Oleh: Irawan (Mahasiswa Filsafat)
Perubahan zaman memberikan arus baru bagi
sebuah hilir kehidupan, zaman dahulu (kuno) mempunyai sejarah dengan artiannya
sendiri begitu juga dengan zaman sekarang (modern), dan masing-masing mempunyai
cirihas yang berbeda. Setiap generasi akan menyelesaikan persoalannya dengan
cara dan situasi saat itu pula.
Masyarakat
sasak zaman ini telah hilang dari sejarahnya sebagai suatu identitas yang
beradab yang pada zaman kuno dikenal dengan masyarakat yang arif, berbudaya dan
mempunyai hukum adat yang sangat sacral. Sakralisasi adat bagi masyarakat sasak
merupakan suatu yang transenden terlihat bagaimana pelaksanan ritual seperti
yang di gambakan oleh Erni Budiawanti dalam bukunya Islam Sasak.
Degradasi
social ini terjadi dipengaruhi oleh kemajuan idiologi, pengetahuan, dan
tehnologi. Dalam idiologi sebagian orang cenderung membanggakan idiologi barat
sehingga apa yang datang dibarat dianggap sebagai sesuatu yang sangat baik
sehingga terjerumus pada kemerosotan moral, gaya hidup yang bebas tanpa
mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada ajaran pendahulunya samapai pada
prilaku dan budaya instan. Pengetahuan sebagai suatu kebenaran tertinggi atas
segala sesuatu menjadikan sihir bagi sebagian orang sehingga petuah-petuah yang
memepunyai nilai filosofi positif akan terkubur dan diklaim sebagai sebuah
mitos belaka. Kemjuan tehnologi memberikan dapak yang sangat progresif terhadap
perubahan nilai dan budaya bagi masyarakat sasak yang menjadikan masyarakat
yang berkotak-kotak dan melupakan budaya kerja kolektif.
Melihat
persoalan tersebut maka perlu memepelajari ide moral apa yang terkandung
didalam konsep budaya masyarakat sasak tersebut. Hal pertama yang harus
dibenahi adalah konsep idiologi. Idiologi pancasila “Bheneka Tunggal Ika” yang
secara jelas memberikan gambaran bahwa identitas masyarakat sasak yang bagian
dari Negara kita Indonesia adalah masyarakat yang satu. Pengetahuan haruslah di
filter dengan aturan adat yang berlaku sehingga batas-batas wawasan sejalan
dengan prilaku social masyarakat. Tidak hanya itu untuk kembali kepada
identitas sasak maka harus dapat melihat bahwa dalam sejarah masyarakat sasak
dalam tradisi sosialnya tidak terlepas dari ketergantungan indivdu terhadap
orang lain yang secara spontan mempunyai kesadaran kolektif yang didasarkan oleh
sesuatu pengalaman yang sama. perasaan yang sama tingkah laku yang sama yang
mempersatukan satu individu menjadi masyarakat. Durkheim menyebutnya sebagai Solidaritas Mekanis. Dalam bukunya De La Devision du Travail. Akan tetapi
mekanis yang dimaksud Durkaheim disini bukan dalam arti individualitas
otomistik tetapi lebih kepada kesadaran kolektif. solidaritas mekanis pada
masyarakat sasak cukup memberikan arti penting dalam realitas sosial. kendati
punya kelemahan dalam systemnya yang mengakibatkan seorang individu kurang
percaya diri terhadap peranya sendiri dalam menyelesaikan problem sosial, maka
perlu untuk menggandengkan system solidaritas sosial tersebut dengan menanamkan
jiwa kompentitif yang dapat membangkitkan semangat perjuangan seorang individu
tanpa selalu bergantung pada orang lain. konsekuensi logis dari hal itu adalah terwujudnya
solidaritas kolektif yang mempunyai gairah emosional yang tajam dalam setiap
individu masyarakatnya.
kesadaran
individu dalam melihat realitas sosial masyarakatnya menjadi terarah apabila peran pemerintah dan organisasi
sosial lainnya perlu ikut terjun memeberikan sosialisasi dan kajian budaya yang menuju kepada
kemaslahatan dan kearifan local yang memang itulah konstruk dasar sosial bagi
masyarakat sasak sehingga tidak bertumpu hanya pada suatu budaya simbolik saja.