Rabu, 15 Oktober 2014





(Al-Qur’an Sebagai Solusi Problema Sosial)
Oleh: MSI (M. Salimudin Ishak)

Tulisan ringkas ini penulis mulai dengan mengutip apa yang ditulis Emile Durkheim dalam teori keagamaannya. Secara sederhana teori keagamaan Emile Durkheim dapat ditransliterasikan dengan; Fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi  individu-individu dalam masyarakat. Selain itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi atau individu tertentu. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritual-ritual itu memberi jaminan akan hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat. Tidak hanya itu, agama juga berfungsi   untuk menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat. (Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life).  Nah, Berdasar atas apa yang ditulis Durkheim tersebut, dapat ditafsiri dengan, bahwa agama dengan segala bentuk pernak-pernik nya memiliki kekuatan yang sangat besar sekaligus dampak dalam perubahan sosial serta memperbarui tatanan kehidupan masyarakat yang lebih kondusif.

Masyarakat Sasak Modern, tentunya telah dan akan terus mengalami perubahan dan tantangan baik dalam sektor keagamaan, pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, pembangunan dan lain sebagainya. Dengan gejala penyakit Modern seperti ingin terlihat kaya, keren, sok nggaya, gengsian, dan sejenisnya, lambat laun akan sangat berdampak pada tatanan kehidupan yang lebih ngawur di masyarakat Sasak pada umumnya. Belum lagi penyakit masyarakat Sasak lama yang tak kunjung usai; adanya perbedaan strata sosial (Kaum Lalu-Lale/Baiq Versus Kaum Batang Kara), masih banyaknya Tuan Guru yang demen poligami dan sejenisnya adalah merupakan tugas dan tantangan bagi pihak akademisi, kepemerintahan yang harus senantiasa berdialog dengan lapisan masyarakat dan agamawan.

Singkatnya, perubahan sosial yang cenderung negatif diatas sesegera mungkin harus dapat dibendung dan diminimalisir. Salah satunya adalah dengan agama (Emile Durkheim). Sampai disini, pernyataan dan pertanyaan yang akan diungkapkan kemudian adalah, masyarakat Sasak adalah masyarakat yang dikenal dengan pulau mayoritas Islam, memiliki ‘ribuan Tuan Guru’ (ini terbukti dengan data-data primer dan julukannya pulau ‘seribu masjid’), pulau ribuan santri (kerena di dalamnya terdapat ratusan pondok pesantren), dan masyarakat yang pola keberagamaannya sama dengan pulau Jawa adalah masyarakat Sasak. Disamping pernyataan yang terkesan ‘mengangkat’ tersebut, pertanyaan yang harus dijawab adalah, mengapa masyarakat yang religiusitasnya tinggi tersebut terlihat masih belum mampu membendung dan stagna dalam menghadapi kehidupan yang primordial-etnosentris nan ngawur.?

Judul yang tertulis diatas, adalah alternatif jawaban yang paling penting dan sangat mendasar dalam kacamata agama. Al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab persoalan masyarakat Arab 15 abad silam pada hakikatnta memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam posisinya sebagai kitab petunjuk, al-Qur’an diyakini tidak akan pernah lekang dan lapuk dimakan zaman. Akan tetapi dalam kenyataannya, teks al-Qur’an seringkali dipahami secara parsial-ideologis sehingga menyebabkannya seolah menjadi teks yang mati dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman yang ada. (Abdul Mustaqim, epistemologi Tafsir Kontemporer).

Dengan demikian, permasalahan yang perlu dituntaskan dalam masalah pemahaman al-Qur’an konteks kemasyarakatan Sasak adalah diperlukannya pemahaman al-Qur’an yang lebih bersifat kontekstual, atau lebih populer dengan Tafsir Kontemporer. Paradigma tafsir kontemporer meniscayakan al-Qur’an untuk harus ditafsirkan seiring dan senafas dengan perubahan, perkembangan serta problem yang dihadapi manusia modern-kontemporer. Sebab produk penafsiran pada hakikatnya merupakan anak zamannya. Ini mengandung arti bahwa, paradigma tafsir era formatif dan afirmatif yang cenderung deduktif-normatif-tekstual perlu diganti dengan paradigma induktif-kritis-kontekstual. Konsekuensinya, akan muncul adanya perubahan, perbedaan dan mungkin kontradiksi antara hasil penafsiran yang menggunakan paradigma baru dengan hasil penafsiran terdahulu yang telah dibukukan dan dibakukan dalam kitab-kitab tafsir terdahulu.

Akan tetapi, produk-produk penafsiran kontemporer tentu saja hanya dapat diterima oleh umat Islam jika ia memang dapat memberikan solusi konkret atas poroblem sosial yang dihadapi oleh umat manusia. Sebab, tujuan penafsiran al-Qur’an pada hakikatnya bukanlah hanya sekedar bertujuan memahami ayat al-Qur’an namun untuk diamalkan dan dijadikan solusi alternatif atas pelbagai permasalahan yang dihadapi umat. Dengan jalan inilah al-Qur’an akan lebih hidup dan lebih sesuai dengan adagium ulama al-Qur’an Sholih likulli zaman wa makan dan al-Qur’an dalam dirinya menyatakan sebagai Rahmatan li l-‘alamin.

Sebagai contoh, diatas penulis sebutkan penyakit lama masyarakat Sasak yang sampai sekarang belum ada obatnya, yakni adanya perbedaan strata atau kelas sosial, maraknya kasus poligami dan lainnya. Bagaimanapun, masalah ini akan terus berlanjut dan menjadi tantangan dalam mengarungi peradaban Lombok ke depan, lebih-lebih hal ini menurut penulis sangat bertentangan dengan nilai universal al-Qur’an atau ideal moral (meminjam bahasa Fazlurrahman) yakni kesetaraan dan keadilan dalam berkehidupan. Tentunya dengan memperhatikan ideal moral al-Qur’an tersebut, maka ke depan masyarakat Sasak akan mengalami mental hidup yang lebih setara, seimbang dan harmonis. Karena semua masyarakat Sasak, baik laki-perempuan, ningrat-rakyat biasa akan selalu hidup berdampingan.

Sebelum tulisan ini ditutup, catatan pinggir yang penulis anggap penting adalah diperlukannya kajian-kajian serius oleh elemen-elemen masyarakat, pemerintahan, lebih-lebih kaum agamawan (Tuan Guru) terkait paradigma bertafsir al-Qur’an. Ini sangat penting, dalam masyarakat Sasak,  sosok Tuan Guru adalah layaknya seorang “Nabi” yang harus di indahkan segala petuah dan tindak-tanduknya. Lalu bagamana Jika Nabi-nya (Tuan Guru) tersbut masih memiliki pemahaman yang sempit/literalis.??. Tafsir yang kritis-kontekstual adalah paradigma tafsir yang saat ini masyarakat butuhkan yakni menafsirkan al-Qur’an seakan-akan al-Qur’an memang turun untuk kalangan masyarakat Sasak. Dengan model seperti inilah akan didapat pemahaman yang lebih komprehensif. Tentunya PR besar ini bukan semata menjadi tugas masyarakat santri dan Tuan gurunya semata, namun semua elemen pemerintah juga ikut bertanggung jawab (misalkan dengan mengatur kurikulum agama dan tafsir di sekolah menengah).

Semoga ke depan, dengan pemahaman al-Qur’an yang lebih ‘ramah’ akan terciptanya masyarakat Sasak yang lebih berwawasan luas dan berperadaban., Wallahu A’lam.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this