(Al-Qur’an Sebagai Solusi Problema
Sosial)
Oleh: MSI (M. Salimudin
Ishak)
Tulisan
ringkas ini penulis mulai dengan mengutip apa yang ditulis Emile Durkheim dalam
teori keagamaannya. Secara sederhana teori keagamaan Emile Durkheim dapat
ditransliterasikan dengan; Fungsi agama sebagai pemersatu masyarakat. Agama
adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Selain
itu, agama juga turut menjawab masalah, persoalan dan kebutuhan hidup pribadi
atau individu tertentu. Melalui upacara keagamaan, individu dapat membangun
hubungan yang khusus dengan Yang Ilahi. Ritual-ritual itu memberi jaminan akan
hidup, kebebasan dan tanggung jawab atas nilai-nilai moral dalam masyarakat.
Tidak hanya itu, agama juga berfungsi
untuk menjalankan dan menegakkan serta memperkuat perasaan dan ide
kolektif yang menjadi ciri persatuan masyarakat. (Emile Durkheim, The
Elementary Forms of The Religious Life).
Nah, Berdasar atas apa yang ditulis Durkheim tersebut, dapat ditafsiri
dengan, bahwa agama dengan segala bentuk pernak-pernik nya memiliki
kekuatan yang sangat besar sekaligus dampak dalam perubahan sosial serta memperbarui
tatanan kehidupan masyarakat yang lebih kondusif.
Masyarakat
Sasak Modern, tentunya telah dan akan terus mengalami perubahan dan tantangan
baik dalam sektor keagamaan, pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, pembangunan
dan lain sebagainya. Dengan gejala penyakit Modern seperti ingin terlihat kaya,
keren, sok nggaya, gengsian, dan sejenisnya, lambat laun akan
sangat berdampak pada tatanan kehidupan yang lebih ngawur di masyarakat
Sasak pada umumnya. Belum lagi penyakit masyarakat Sasak lama yang tak kunjung
usai; adanya perbedaan strata sosial (Kaum Lalu-Lale/Baiq Versus Kaum Batang
Kara), masih banyaknya Tuan Guru yang demen poligami dan sejenisnya adalah
merupakan tugas dan tantangan bagi pihak akademisi, kepemerintahan yang harus
senantiasa berdialog dengan lapisan masyarakat dan agamawan.
Singkatnya,
perubahan sosial yang cenderung negatif diatas sesegera mungkin harus
dapat dibendung dan diminimalisir. Salah satunya adalah dengan agama (Emile
Durkheim). Sampai disini, pernyataan dan pertanyaan yang akan diungkapkan
kemudian adalah, masyarakat Sasak adalah masyarakat yang dikenal dengan pulau
mayoritas Islam, memiliki ‘ribuan Tuan Guru’ (ini terbukti dengan data-data
primer dan julukannya pulau ‘seribu masjid’), pulau ribuan santri (kerena di
dalamnya terdapat ratusan pondok pesantren), dan masyarakat yang pola
keberagamaannya sama dengan pulau Jawa adalah masyarakat Sasak. Disamping
pernyataan yang terkesan ‘mengangkat’ tersebut, pertanyaan yang harus dijawab
adalah, mengapa masyarakat yang religiusitasnya tinggi tersebut terlihat masih
belum mampu membendung dan stagna dalam menghadapi kehidupan yang primordial-etnosentris
nan ngawur.?
Judul
yang tertulis diatas, adalah alternatif jawaban yang paling penting dan sangat
mendasar dalam kacamata agama. Al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab
persoalan masyarakat Arab 15 abad silam pada hakikatnta memuat ajaran moral universal
bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam posisinya sebagai kitab petunjuk,
al-Qur’an diyakini tidak akan pernah lekang dan lapuk dimakan zaman. Akan
tetapi dalam kenyataannya, teks al-Qur’an seringkali dipahami secara
parsial-ideologis sehingga menyebabkannya seolah menjadi teks yang mati dan tak
lagi relevan dengan perkembangan zaman yang ada. (Abdul Mustaqim, epistemologi
Tafsir Kontemporer).
Dengan
demikian, permasalahan yang perlu dituntaskan dalam masalah pemahaman al-Qur’an
konteks kemasyarakatan Sasak adalah diperlukannya pemahaman al-Qur’an yang
lebih bersifat kontekstual, atau lebih populer dengan Tafsir Kontemporer. Paradigma
tafsir kontemporer meniscayakan al-Qur’an untuk harus ditafsirkan seiring dan
senafas dengan perubahan, perkembangan serta problem yang dihadapi manusia
modern-kontemporer. Sebab produk penafsiran pada hakikatnya merupakan anak
zamannya. Ini mengandung arti bahwa, paradigma tafsir era formatif dan
afirmatif yang cenderung deduktif-normatif-tekstual perlu diganti dengan
paradigma induktif-kritis-kontekstual. Konsekuensinya, akan muncul adanya
perubahan, perbedaan dan mungkin kontradiksi antara hasil penafsiran yang
menggunakan paradigma baru dengan hasil penafsiran terdahulu yang telah
dibukukan dan dibakukan dalam kitab-kitab tafsir terdahulu.
Akan
tetapi, produk-produk penafsiran kontemporer tentu saja hanya dapat diterima
oleh umat Islam jika ia memang dapat memberikan solusi konkret atas poroblem
sosial yang dihadapi oleh umat manusia. Sebab, tujuan penafsiran al-Qur’an pada
hakikatnya bukanlah hanya sekedar bertujuan memahami ayat al-Qur’an namun untuk
diamalkan dan dijadikan solusi alternatif atas pelbagai permasalahan yang
dihadapi umat. Dengan jalan inilah al-Qur’an akan lebih hidup dan lebih sesuai
dengan adagium ulama al-Qur’an Sholih likulli zaman wa makan dan
al-Qur’an dalam dirinya menyatakan sebagai Rahmatan li l-‘alamin.
Sebagai
contoh, diatas penulis sebutkan penyakit lama masyarakat Sasak yang sampai
sekarang belum ada obatnya, yakni adanya perbedaan strata atau kelas sosial, maraknya
kasus poligami dan lainnya. Bagaimanapun, masalah ini akan terus berlanjut dan
menjadi tantangan dalam mengarungi peradaban Lombok ke depan, lebih-lebih hal
ini menurut penulis sangat bertentangan dengan nilai universal al-Qur’an atau ideal
moral (meminjam bahasa Fazlurrahman) yakni kesetaraan dan keadilan dalam berkehidupan.
Tentunya dengan memperhatikan ideal moral al-Qur’an tersebut, maka ke
depan masyarakat Sasak akan mengalami mental hidup yang lebih setara, seimbang
dan harmonis. Karena semua masyarakat Sasak, baik laki-perempuan, ningrat-rakyat
biasa akan selalu hidup berdampingan.
Sebelum
tulisan ini ditutup, catatan pinggir yang penulis anggap penting adalah diperlukannya
kajian-kajian serius oleh elemen-elemen masyarakat, pemerintahan, lebih-lebih
kaum agamawan (Tuan Guru) terkait paradigma bertafsir al-Qur’an. Ini sangat
penting, dalam masyarakat Sasak, sosok
Tuan Guru adalah layaknya seorang “Nabi” yang harus di indahkan segala petuah dan
tindak-tanduknya. Lalu bagamana Jika Nabi-nya (Tuan Guru) tersbut
masih memiliki pemahaman yang sempit/literalis.??. Tafsir yang kritis-kontekstual
adalah paradigma tafsir yang saat ini masyarakat butuhkan yakni menafsirkan
al-Qur’an seakan-akan al-Qur’an memang turun untuk kalangan masyarakat Sasak.
Dengan model seperti inilah akan didapat pemahaman yang lebih komprehensif. Tentunya
PR besar ini bukan semata menjadi tugas masyarakat santri dan Tuan gurunya semata,
namun semua elemen pemerintah juga ikut bertanggung jawab (misalkan dengan
mengatur kurikulum agama dan tafsir di sekolah menengah).
Semoga
ke depan, dengan pemahaman al-Qur’an yang lebih ‘ramah’ akan terciptanya
masyarakat Sasak yang lebih berwawasan luas dan berperadaban., Wallahu A’lam.