Oleh:
Ishak Hariyanto[1]
Dalam diskusi kali ini saya mencoba untuk mengangkat
tema yang masih diangggap seksi yakni tentang “Dilema Peropot (Pernikahan Paksa) Terhadap Dedare Sasak”. Pernikahan peropot[2] atau kawin paksa ini tentu menjadi
gejolak psikologis yang selalu menghantui kaum perempuan khususnya para dedare
sasak.[3]
Menurut saya tema tentang pernikahan paksa peropot
ini menjadi hal yang sangat menarik untuk kita diskusikan dalam forum
manapun, terutama di Berugak Isntitut
Yogyakarta. Secara umum kawin paksa ini menjadi dilema
yang menggejolak dalam batin kaum perempuan dedare sasak
apabila belum ingin merarik ketika
orangtuanya tetap bersikeras memberikan pilihan pada dia, agar memilih merarik atau meninggalkan rumah (telang lekan bale). Lalu yang menjadi pertanyaan besarnya untuk kita
diskusikan adalah, kemanakah seorang perempuan harus pergi, apabila dia tidak
mendapat pendidikan yang tinggi untuk dapat memperoleh nafkah bagi
kehidupannya? Siapakah yang akan memberi perlindungan yang dia cari?.
Dalam konteks ini saya mencoba untuk menjabarkan
fenomena kawin paksa peropot ini
karena layak untuk kita diskusikan untuk mencari jawaban serta problem solving demi menciptakan budaya
ramah terhadap kaum perempuan yang selama ini menjadi obyek kekerasan dan
memandang perempuan sebagai makhluk kedua setelah kaum laki sehingga muncul
anggapan laki-laki superioritas dan kaum perempuan tersubordinasi.
Dalam permasalahan kawin paksa
mind pattern yang sering muncul dari
agen-agen tertentu, baik orangtua, keluarga, masyarakat, dan sebagainya adalah
menguatkan pandangan mitos bahwa
perempuan yang berumur 20 tahun keatas dan belum menikah berarti perawan tua (dedare toaq),[4] hal
ini menjadi persoalan mendasar dari seorang anak perempuan yaitu
ketika dia memasuki usia dewasa, dan akhirnya banyak orang tua menginginkan anaknya untuk tidak menjadi perawan tua, karena perawan tua bagi kebanyakan masyarakat dianggap
sebagai bentuk kekurangan yang terjadi pada diri perempuan. Hal semacam ini menjadi
landasan orangtua, keluarga, masyarakat dan agen-agen tertentu untuk
melaksanakan kawin paksa peropot
tanpa memikirkan faktor-faktor negatif yang akan menimpa pada seorang anak
perempuan selanjutnya ketika terjadinya perkawinan secara paksa, faktor negatif
dari dampak pernikahan paksa peropot yakni
emosioanal yang tidak menentu, keharmonisan keluarga dan mendekati terjadinya perceraian, karena pada masa tersebut, ego
remaja masih tinggi.[5]
Lalu siapakah yang harus bertanggungjawab (responsible)
ketika hal ini melanda para
kaum perempuan yang ada disekitar kita semua, terutama di desa-desa
atau di kampung dan yang lebih khusus di Sasak Lombok.
Apakah pernikahan paksa peropot ini menjadi jalan keluar bagi perempuan yang tidak
menginginkan perkawinan, dan apakah kita
pernah memikirkan nasibnya ketika dia lari dari rumahnya dan hidup di jalanan
dan mengais nafkah. Tentu
hal semacam ini menjadi keprihatinan saya, maka dari itu perlu untuk kita mendiskusikan
permasalahan ini. Karena dari problematika pernikahan paksa di atas tentu
sangat menyedihkan bagi kaum perempuan yang mengalaminya dan terlebih lagi
apabila terjadi pada dedare sasak.
Pernikahan paksa peropot
ini merupakan kekeliruan pada orangtua ketika menjadikan anak perempuannya
tidak mampu untuk memperoleh nafkah untuk menghidupi dirinya. Tidak ada orang
tua yang memiliki hak (right) untuk
mengusir anak perempuannya dijalanan karena menolak untuk dinikahkan secara peropot.
Maka dari itu problem
solving yang saya coba tawarkan dalam kesempatan ini adalah kita sebagai
generasi penerus (young generation)
dan yang akan menjadi orangtua bagi anak-anak selanjutnya jangan pernah memaksa
anak kita untuk melakukan pernikahan peropot,
apabila pernikahan paksa ini kita tujukan pada anak-anak kita dan kepada kaum
perempuan secara umum sesungguhnya ini adalah kesalahan yang sangat fatal bagi
orangtua masyarakat dan kita semua apabila memaksakan pernikahan kepada kaum
perempuan yang belum menginginkan pernikahan.
Suatu permasalahan memang sulit untuk kita jangkau,
dan apabila pernikahan paksa peropot ini
terjadi, maka bagi kaum perempuan yang menolak pernikahan paksa peropot dan menjadi obyek pengusiran
maka cari pekerjaan yang mampu anda lakukan melalui tangan anda, jangan pernah
melakukan pekerjaan yang merendahkan martabat serta mengais-ngais sampah untuk
mencari sesuatu. Bagi kaum laki-laki, kita dan kaum perempuan semuanya diciptakan
sama oleh sang pencipta, perempuan bukanlah makhluk kedua akan tetapi perempaun
bagian dari kita yang perlu disayangi, dihormati, dihargai dan diberikan
hak-haknya tanpa adanya paksaan baik di ruang publik (public sphere) maupun domestik karena kita memiliki hak yang sama.
Maka dari itu mari kita ciptakan budaya yang ramah terhadap perempuan dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Matur tampiasih
semeton, Mohon di koreksi.
[2]Peropot dalam bahasa sasak bisa diartikan (paksa)
atau pernikahan secara paksa tanpa ada rasa cinta atau mengenal lebih jauh
antara perempuan dan laki (pacaran). Kalau ditarik dalam bahasa Indonesia peropot
ini mirip seperti pernikahan paksa.