Oleh;
Agus Dedi Putrawan
Dalam diskusi ke-3 yang
lalu, terjadi pergolakan kegelisahan akademik yang sengit antara saya dan
saudara Suhirman, sebagai mana Plato dan Aristoteles yang bertolak belakang
satu dengan yang lain. dalam dunia akademik memang hal tersebut menjadi hal
yang lumrah sebagai mana filsof-filsof clasik di bantai dengan istilah
Dekonstruksi ilmu pengetahuan, karena terlatar belakangi oleh perubahan sosial
masyarakat yang semakin komplek kemudian teori-teori lama tidak mampu lagi
menjawab realitas kekinian. Dalam diskusi bertemakan “nilai filosofi budaya
sasak” kami berdua sampai pada lorong gelap yang belum menemukan secercah
cahaya harapan untuk keluar dalam kegelisahan tersebut. diskusi melebar, dengan
alasan memang kami dari berbagai latar belakang jurusan akan mempunyai
pandangan yang subjektif dan objektif bagi diri sendiri yang profesor bambang Sugiharto
sebut sebagai Reaktif Self Identity.
Pilih budaya atau nilai
budaya?..
Dua hal ini yang sampai
tulisan ini dibuat saya tersenyum dengan pikiran nakal. “memang ada budaya yang
orisinal?” ketika itu saya kekeh terhadap pernyataan pribadi bahwa budaya sasak
yang pernuh dengan patrimonialnya harus di buang jauh-jauh, kita harus
mengambil nilai-nilai filosofi dan wajib mempertahankan nilai-nilai seperti tatas tuhu trasna, patut patuh padju dan lain sebagainya. Saudara suhirman mengatakan
“oh tidak Budaya Sasak harus kita pertahankan berserta filosifi-filosofinya”,
di satu sisi saya setuju dengan stetment “BERESERTA
NILAI FILOSOFI-FILOSOFINYA“ karena filosofi
adalah kata lain dari “nilai” itu sendiri, dan saya tidak sependapat dengan pernyataan “MEMPERTAHANKAN
BUDAYA”.
Mari kita bedah secara
seksama..!
Saya terpengaruh oleh
kuliah umum Prof. Sugihato tentang filsafat Ilmu dan hermeneutika, beliau
bertanya “memang ada budaya yang sebenarnya budaya”, kemudian akhir-akhir ini
teori tentang Kharima Weber dan teori Nasionalism Ernest Gellner menjadi
makanan setiap kali prof. Nurchoidi menggemleng
saya dalam kuliahnya.
Salah
satu yang mengerikan dan mencemaskan bagi banyak orang di milenium ke tiga ini
adalah tendensi pembongkaran (Dekonstruksi). Segala sekat itu, mana ilmu dan
bukan ilmu, mana kepercayaan dan tidak, ilmiah, tidak ilmiah, suku mana dengan suku mana, batas-batas
budaya, batas-batas kesukuan, batas-batas agama dan segala macam itu
berambrukan, bahkan batas-batas ilmu yang sekarang akrab dengan hal yang bukan
ilmu, hukum positif skarang terlihat akrab dengan antropologi, fisikologi,
semua sekat itu berambrukan. Maka orang jadi panik memang karena semua di
bongkar (dekonstruksi), batas-batas itu sekarang sudah tidak jelas lagi
kelihatan (amburadul). (Sugihato,
2010).
“memang ada sasak
budaya yang murni?” inilah yang menjadi awal kegelisahan saya. Kita sama-sama
ketahui dan mengakui bahwa budaya sasak aalah budaya akuturasi dari
budaya-budaya pendatang, budaya Hindu-Budha (Jawa, Majapahit) abad 14-15, bali
(kerajaan karang asem) abad 16-17, Islam
(Jawa, Makasar) abad 18-19. Dengan kata lain, sebuah budaya adalah hasil pinjam
sana-pinjam sini. karena setiap masyarat membangun kebudayaan sendiri dan
kemudian menjadi “hasil karya karsa” yang khas yang unik dan baru menjadi
budaya sasak sekarang, dan saya sepakat akan hal itu.
Nah dari proses
perkembangannya (akulturasi) budaya sasak menimbulkan budaya Patrimonial. Sebenarnya
budaya Patrimonial dapat kita temukan kapan saja, di mana saja dalam kehidupan
kita, terlebih di Indonesia. Dalam ranah politik, Patrimonialisme adalah suatu
bentuk pemerintahan di mana seluruh kekuasaan mengalir langsung dari
pemimpinnya. Dalam arti sempit, semua bentuk kekuasaan yang anti tesis dari
demokrasi termasuk ke dalam sistem patrimonial. Prakteknya dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan seperti badaya patriarki dalam keluarga, otoritas ayah
terhadap anggota keluarga yang bersifat absolut. Padri terhadap Mangku Bumi,
kiai terhadap santri, laki-laki terhadap perempuan, bos terhadap karyawan
(bojuis-ploretar), senior terhadap junior dan lain sebagainya. Budaya
patrimonial termasuk primordial feodal, sistem kasta dalam masyarakat,
aturan-aturan adat yang membatasi kebebasan, organisasi-organisasi “anarkis”
(yang memframe diri atas nama etnis, agama, budaya) untuk mempertahankan previllage (kenyamanan-kenyamanan),
dalam sistem yang lebih umum seperti sistem pemerintahan monarkhi, oligarkhi,
autokrasi, kaisar, kilafah dan lain sebagainya, yang berlawanan dengan
demokrasi.
Saya tegaskan, budaya
patrimonial inilah yang masih membayang-bayangi di pulau Lombok, strata sosial,
atau lebih jelasnya sistem kasta yang jelas-jelas tidak sesuai dengan
nilai-nilai Islam dan begitu juga demokrasi.
Apakah ini yang harus kita pertahankan?
Saya juga tidak menutup
diri bahwa ada hal-hal positif yang lahir dari proses “karya karsa” suku sasak yakni
kata-kata filosofi-filosofi, bangunan yang mengandung nilai luhur yang musti
kita ambil, seperti tembang lagu “kadal
nongaq”, semboyan-semboyan kabupaten dan itu adalah sebuah nilai yang lahir
dari budaya. berangkat dari sini saya
tegaskan term budaya masih umum, terdapat dua hal di dalamnya “negatif dan
positif”, sedangkan “nilai budaya” sudah jelas hal-hal yang positif karena
orang-orang sasak selektif melestarikan ungkapan-ungkapan yang serta tindakan
yang saya sebut dengan “nilai budaya”.
Dalam tulisan saya
sebelumnya, budaya sasak sudah tergerus modernisasi. Orang sudah mulai berfikir
rasional (Weber “The Protestan Ethic And Spirit Capitalism”) di Industrialisasi
Society, orang kampung beremigrasi ke kota (urban), dan semua akan menjadi
homogen tanpa memikirkan lagi sekat-sekat etnis, budaya, agama, serta warna
kulit menjadi satu kesatuan (Ernest Gellner “Nation And Nationalism”) sikap
nasionalisme kemudian menciptakan bangsa baru.
Semoga ada yang
menanggapi....!
Kritik dan saran sah dalam tulisan ini.... (asal ilmiah).