Oleh;
Agus Dedi Putrawan
Penyakit sosial yang selalu
tampak dipertontonkan oleh para pejabat, birokrasi, akademisi dan masyarakat adalah
bentuk dari penyakit private dan
penyakit publik. Dalam sebuah seminar bertemakan “Kesalehan
Private dan Publik Secara Integratif”, yang diselenggarakan oleh Pasca Sarjana Uin
Sunan Kalijaga, 5 November 2014 lalu. Membahas tentang integrasi semua ilmu
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terkait kesalehan private dan publik.
Dalam kehidupan
sehari-hari khususnya di Indonesia sebagai mahluk individu maupun sosial, kita
selalu berinteraksi dengan orang lain (Hablu
Minannas) dan interaksi dengan tuhan
yang maha pencipta dengan ibadah-ibadah keagamaan (hamblum minallah) segala
tingkah laku manusia dapat kita amati (Agust Comte). Indonesia akhir-akhir ini
mengalami berbagai macam musibah alam (gunung meletus, gempa bumi, banjir) dan
sosial (agama, politik dan hukum). Terjadi marketing politik, marketing
religius, re-aktif self identity
dalam gerakan-gerakan radikal, kericuhan dalam dua kubu koalisi di DPR sampai
kepada isu sparatisme di berbagai daerah.
Kesalehan private tidak
selalu melahirkan kesalehan publik, kesalehan private biasanya adalah orang
yang selalu mementingkan diri, rajin beribadah. Yang salah adalah ia beribadah
hanya berlaku secara pribadi sedang interaksi dengan orang lain tetap saja
“bejat”, masalah antri misalnya dalam kehidupan publik, masih saja ada yang
mengatakan “jika bisa nyerobot mengapa harus ngantri” lalu dalam birokrasi
“kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah”, inilah mental orang Indonesia
secara umum. Ia selalu dibayang-bayangi budaya patrimonial, masih ada korupsi,
kolusi dan nepotisme mengakar dalam tubuhnya. Meski ibadahnya begitu rajin,
pakaian serba islami, mengikuti pengajian di sana-sini namun kelakuan tetap
“bejat”, bergunjing, memfitnah, sombong, angkuh dan lain sebagainya. Inilah
kesalehan private yang tidak benar.
Kesalehan publik selalu
tampak menipu, kesalehan publik ini biasanya adalah seseorang yang mengerti
konsep kesetaraan, budaya antri, menjaga kebersihan, mementingkan ketimbang
umum dari pada mempertahankan preevilage.
Bersikap amanah, sikap tolong menolong. Kesalahannya
adalah terjadi kepura-puraan dalam masyarakat (dramatugi). Orang sering sekali menjual-jual janji (kampanye),
beretorika di media, seolah-olah membangun pencitraan agar bisa mendapat
simpati masyarakat. Kehidupan industri dalam birokrasi mengharuskan setiap
orang harus mencapai target-target yang telah ditentukan. Sehingga sikap
profesional, seakan mesin (sistem capitalis) dan ketika terjadi kesalahan maka
tak segan mencaci maki bawahan di depan umum, kesalehan publik memang
penting,
Integrasi
Kesalehan Private dan Publik
Dari gejala-gejala
patologi sosial di atas maka perlu terjadi penggabungan antara kesalehan publik
dan kesalehan private, akan terjadi dilema ketika orang bertato, minum-minuman
keras, berzina, namun ia selalu bersedekah, tepat janji, ketika menjadi pejabat
ia amanah, menghargai kesetaraan. Kemudian orang selalu beribadah (5 waktu
pluss Sunnah) sampai jidatnya tampak lebam, mengikuti berbagai pengajian, namun
ketika berinteraksi, bersosialisasi dengan masyarakat ibadah private-nya tidak berpengaruh,
manifestasi kesalehan private tidak tampak dalam interaksinya, membanting
bangku ketika rapat DPR.
Integrasi ini penting
kiranya untuk mewujudkan solusi penyelesaian patologi sosial di Indonesia,
kesalehan private harus menjadi pemicu kesalehan publik. Di samping ia soleh
secara individu, secara sosial ia juga berinteraksi dengan baik. Inilah ideal
state yang kita impikan dalam kehidupan, baik agama, politik, ekonomi, budaya
yang selama ini di frame sebagai senjata merebut kekuasaan. Kesalehan private
dan kesalehan publik perlu di tanamkan dalam pendidikan mulai dari pendidikan
tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Karena krisis multidimensional yang kita
rasakan hari ini adalah bukti dari gagalnya pendidikan menanamkan kesalehan
private yang dipadu dengan kesalehan publik di masa lalu.