Selasa, 04 November 2014

Oleh: Irawan (Mahasiswa Filsafat)

 Perubahan zaman memberikan arus baru bagi sebuah hilir kehidupan, zaman dahulu (kuno) mempunyai sejarah dengan artiannya sendiri begitu juga dengan zaman sekarang (modern), dan masing-masing mempunyai cirihas yang berbeda. Setiap generasi akan menyelesaikan persoalannya dengan cara dan situasi saat itu pula.
Masyarakat sasak zaman ini telah hilang dari sejarahnya sebagai suatu identitas yang beradab yang pada zaman kuno dikenal dengan masyarakat yang arif, berbudaya dan mempunyai hukum adat yang sangat sacral. Sakralisasi adat bagi masyarakat sasak merupakan suatu yang transenden terlihat bagaimana pelaksanan ritual seperti yang di gambakan oleh Erni Budiawanti dalam bukunya Islam Sasak.
Degradasi social ini terjadi dipengaruhi oleh kemajuan idiologi, pengetahuan, dan tehnologi. Dalam idiologi sebagian orang cenderung membanggakan idiologi barat sehingga apa yang datang dibarat dianggap sebagai sesuatu yang sangat baik sehingga terjerumus pada kemerosotan moral, gaya hidup yang bebas tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang ada pada ajaran pendahulunya samapai pada prilaku dan budaya instan. Pengetahuan sebagai suatu kebenaran tertinggi atas segala sesuatu menjadikan sihir bagi sebagian orang sehingga petuah-petuah yang memepunyai nilai filosofi positif akan terkubur dan diklaim sebagai sebuah mitos belaka. Kemjuan tehnologi memberikan dapak yang sangat progresif terhadap perubahan nilai dan budaya bagi masyarakat sasak yang menjadikan masyarakat yang berkotak-kotak dan melupakan budaya kerja kolektif.
      Melihat persoalan tersebut maka perlu memepelajari ide moral apa yang terkandung didalam konsep budaya masyarakat sasak tersebut. Hal pertama yang harus dibenahi adalah konsep idiologi. Idiologi pancasila “Bheneka Tunggal Ika” yang secara jelas memberikan gambaran bahwa identitas masyarakat sasak yang bagian dari Negara kita Indonesia adalah masyarakat yang satu. Pengetahuan haruslah di filter dengan aturan adat yang berlaku sehingga batas-batas wawasan sejalan dengan prilaku social masyarakat. Tidak hanya itu untuk kembali kepada identitas sasak maka harus dapat melihat bahwa dalam sejarah masyarakat sasak dalam tradisi sosialnya tidak terlepas dari ketergantungan indivdu terhadap orang lain yang secara spontan mempunyai kesadaran kolektif yang didasarkan oleh sesuatu pengalaman yang sama. perasaan yang sama tingkah laku yang sama yang mempersatukan satu individu menjadi masyarakat. Durkheim menyebutnya sebagai Solidaritas Mekanis. Dalam bukunya De La Devision du Travail. Akan tetapi mekanis yang dimaksud Durkaheim disini bukan dalam arti individualitas otomistik tetapi lebih kepada kesadaran kolektif. solidaritas mekanis pada masyarakat sasak cukup memberikan arti penting dalam realitas sosial. kendati punya kelemahan dalam systemnya yang mengakibatkan seorang individu kurang percaya diri terhadap peranya sendiri dalam menyelesaikan problem sosial, maka perlu untuk menggandengkan system solidaritas sosial tersebut dengan menanamkan jiwa kompentitif yang dapat membangkitkan semangat perjuangan seorang individu tanpa selalu bergantung pada orang lain. konsekuensi logis dari hal itu adalah terwujudnya solidaritas kolektif yang mempunyai gairah emosional yang tajam dalam setiap individu masyarakatnya.
kesadaran individu dalam melihat realitas sosial masyarakatnya menjadi terarah  apabila peran pemerintah dan organisasi sosial lainnya perlu ikut terjun memeberikan sosialisasi  dan kajian budaya yang menuju kepada kemaslahatan dan kearifan local yang memang itulah konstruk dasar sosial bagi masyarakat sasak sehingga tidak bertumpu hanya pada suatu budaya simbolik saja.



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this