urbanisasi (lihat urbanism), industrialisasi (lihat industialism), pertumbuhan ekonomi dan globalisasi. Pertanyaan penulis untuk kita semua, mungkin kita semua menyadari akan perubahan yang terjadi disekitar kita, mulai dari bentuk fisik (bangunan), tingkah laku, gaya pacaran dulu dengan yang sekarang, gaya pendidikan, gaya politik, dan hal-hal lain yang ikut serta meramaikan perubahan. Pertanyaannya adalah pernahkah kita berhenti pada satu titik dan membuat titik itu tidak berubah? Penulis rasa bahwa terkadang kita terlalu membela tradisional tanpa memahami makna secara utuh, dan menolah perubahan tanpa memperkenalkan bentuk tradisional kepada modernisasi secara utuh. Sehingga wacana ada di mana-mana tentang modernisasi dalam konteks negatif namun secara aplikasi, mereka ikut andil dan berjalan berkelindan dengan perubahan tersebut.
Perubahan adalah model baru dalam membentuk kekuasaan, perubahan adalah iming-iming kesejahteraan bagi para pemerhati dan pelaku perubahan. Dengan kata lain, perubahan akan membentuk nasib seseorang, baik yang menyadari maupun yang tidak menyadari dan acuh tak acuh terhadap perubahan itu sendiri, karena perubahan memiliki makna bukan tanpa makna. Mungkin kita semua pernah menonton sebuah film yang membebaskan manusia dari kekuasaan Tuhan, sebuah film yang bagi penulis adalah imajinasi yang tinggi yang patut dihargai sebagai karya manusia adalah film “In Time[8] yang menceritakan perubahan besar-besar terhadap paradigma manusia saat ini. Di mana Uang sebagai kekuasaan tertinggi saat ini (Konteks Roda Dunia), tanpa uang kita tidak bisa hidup dan menjalankan aktivitas sehari-hari, dan Allah SWT adalah sebagai penguasa dunia dengan ke Maha Besarannya. Namun di film ini, Waktu adalah segalanya, gaji, hidup, barter, dan segala aktivitas dikendalikan oleh Waktu. Bahkan dengan waktu manusia bisa hidup berabad-abad, atau bahkan abadi dengan waktu yang dimilikinya, sehingga Allah tidak ada artinya sama sekali.
Artinya bahwa, semua persoalan perubahan ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh bapak paradigma “Thomas Kuhn” bahwa segala sesuatu tentang ilmu pengetahuan ini akan berubah, yang lama akan ditelah oleh yang baru, dan yang baru akan ditelan oleh yang baru lagi, dan begitu seterusnya, sehingga para ilmuan atau filosof dituntut untuk terus berinovasi. Begitu juga dengan masyarakat sasak saat ini, mau tidak mau harus menyadari akan perubahan yang dibawa oleh waktu. Contoh sederhana dari perubahan itu adalah ketika pra-BIL berdiri, masyarakat mencoba melawan pemerintah dengan mempertahankan tanah mereka, dengan alasan tanah mereka belum ada ganti rugi. Setelah BIL berdiri banyak masyarakat menerima manfaat keberadaan BIL, suatu perubahan yang menguntungkan. Bahkan masyarakat sekitar BIL yang mampu memanfaatkan keadaan menjadi lebih sejahtera dan mandiri.
Selain itu, keadaan ini telah menjadi ladang subur baru bagi orang-orang yang kreatif dan produktif, mulai dari menyediakan jasa transportasi, berdagang, jasa penginapan, warung makan dll. dalam hal ini, Al-Qur’an Menjelaskan bahwa: “Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal”.[9] Artinya bahwa “dan pada pergantian malam dan siang” pergantian malam dan siang merupakan sebuah perubahan yang tidak bisa kita hindari, siang dan malam menunjukkan akan arti penting dari sebuah proses yang kita lakukan, baik dalam konteks kebutuhan hidup, pekerjaan, inovasi karya, dan hal-hal lain yang dapat digeser oleh waktu melalui pergantian siang dan malam.
hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya” dalam konteks ini, Allah SWT. Menunjukkan kepada manusia tentang sebuah proses perubahan, ketika hujan turun di tanah-tanah yang ada di Sasak, masyarakat sasak mulai mempersiapkan bibit padi yang unggul untuk ditanam. Setelah padi kemudian kedelai, atau sebagian lainnya menanam tembakau, cabai, tomat dll sesuai dengan kondisi tanah yang dimiliki. Perubahan ini merupakan sebuah perubahan yang memiliki makna, yang mana “bagi kaum yang berakal” akan selalu bersyukur akan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Dengan kata lain, perubahan harus dimaknai dengan arif-bijaksana, apapun bentuk perubahan yang terjadi tidak selamanya menjadi sebuah ancaman, akan tetapi disetiap perubahan ada tanda-tanda yang nyata akan kebesaran Allah SWT.
Mampukan setiap kepala berpikir tentang perubahan? Dan mampukah setiap sistem tubuh berproses dalam perubahan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita mengkaji beberapa hal yang terkait dengan setiap perubahan yang terjadi. Yakni: Pertama, Pergeseran Gaya Hidup. Secara umum, semua orang menyadari bahwa modernisasi telah merubah gaya hidup (fashion), yang tradisional (tingkah laku, pakaian, cara berpikir, dll) menuju gaya hidup yang baru. Kondisi ini tentu saja merupakan sebuah perubahan yang wajar. Tetapi, terkadang perubahan ini terlalu dipolitisir oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, mengatasnamakan hak dalam menjaga sesuatu yang menjadi warisan leluhur. Misalnya: Makam Loang Balok sebuah makan yang disakralkan oleh masyarakat sasak. Dalam hal ini, penulis menemukan dua realitas baru melihat kondisi loang balok yang dibenturkan dengan obyek wisata. (1) Taman Loang Balok sebagai wujud dari perubahan bentuk merupakan obyek wisata yang digemari oleh masyarakat sasak, yang khususnya adalah generasi muda dewasa ini. (2) Makan Loang Balok yang disakralkan akan tergeser oleh bangunan mewah (hotel) dan taman loang balok itu sendiri.
Tentu saja kondisi ini telah melahirkan sebuah gaya hidup baru, yang mana gaya hidup tradisional[10] berubah menjadi gaya hidup modern.[11] Kesakralan yang selama ini diyakini menjadi sebuah hal yang biasa, tidak ada bentuk nilai perjuangan untuk mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki. Tetapi, terkadang sebagian orang yang dapat memanfaatkan kondisi ini, menjadikan lahan subur untuk menyambung hidup. Perjuangan yang dilakukan hanya sebatas kepentingan pribadi, tidak pada menjaga nilai-nilai sakral yang ada. Disisi lain, perubahan yang ada tidak menjadi suatu persolan yang tidak wajar bagi masyarakat sasak, perjalan waktu, bergantinya siang dan malam, perubahan bulan demi bulan, dan tahun demi tahun hanyalah persoalan yang sudah menjadi kehendak Allah. Sehingga dari pada masyarakat miskin pusing dengan perubahan, lebih baik mereka mengerjakan sesautu yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kedua, Pergeseran Kebutuhan (the Shift on Needs). Kebutuhan generasi 1993 dengan kebutuhan generasi 2005 sangat jauh perbedaannya. Penulis lebih mencoba menekankan makna kebutuhan pada apa yang membuat generasi mengenal akan tempat tinggalnya (home), tidak hanya pada konteks kebutuhan dasar saja. Tahun 1993 para generasi mengenal rumahnya dengan berbagai kebutuhan yang disuguhkan, mulai dari permainan, tradisi, dan hal-hal lokal yang membuat generasi muda menjadi lokal seutuhnya. Dari permainan, misalnya: permainan Benteng[12], Slodor[13], Cungklik[14], Beledokan[15] dan permainan-permainan loal lainnya. Sedangkan para generasi tahun 2005an sudah mengalami perubahan secara perlahan, permainan modern mulai dikenal, sedangkan permainan lama sudah mulai ditinggalkan. Generasi muda lebih asik bermain sendiri, lewat HP, bahkan dewasa ini sebagian besar generasi muda asik bermain “game online” dan Plastation. Maka dunia yang mereka tampilkan tanpa sadar adalah dunia modernisasi.
Ketiga, Pergeseran Gaya Pacaran. Pada konteks ini, penulis sering diceritakan oleh orang tua, paman, dan orang-orang tua lainnya bahwa gaya pacaran dewasa ini jauh berbeda dengan gaya pacaran dulu. Di mana gaya pacaran zaman dulu, tidak ada yang namanya malam minggu, jalan-jalan sampai malam, bahkan ketika ngapel, jarah antara cowok dengan cewek tidak dekat. Sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Gaya pacaran zaman sekarang begitu bebas, keluar tanpa ada control, hingga berdampak pada pernikahan dini (hamil duluan), penulis juga tidak munafik akan hal tersebut. Kondisi ini adalah kondisi yang dibuat oleh generasi muda dewasa ini, sehingga gaya tradisional pacaran tenggelam oleh gaya modernisasi. Asumsi dasar dari hal tersebut adalah “kita semua sudah dewasa, tahu mana yang baik dan tidak untuk masa depan”.
a.         Kemiskinan: Wajah Sasak dalam ketidak-berfungsian Sosial
Bagaimana memaknai kemiskinan, tentu saja informasi adalah sesuatu yang sangat berharga, ketika masyarakat harus dibenturkan dan disandingkan dengan kemiskinan. Setidaknya ada dua aliran pemikiran yang berkembang di Indonesia terkait dengan pemahaman mereka terhadap kemiskinan. Golongan pertama, apa yang termasuk dalam paradigma agrarian populism. Menurut golongan ini, kemiskinan diakibatkan adanya campur tangan negara yang terlalu luas dan mendalam terhadap masyarakat. Adanya intervensi ini mengakibatkan masyarakat cendrung obyek yang tidak memiliki inisiatif memanfaatkan peluang, potensi dan sumber daya yang melimpah di seputar mereka. Idiologi yang dianut oleh aliran ini adalah antistatetism, anti negara. Menurut aliran ini, kemiskinan hanya akan hilang dari masyarakat jika negara meninggalkan campur-tangannya dalam kehidupan masyarakat.
Golongan kedua, yang biasanya dimotori oleh para pejabat pemerintah, atau para ilmuan kampus yang sok berlagak jadi pejabat. Adalah mereka yang memandangang kemiskinan sebagai masalah budaya. Masyarakat menjadi miskin karena mereka memiliki budaya kemiskinan. Masyarakat menjadi miskin karena malas bekerja, dan tidak memiliki visi yang jelas tentang masa depannya. Menurut penganut aliran ini, masyarakat memang sulit untuk diajak untuk maju. Membiarkan masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri sama saja dengan membiarkan masyarakat dalam kemiskinan yang abadi. Sehingga jelas kita lihat, penganut golongan ini cenderung mengeluarkan kebijakan yang menganggap masyarakat hanya sebagai obyek saja, tidak memiliki inisiatif dan kreativitas.[16]
Berdasarkan dua gambaran ini, penulis lebih melihat kemiskinan adalah sebuah permasalahan yang datang dua sisin”pemerintah dan masyarakat”, karena permasalahan kemiskinan bukan kesalahan yang hanya datang dari pemerintah, juga datang dari diri masyarakat itu sendiri, sehingga persoalan kemiskinan merupakan tanggungjawab bersama[17]. Kemiskinan adalah salah satu persoalan sosial yang hadir dari sudut pandang seseorang, kemiskinan hanyalah sebuah mindset yang terbangun dari pandangan kolekif, yang tergabung dari beberapa huruf. mungkin bagi seseorang kemiskinan bukanlah berpatokan pada materi melainkan iman, ahlaq, sikap, kesadaran, tingkah laku, dan lainya. Sehingga kemiskinan memiliki berbagai devinisi yang sesuai dengan konteksnya.
Masyarakat sasak yang saat ini dibenturkan dengan kemiskinan adalah sebuah persoalan yang krusial jika dipandang dari sisi perubahan, seperti yang diusung dalam kampaye politik TGB 2013 (Gubernur NTB Dua Periode) “masyarakat yang berperadaban, religious, dan berbudaya”. Kampaye politik ini tentu saja tidak hanya dihidangkan begitu saja, melainkan dipoles sedemikian rupa untuk membangun masyarakat NTB menuju perubahan yang lebih baik. Hal ini merupakan sebuah harapan di masa mendatang akan kemandirian masyarakat NTB dan kemiskinan hanya tinggal sejarah pahit.
Titik tolaknya adalah membenahi bentuk garis kemiskinan yang memisahkan mereka yang dianggap miskin dengan yang bukan miskin. Lebih sederhananya adalah menghitung jumlah orang yang miskin, jurang kemiskinan dan berapa lama orang menjadi miskin, dan hal ini dibutuhkan semacam garis kemiskinan. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam pendekatan ini, yang secara konvensional disebut pendekatan absolut (absolute approach) dan pendekatan relatif (relative approach). Cara lain untuk menggambarkan dua tipe garis ini adalah dengan menggunakan garis tetap (fixed line) dan garis bergerak (moving line) yang berubah seiring dengan perubahan pendapatan.[18] Dan pendekatan ini bisa digunakan oleh pemerintah NTB untuk mengetahui tingkat kemiskinan yang sesungguhnya, tidak hanya dengan menggunakan data statistic yang pendekatannya berbeda-beda dan hasilnya juga berbeda.
Terkait dengan ketidak-berfungsian sosial yang masih menjangkit masyarakat sasak, tentunya dari gambaran diatas, menjadi sebuah persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara sepihak. Ketika masyarakat tidak memahami dan mampu memanfaatkan pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah, maka rakyat miskin akan tetap miskin, bahkan kemiskinan yang terjadi akan terus menjadi penyakit dari generasi ke generasi. Begitu juga sebaliknya, ketika pemerintah hanya sebatas wacana dalam melakukan pemberdayaan, maka rakyat pun akan tetap menjadi rakyat yang miskin.
Hadirnya kemiskinan dalam hidup seseorang berdampak pada ketidak-siapan generasi muda untuk berjuang melawan hidup, kebutuhan yang semakin meningkat dan lapangan kerja yang semakin sulit membuat generasi muda harus mengambil keputusan sebelum waktu membuatnya menyesal karena terlalu banyak pertimbangan. Misalnya: Pernikahan Dini, adalah persoalan sosial yang saat ini masih melanda masyarakat sasak, keputusan untuk berumah tangga karena kekurangan ekonomi dan gaya hidup yang semakin bebas (akibat modernisasi), membuat generasi muda harus kehilangan masa depannya. Masa depan yang seharusnya menjadi perjuangan utama demi merubah nasib, harus terputus dipersimpangan jalan. Tingkat perceraian yang berdampak pada meningkatnya jumlah janda di sasak (Lombok) adalah dampak dari ketidak-sadaran para generasi muda akan masa depan yang lebih baik. Namun, dibalik itu, penulis juga tidak munafik bahwa pernikahan dini tidak bisa dihindari akibat dari ekonomi yang mencekik. Persoalan ini merupakan bentuk dari kekerasan simbolik terhadap perempuan.
Disisi lain, kemiskinan yang berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan dan ketidak-mampuan masyarakat dalam mengakses kesehatan merupakan wajah suram yang harus dibersihkan dan dipoles sedimikian rupa agar masyarakat tidak lagi bergantung pada uluran tangan pemerintah. Masyarakat harus diberdayakan guna menciptkan roda kondisi yang kondusif dan produktif agar kesejahteraan menjadi wajah manis. Dalam hal ini, Aprilliani Theresia, dkk menjelaskan bahwa upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tigas sisi, yaitu:
Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empawering). Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam hal ini, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat.[19]
b.        Politik Sasak: Kekuasan (Fower) Pembawa Perubahan Etnis
Ada hal yang menarik ketika penulis membaca surat Mirza Masroor Ahmad[20] kepada pemimpin dunia, yakni; kepada Perdana Menteri Israel dan Presiden Obama.
Kepada Menteri Israel.
Oleh karena itu, permintaan saya kepada anda adalah bukan menghantarkan dunia ke dalam cengkraman perang dunia, buatlah upaya maksimal untuk menyelamatkan dunia dari bencana global, dari pada menyelesaikan sengketa dengan kekuatan, Anda harus mencoba menyelesaikan dengan dialog, sehingga kita dapat memberi “hadian” generasi masa depan kita dengan masa depan yang cerah daripada memberi “hadiah” mereka dengan ketidak-berdayaan serta kecacadan.
Kepada Presiden Obama.
Seperti kita semua sadari, penyebab utama yang menyebabkan perang dunia kedua adalah kegagalan liga bangsa-bangsa dan krisis ekonomi, yang dimulai pada tahun 1932. Hari ini, para ekonom menyatakan banyak persamaan antara krisis ekonomi saat ini dengan krisis ekonomi tahun 1932. Kami amati bahwa masalah politik dan ekonomi sekali lagi menyebabkan perang di antara negara-negara kecil, dan perselisihan internal serta ketidakpuasan menjadi marak dalam negara-negara, pada akhirnya ini akan menghasilkan kekuatan tertentu yang mencul dengan mengendalikan pemerintah, yang kemudian akan membawa kita ke perang dunia. Jika konflik di negara-negara kecil tidak dapat diselesaikan melalui politik atau diplomasi, hal itu akan membentuk blok dan pengelompokan baru di dunia. Hal ini akan menjadi pemicu untuk pecahnya perang dunia ketiga. Oleh karena itu, saya percaya bahwa sekarang, daripada berfokus pada kemajuan dunia, itu memang penting, tetapi yang lebih penting adalah kita segera meningkatkan upaya kita untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran ini. Adalah kebutuhan mendesak bagi umat manusia untuk mengenali Tuhan Yang Maha Tunggal, Yang Menciptakan kita, karena itu adalah satu-satunya penjamin bagi keberlangsungan hidup umat manusia, jika tidak, dunia akan terus bergerak cepat kea rah penghancuran dirinya.[21]
Dari surat ini, penulis dapat gambaran bahwa, pemimpin pada dasarnya merupakan ujung tombak dari suatu perubahan yang lebih baik, ketika pemimpin lebih kepada kepentingan pribadi, atau negara maka rakyat dan generasi muda adalah korban. Padahal generasi muda adalah calon penerus bangsa, penerus yang akan bertanggungjawab terhadap kemerdekaan utuh dan membangun peradaban yang lebih baik. Oleh karena itu, sesungguhnya pemimpin harus memberikan ruang kebebasan berkarya terhadap generasi muda, memberikan hadiah perdamaian dan kesejahteraan terhadap generasi muda. Mengajarkan generasi tentang politik sehat untuk menjunjung tinggi nilai demokrasi yang lebih produktif, karena dengan landasan ini, perubahan akan menjadi wujud nyata bagi kesejahteraan masyarakat, serta dapat membangun kekuatan negara secara international.
Selain itu, persoalan kepentingan politik daerah maupun provinsi yang berbeda akan berdampak pada doktrinasi kekuasaan segilintir elit, masyarakat memerlukan penceharan terhadap kekuasaan yang dibangun oleh pemerintah, tidak semata-mata hadir sebagai pahlawan masa depan dalam kampaye, melainkan pahlawan yang dapat menjalankan amanah demi kesejahteraan sesuai dengan janji politik yang dilontarkan kepada publik. Dengan demikian, peran pemerintah tidak hanya membawa masyarakat pada tingkat kesejahteraan, juga memberi peluang besar kepada rakyat untuk menentukan masa emas generasi yang ditunggu oleh negara.
Kepiawaian politik dalam mengajarkan bagaimana berpolitik terhadap manusia adalah sebuah karya politik yang tidak bisa dipungkiri. Setiap saat wajah politik yang ada di Indonesia berengkarnasi menjadi wajah politik yang baru, bagaikan “operasi plastik” yang bisa dilakukan setiap saat oleh orang-orang yang mampu (kaya). Apalagi wajah politik saat ini telah menciderai demokrasi yang dibangun diatas tetesan darah dan kematian para pejuang kemerdekaaan Indonesia dan perjuangan para generasi muda dalam menuntut demokrasi. Para elit politik seakan-akan tidak tahu caranya menangis dan meneteskan darah, demokrasi dapat dimaknai sesuka hati mereka, dan rakyat adalah bola yang siap dipermaikan saat berlaga.
Wajah politik lokal Sasak “Lombok, NTB” sendiri tidak jauh dari wajah politik nasional, politik lokal adalah manispestasi dari politik nasional, “bergerak dan menggerakkan” atau “diperintah dan memerintahkan”. Sehingga menyebabkan adanya sebuah perlawan besar-besaran secara profesional terhadap masyarakat lokal. Masyarakat Sasak (masyarakat kelas bawah) adalah masyarakat yang pada dasarnya tidak memahami politik, politik bukanlah alur pergerakan hidup mereka, bagi mereka, biarkanlah politik berjalan sesuai dengan kehidupan. Dengan kata lain, acuh tak acuh terhadap politik bukan berarti mereka tidak mengerti politik, namun kehidupan tanpa politik juga tidak menjadikan mereka mengemis untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
c.         Pemberdayaan: Masyarakat Sasak dalam Perubahan
Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berintraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang berpola dan terorganisasi. Manusia, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat mempunyai kebutuhan. Dalam kehidupan bermasyarakat, kebutuhan dapat bersifat individual atau kolektif. Konsekuensinya, selalu ada upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan dapat dibedakan dalam berbagai kriteria, baik dilihat dari sifat, hierarki, maupun prioritasnya. Terpenuhinya kebutuhan prioritas pertama atau kebutuhan dasar mendorong usaha untuk memenuhi kebutuhan pada prioritas berikutnya.[22]
Pemberdayaan masyarakat sebagai pendekatan yang sedang menjadi arus utama saat ini, membutuhkan komitmen yang kuat dalam arus teori dan aplikasi, harus ada kesatuan yang utuh dalam mewujudkan pemberdayaan yang lebih bermutu, jelas, dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat bawah (miskin), dan terus berjalan berkelindan dengan arus-arus lain yang terkait dengan membangun sumber daya manusia yang unggul. Pemberdayaan berarti berdaya, mampu, tahu, mengerti, paham termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap impormasi, mampu bertindak sesuai situasi. Pemberdayaan akan menghasilkan masyarakat yang dinamis dan progresif secara berkelanjutan sebab didasari oleh adanya motivasi intrinsik dan ekstrinsik.[23]
Istilah pemberdayaan, juga dapat diartikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok maupun masyarakat luas agar mereka memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannya agar dapat memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk aksesibilitasnya terhadap sumber daya yang terkait dengan pekerjaannya, aktivitas sosialnya, dll. Karena itu World Bank (2001) dalam Aprillia Theresia dkk, menjelaskan bawah perberdayaan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat, idea tau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metode, produk, tindakan dll.) yang terbaik bagi pribadi, keluarga, dan masyarakat.[24]
Pada dasarnya pokok pikiran dari teori pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) yang dalam implementasinya dijabarkan ke dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah sebuah pendekatan yang memberikan kesempatan, kewenangan yang lebih besar kepada masyarakat terutama masyarakat lokal untuk mengelola proses pembangunannya.[25] Namun, aplikasinya yang terjadi di masyarakat sasak masih terjadi tumpang tindih, pemberdayaan dalam konteks pembangunan sumber daya manusia yang diprogramkan lebih mengarah pada nilai jual daerah kepada daerah lain, yang mana kemudian dapat diadopsi menjadi pemberdayaan secara universal, sehingga daerah penggagas menjadi daerah utama dalam melihat realitas pemberdayaan yang dilakukan.
2.         Wacana Masa Depan Sasak sebuah kajian Teoritis
Berawal dari gambaran di atas, maka yang menjadi pertanyaanya adalah berapa besar target pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan? Berapa banyak generasi muda dengan spesialiasi yang berbeda-beda yang ingin diciptakan? Bagaimana cara pemerintah dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk memenuhi pengelolaan sumber daya alam? Apakah pemerintah mau mewujudkan politik sehat? Bagaimana strategi yang ingin diciptakan dalam mewujudkan politik sehat? Berapa besar kurs rupiah yang ingin diinvestasikan dalam setiap puluhan jalur dan tingkat produksi yang berbeda-beda? Dan apakah pemberdayaan merupakan sebuah jalan untuk mewujudkan kemandirian guna kesejahteraan sosial? Serta dari pertanyaan ini, kesiapan seperti apa yang dimiliki oleh masyarakat Sasak?
Menjawab pertanyaan ini, penulis akan mencoba menggambarkan garis-garis besar untuk dapat melihat bagaimana masa depan sasak di masa mendatang. Adapun garis-garis besar itu adalah Infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA) Inovasi, Ivestasi.
a.         Infrastruktur
Membangun sebuah konsep infrastruktur dalam kelancaran transportasi yang matang adalah langkah awal dalam mewujudkan masyarakat yang melek modernisasi. Asumsi dasar dari hal ini adalah kepentingan sasak menuju sasak yang lebih baik, dengan tingkat kesejahteraan yang kuat. Karena infrastruktur merupakan jalur yang dapat memudahkan masyarakat untuk menjalankan aktivitas dengan mudah, mulai dari berdagang, bertukar informasi, bahkan dapat mengakses pendidikan tanpa kendala.
b.        Sumber Daya Manusia (SDM)
Membangun sumber daya manusia untuk mengisi pos-pos kosong sesuai dengan harapan bersama adalah langkah kedua dalam mewujudkan masyarakat yang mandiri, masyarakat perlu pencerahan tentang bagaimana menjadi masyarakat kreatif dan produktif. Dengan demikian, pemerintah sebagai pemangku kebijakan paling tidak merumuskan bersama masyarakat dalam menciptakan sumber daya manusia yang ada.
c.         Sumber Daya Alam
Kekayaan sumber daya alam yang ada di sasak merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah saat ini, yang mana sumber daya alam akan membeku dan tidak memiliki arti jika sumber daya alam yang ada tidak dimanfaatkan dengan baik. Dengan demikian perlu ada sebuah rancangan yang matang untuk mengelola sumber daya alam yang ada. Di mana pengelolaannya dapat dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.
Dalam sebuah media online, Lombok disamping sebagai tujuan wisata, juga kaya dengan sumber daya alam seperti emas dan minyak bumi. Sekotong misalnya, memiliki kekayaan emas yang luar biasa, tapi pengelolaannya yang belum maksimal. Sementara masyarakat setempat masih menambang dengan cara-cara tradisional yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya. Selain itu, lanjut H. Hazmi, di kabupaten baru Lombok Utara, menurut hasil penelitian para ahli, juga telah ditemukan titik sumber minyak bumi. Namun hal ini butuh penelitian lebih lanjut sambil menunggu investor yang mau menanamkan modalnya untuk mengelolaannya. "Kalau minyak bumi ini bisa diolah, tentu Lombok Utara khususnya akan menjadi sebuah kabupaten yang kaya dan akan mampu bersaing dengan kabupaten-kabupaten yang sudah maju lainnya di Indonesia", ungkap tuan guru yang memiliki ratusan ribu jama'ah ini.[26]
d.        Inovasi
Inovasi kearifan lokal tanpa mengurangi nilai-nilai yang terkandung merupakan bagian yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah, karya-karya murni masyarakat sasak harus diprioritaskan sebagai daya saing masyarakat sasak dalam menghadapi pasar bebas. Mulai dari kain tenun sasak, gerabah, kesenian, tradisi, permainan (Gansring, Slodor, Benteng, Cungklik, dll), dan karya-karya masyarakat lokal yang saat ini masih dilirik sebelah mata oleh pemerintah.
e.         Investasi
Investasi dalam mewujudkan pembangunan yang merata diseluruh daerah adalah bagian yang penting terhadap kemandirian masyarakat. Namun, investasi tidah hanya bersumber dari investasi asing, melainkan investasi lokal juga perlu ditumbuhkan. Pemerintah bersama para pengusaha lokal dapat merumuskan hal ini dengan matang, tujuan utamanya adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pengusaha lokal untuk mengembang tanah kelahirannya.
Dengan demikian, kita semua dapat membayangkan sebuah kemandirian baru masyarakat sasak di masa mendatang, sebuah perubahan yang membawa masyarakat menuju keadilan sosial yang tinggi, kesejahteraan yang merata, pendidikan yang merata, akses kesehatan yang mudah,
D.      Kesimpulan
Pada dasarnya, semua perubahan ini semata-mata tidak dibawa oleh modernisasi, melainkan pergeseran waktu yang membawa masyarakat untuk lebih luas dalam berpikir. Bagi penulis, dunia modernisasi salah satu yang membuat perubahan itu terjadi. Jika modernisasi sebagai biang kerok terhadap hal tersebut, maka masih banyak masyarakat yang tidak memahami dunia modernisasi dan masih menjalankan hidup mereka dengan gaya turun-temurun yang diwariskan oleh leluhur mereka. Akan tetapi permasalahan sesungguhnya terletak pada generasi muda “mau membawa ke arah mana masyarakat sasak melalui modernisasi ini”. Apakah tradisional yang selama ini telah mendarah daging akan dirubah total, bak kacang lupa kulitnya? Ataukah ada sebuah solusi baru yang ditawarkan?

sumber gambar; bisnis.liputan6.com






[1] Penulis adalah putra daerah Sasak “Lombok” yang saat ini sedang menempuh jenjang s2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Prodi Interdisciplinary Islamic Studies (IIS), dengan kosentrasi Pekerja Sosial (PEKSOS).
[2] Edi Suharto. Kemiskinan dan Perlindungan Sosial di Indonesia: Menggagas Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan. (Bandung: Alfabeta, 2009). Hlm. 14-17.
[3] John Scott. Sociology: the Key Concepts. Terjemahan LABSOS FISIP UNSOED, Ed. 1. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Hlm. 21.
[4] Alvin dan Heidi Toffler. Creating A New Civilization The Politics Of The Third Wave.(Turner Publising, Inc., 1995) Diterjemahkan oleh Ribut Wahyudi. Menciptakan Peradaban Baru, Politik Gelombang Ketiga. (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002). Hlm. 1.
[5] John scott. Sociology: the Key Concepts…, Hlm. 31
[6] Alvin dan Heidi Toffler. Creating A New Civilization The Politics Of The Third Wave…, Hlm. 2-3
[7] Pesawat, Kapal Laut, Motor, Mobil adalah bukti nyata dari kata-kata atau gambaran yang diberikan oleh masyarakat sasak tempo dulu. Ketika duduk dipesawat dengan tenang, dan diterbang ke jawa atau yang lainnya, kita sudah berpindah dengan cepat.
[8] Jika pembaca belum menonton film “In Time” penulis merekomendasikan pembaca untuk menonton film tersebut. penulis bukan merekomendasikan pada tataran konteks filmnya sebagai sebuah karya, melainkan untuk memahami akan sebuah perubahan yang terus terjadi, karena waktu adalah sesuatu yang tidak bisa ditekan dan dihentikan oleh manusia, namun waktu akan terus berjalan seiring dengan keinginannya.
[9] Al-Qur’an. Surat Al-Jaatsiyah. Ayat: 5
[10] Gaya hidup tradisional yang penulis maksud adalah konstruksi sosial masyarakat tentang makam loang balok sebelum ada pembangunan (taman dan hotel). Masyarakat desa sebagai masyarakat yang modernisasinya belum kuat, kunjungannya ke makan loang balok adalah tujuan yang utama, karena mereka mengharapkan ada Allah SWT mengabulkan harapan mereka melaui siarah ke makan loang balok.
[11] Gaya hidup modernisasi lebih kepada tujuan utama tidak pada makam loang balok yang telah mereka sakralkan, melainkan kunjungan mereka lebih mengutamakan Taman loang balok sebagai taman yang banyak diminati, dan sebagai taman hiburan untuk sebuah kesenangan maupun liburan bersama keluarga, pacar, sahabat, dll.
[12] Permainan Benteng adalah permainan yang dimainkan secara kolektif, memiliki regu yang terdiri dari beberapa anggota, dengan misi menembus pertahanan lawan. Ketika tim dapat ditangkap oleh musuh maka selain menembus pertahan lawan, juga misi penyelamatan terhadap tim yang ditangkap. Dengan kata lain, permainan ini mengajarkan arti penting sebuah penaklukkan musuh dan solidaritas yang tinggi.
[13] Sama halnya dengan permainan Benteng, permainan Slodor juga mengajarkan tentang menembus pertahan lawan dengan cara mengacaukan pertahanan. Solidaritas adalah inti dari permainan ini, karena ketika salah satu tim tertangkap maka selesailah permainan tersebut, dan yang main selanjutnya adalah lawan.
[14] Permainan Cungklik adalah permainan yang menekankan pada kepiawaian seseorang. Permainan ini menggunakan dua buah kayu “pendek dan panjang”, permainan ini bisa dimainkan secara individu (satu lawan satu) maupun kelompok.
[15] Permainan Beledokan hampir sama dengan permainan yang ada didaerah lain, terbuat dari bambu kecil dengan peluru yang terbuat dari kertas basah.
[16] Nurhadi. Mengembangkan jaminan sosial mengentaskan kemiskinan. (Yogyakarta: Media Wacana, 2007). Hlm. 24-25
[17] Soetomo. Keswadayaan Masyaraat: Manifestasi Kapasitas Masyarakat untuk Berkembang Secara Mandiri. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012). Hlm. 97
[18] John scott. Sociology: the Key Concepts…, Hlm. 198-199
[19] Aprilliani Theresia, dkk. Pembangunan Berbasis Masyarakat: Acuan Bagi Praktisi, Akademisi Dan Pemerhati Pengembangan Masyarakat. (Bandung: Alfabeta, 2014). Hlm. 119-120
[20] Mirza Masroor Ahmad
[21] Mirza Masroor Ahmad. World Crisis and Pathway to Peace. (Inggris: Islam International Publication Ltd, 2013). Terjemahan Ekky O. Sabandi. Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian. (Neratja Press, 2014). Hlm. xv-xvi
[22] Soetomo. Pemberdayaan Masyarakat “Munkinkah Muncul Antitesisnya?”. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013). Hlm. 25
[23] Slamet, M. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membetuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. (Bogor: IPB Press, 2003). Hlm. 45
[24] Aprilliani Theresia, dkk. Pembangunan Berbasis Masyarakat: Acuan Bagi Praktisi, Akademisi Dan Pemerhati Pengembangan…, Hlm. 117
[25] Soetomo. Pemberdayaan Masyarakat “Munkinkah Muncul Antitesisnya?”…, Hlm. 69-70
[26] http://www.suarakomunitas.net/baca/4231/5.html

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this