Agama
dan Modernisasi
Agama
adalah salah satu landasan dasar, atau pondasi awal untuk menjalani hidup
sehar-hari, baik dalam menentukan aktivitas-aktivitas yang bermakna dan
bermanfaat. Karena sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermamfaat bagi
orang lain, dan hal ini didasari atas hubungan sesama manusia “social
relationship”. Sedangkan modernisasi secara gambaran umum dan sederhana
adalah bentuk dari perubahan zaman, yang mana dari zaman tradisional menuju
zaman modern. Pada dasarnya, modernisasi menggambarkan akan tatanan sosial yang
lebih baik, memiliki sumber daya manusia yang memadai, dan perubahan paradigma
yang “kolot” menuju paradigma yang global.
Masyarakat
sasak sebagai pelaku utama akan perubahan zaman, tentu saja “mau tidak mau”
harus menyiapkan diri, baik secara fisik maupun mental agar dapat bersaing dan
mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan demikian, hal ini mendasari
dari sebuah pertanyaan saudara Salimuddin (Direktur Berugaq Institute), siapkah
masyarakat Lombok dihadirkan dengan zaman modernisasi? Landasan dasar dari pertanyaan
ini adalah masyarakat sasak adalah masyarakat yang memiliki solidaritas yang
tinggi sebagai identitas sasak selama ini. Hal ini seiring dengan bangunan isu
yang ditawarkan oleh Syukur (Sekjen BI) dalam pembahasan diskusi ke-2 ini;
1. Membaca pengaruh
paradigma modernisasi yang membentuk karekter individualisme masyarakat sasak.
2. Membaca
pengaruh kekuatan kenyakinan “agama” masyarakat sasak yang dibenturkan dengan
doktrin individualisme dalam arus modernisasi.
3. Membaca
kekuatan pengaruh paradigma individualisme dalam menggeser nilai-nilai
tradisional masyarakat sasak.
Tujuan
dari rumusan isu ini adalah untuk membaca kekuatan-kekuatan masyarakat dalam
mempertahankan dan mengembangkan tradisi-tradisi yang selama ini telah
dipertahankan dan merupakan investasi besar leluhur masyarakat yang harus
dilestarikan sebagai warisan tradisi. Selain itu, rumusan isu ini akan
berdampak pada pemahaman generasi “intelektual muda” sebagai pelestari warisan,
dimana generasi muda mampu membaca kekuatan-kekuatan tradisi sebagai warisan,
dan solusi nyata yang dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam menjaga dan
memperkenalkan tradisi yang ada.
Hany
Inta Dewi sebagai salah satu kader perempuan Lombok yang selalu aktif
diberbagai sector dan sedang menempuh jenjang pendidikan S2 di UGM, dengan
konsentrasi Hubungan International; memiliki kekhawatiran terhadap perbedaan
perspektif antara tokoh ‘agama’ dengan tokoh ‘adat’, karena perbedaan
perspektif ini akan melahirkan sebuah perang idiologi dalam memandang
tradisi-tradisi yang ada. Namun Hany menegaskan bahwa; masyarakat Lombok tidak
boleh takut akan modernisasi, karena hal ini akan berdampak pada peningkatan
mutu “keilmuan dan teknologi”. Selain itu, pariwisata budaya Lombok harus
menjadi “isu” bagi berugaq institute, dan dapat berdiskusi dengan tokoh-tokoh
budayawan Lombok, serta dapat bekerjasama dalam membangun pariwisata budaya
yang modern-tradisional.
Kecemasan
dan kekhawatiran terhadap tergesernya tradisi-tradisi masyarakat sasak, juga
disampaikan oleh saudara Nurul Watoni yang sedang melanjutkan kuliahnya di UIN
SUKA, dengan konsentrasi Ilmu Bahasa Arab, bahwa; tradisi masyarakat sasak
adalah warisan yang harus dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh genenasi
muda sasak, jangan sampai nilai-nilai sakral dari tradisi yang ada menjadi
luntur dan tidak bermakna lagi, yang akan disebabkan oleh budaya baru yang
masuk. Oleh karena itu, masyarakat sasak tidak bisa menerima begitu saja budaya
yang masuk dan membuang secara mentah-mentah tradisi yang selama ini mendarah
daging. Semangat gotong royong penting untuk ditingkatkan dalam membangun
kekuatan solidaritas masyarakat sasak. Saudara Basaruin, lebih menekankan
kepada bangunan konsep modernisasi, dengan harapan, bangunan konsep ini menjadi
titik acuan masyarakat Lombok dalam menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan
selama ini.
Selain
kekhawtiran diatas, saudara Suhirman juga merasakan hal yang sama, warisan
tradisi merupakan tanggungjawab pemerintah sebagai pemangku kebijakan,
pemerintah harus memiliki rumusan kebijakan yang pro-tradisi dan teraplikasi
secara nyata ditataran masyarakat. Masyarakat juga harus ikut serta seutuhnya
dalam menjalankan kebijakan pemerintah. Dari segi pendidikan, warisan
pendidikan “muatal lokal” kini telah tereliminasi dan hal ini harus kembali
dirumuskan agar menjadi nilai tersendiri bagi generasi muda sasak. Sedangkan
saudara Irawan lebih kepada bagaimana kreatifitas teologis menjadi nilai
produktif dalam mewacanakan modernisasi, baik secara konteks dan teks. Sebelum
masuk kepada konsep relasi agama dengan modernisasi maka terlebihdahulu
mengenal arti dan sejarah dari agama dan modrenisasi dalam konteks masyarakat sasak, sehingga
dapat dipetakan. Konsekuensinya kita dapat melihat bagaimana sesungguhnya wacana modernisasi
sudah dijalankan oleh para tuan guru sejak dahulu.
Dari
tataran kebijakan dalam menjamin kesejahteraan sosial masyarakat sasak, dan
membangun serta pemusnahan terhadap ketidakberfungsian sosial masyarakat, baik
secara individu maupun kelompok. Berugaq institute memiliki tawaran rill
terhadap keberadaan tradisi yang selama ini menjadi warisan, tawaran tersebut
adalah; pemerintah, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten, bekerjasama
untuk membuat kebijakan tentang “PASAR TRADISIONAL MASYARAKAT SASAK”,
dimana pasar ini melibatkan seluruh unsur tradisi dan hasil karya masyarakat
sasak, dengan konsep “pameran tradisi dan hasil karya sasak” dan tujuan untuk
memperlihatkan secara nasional dan international. Dampak dari hal ini, akan
dirasakan oleh masyarakat sasak sendiri secara utuh, dimana peningkatan ekonomi
dan nilai jual yang tinggi akan hasil karya masyarakat sasak.
Dan
inilah hasil diskusi berugaq institute yang ke-2, dimana kondisi dan wacana
diskusi ke-2 ini memiliki nilai lebih tersendiri ketika membaca tentang “agama
dan modernisasi”. Dengan proses diskusi yang pro-kontra terhadap wacana yang
ditawarkan, namun dapat terselesaikan dengan arif dan bijaksana.
“Berugaq
Institute mengucapkan banyak terima kasih kepada para pengurus atas wacana dan
ide dalam diskusi yang ke-2 ini, dan para pembaca sebagai penikmat dan
pemerhati serta sebagai pengkritik atas apa yang Berugaq Institute suguhkan”
Tertanda;
Direktur
Berugaq Institute Sekjen
Berugaq Institute
Salimuddin.
S.Th.I Syukur.
S.Sos.I