Kamis, 13 November 2014

NALAR POLITIK LOKAL, PILRES 2014

Posted by Unknown On 17.02 | No comments
(image:bayituo.blogspot.com)

Oleh; Agus Dedi Putrawan[1]

Dua poros besar, Jokowi dan Jusuf Kalla vs Prabowo dan Hatta menjadi berita terhangat di tahun 2014. Bagaimana tidak, duet ini menujukan bahwa putra terbaik bangsa telah masuk ke dalam nominasi bursa capres dan cawapres secara seleksi alami. Dua poros besar ini kini memenangkan dirinya dalam pembentukan gerbong koalisi besar.  klaim-klaim masa, suku dan suara oleh personal dan partai politik dengan luas wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Jumlah populasi terbesar adalah pulau Jawa yang kira-kira 136 juta jiwa atau 54,7 % terpusat di Jawa. maka ada sebuah argumen menyatakan “siapa yang memenangkan pulau Jawa, maka ia akan memenangkan Indonesia”.
Menurut masyarakat Jawa, terdapat empat karakter kekuasaan yaitu Kere kencono (bersinar), Brahmono Rojo (Brahmana: kasta tertinggi), Ratugun Binatoro (Ratu yang mengagungkan fatwa-fatwa petuah-petuah suci), Durjono Rojo (Durjana). Empat tipologi pemimpin ini menjadi kriteria yang menggambarkan bagaimana masyarakat jawa mengkasifikasi setiap calon pemimpin negara maupun menjelaskan pemimpin yang sudah pernah dan sedang bertahta. Selain itu masyarakat Jawa juga mempercayai ramalan Joyo Boyo yang sering kita dengar dengan istilah “NOTONEGORO”.
Lantas, siapa Jaya Baya atau Joyo Boyo itu?
Joyoboyo adalah seorang raja dari kerajaan kediri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Parakrama Uttungkadewa adalah gelar yang diberikan ketika itu. Ia merupakan keturunan langsung Prabu Airlangga penguasa tertinggi kerajaan Kahuripan yang memerintah pada tahun 1019-1042. Raja Joyo Boyo ketika memerintah kerajaan kediri membawa kerajaan itu pada masa keemasan di mana ia berhasil menyatukan kerajaan Jenggala dengan kerajaan Kediri. Kemenangannya atas Jenggala itupun disimbolkan dengan kemenangan Pandawa atas Korawa atau Kakawin Bharatayuddha yang semat oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada tahun 1157.
Ramalan Joyo Boyo yang paling terkenal adalah “Notonegoro” istilah ini lahir sebagai ramalan siapa saja yang akan memimpin Nusantara. Notonegoro bukanlah sebuah nama namun merupakan simbolisasi penamaan bagi pemimpin nasional (presiden). “No” adalah simbolisasi dari Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno adalah Satrio Kinunjoro Murbowiseso. “To” adalah  simbolisasi dari Soeharto, presiden ke dua Republik Indonesia. Ia adalah Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar. “Ne” adalah simbolisasi dari Habibie (Ne berarti di penguasa dari luar Jawa) presiden ke tiga Republik Indonesia. Ia adalah Satrio Jinumput Semelo Atur Gawe Wirang. “Go” adalah simbolisasi dari Gus Dur dan Megawati Sukarnoputri mereka adalah presiden ke empat dan ke lima Republik Indonesia. (huruf U  pada GUS berarti O, menjadi “Go”, kemudian kata Ga dalam Mega  sama dengan Mego berarti menggunakan “Go”), Gus Dur adalah Satrio Lelono Topo Ngrame Wuto, sedangkan megawati adalah Satrio Piningit Hamung Tuwuh. “No” adalah simbolisasi dari Susilo Bambang Yudoyo “No” (SBY), kembali ke urutan pertama. Ia adalah presiden ke enam Republik Indonesia. SBY adalah Satrio Pinilih Hamboyong Pambukaning Gapuro Nggelar Nganglenggahi. Pemimpin yang belum hadir yang terakhir adalah kata “Ro” simbolisasi dari penamaan presiden berikutnya. Ia adalah Satrio Pinanditho yaitu seorang kesatria yang mendapat wisdum atau kebijaksanaan di atas rata-rata manusia normal.               
Dikotomi Jawa dan luar Jawa juga menjadi indikator seseorang hendak mencalonkan diri menjadi presiden, sebab dalam sejarahnya kerajaan-kerajaan besar berpusat di Jawa. Dikotomi itu sampai kepada pemilihan presiden era Bung Karno dan M. Hatta, Pertemuan Nahdatul Ulama (NU) dalam Kiai Khos membahas siapa yang berhak memimpin Indonesia. Semua ulama kala itu sepakat bahwa keilmuan  M. Hatta melebihi Bung Karno baik Spiritual maupun Intelektualnya, di samping itu juga pendapat M Hatta tidak pernah bertentangan dengan pendapat para Ulama, berbeda dengan Bung Karno yang sering melakukan konvrontasi dengan Ulama. Akan tetapi 10 dari 11 Ulama memilih Bung Karno atas pertimbangan Sosio Historis yang dikarenakan M. Hatta bukan berasal dari Jawa maka yang dipilih menjadi presiden adalah Bung Karno.
Inilah nalar politik lokal masyarakat Jawa yang barang siapa memenangkan dirinya di Jawa, maka dia yang akan menduduki kursi kepresidenan. Ada hal menarik dari kontestasi 2014 ini, di mana nalar politik lokal masyarakat Jawa menjadi salah satu indikator dari indikator-indikator lainya yang digunakan konstituen dalam pemilihan 9 Juli nanti. Berbagai penelitian-penelitian sosiologis, antropologi telah dilakukan. Dari penelitian tersebut dapat dilihat dari hasil berbagai survei.  Kecendrungan kontituen mempertimbangkan masalah misalnya: kiai, santri VS abangan, militer VS sipil, Jawa VS Luar Jawa, Islam VS Non Islam, peragu VS tegas. Nah, silahkan anda petakan dari kedua poros besar ini antara Prabowo VS Jokowi. Di mana kedua poros ini masing-masing mempunyai potensi yang kecendrungan konstituen mereka meletakkan pilihan kepada salah satu calon.   Misalnya mayoritas masyarakat Indonesia akan memilih calon yang ber-agama Islam ketimbang memilih yang non Islam yang secara otomatis mengantarkannya meraih kemenagan. Kemudian silahkan petakan kiai, santri dan abangan, Jawa dan non Jawa, sipil dan militer, peragu dan tegas. Yang pada ujungnya anda akan bisa menyimpulkan sementara hasil pemilihan presiden 2014 ini.
Lalu bagaimana nalar politik lokal suku Sasak?





[1] Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Program Hukum Islam, Jurusan Study Politik dan Pemerintahan dalam Islam. 

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this