(image:bayituo.blogspot.com)
Oleh;
Agus Dedi Putrawan[1]
Dua
poros besar, Jokowi dan Jusuf Kalla vs Prabowo dan Hatta menjadi berita
terhangat di tahun 2014. Bagaimana tidak, duet ini menujukan bahwa putra
terbaik bangsa telah masuk ke dalam nominasi bursa capres dan cawapres secara
seleksi alami. Dua poros besar ini kini memenangkan dirinya dalam pembentukan
gerbong koalisi besar. klaim-klaim masa,
suku dan suara oleh personal dan partai politik dengan luas wilayah Indonesia dari
Sabang hingga Merauke. Jumlah populasi terbesar adalah pulau Jawa yang
kira-kira 136 juta jiwa atau 54,7 % terpusat di Jawa. maka ada sebuah argumen
menyatakan “siapa yang memenangkan pulau
Jawa, maka ia akan memenangkan Indonesia”.
Menurut
masyarakat Jawa, terdapat empat karakter kekuasaan yaitu Kere kencono (bersinar), Brahmono
Rojo (Brahmana: kasta tertinggi), Ratugun
Binatoro (Ratu yang mengagungkan fatwa-fatwa petuah-petuah suci), Durjono Rojo (Durjana). Empat tipologi
pemimpin ini menjadi kriteria yang menggambarkan bagaimana masyarakat jawa
mengkasifikasi setiap calon pemimpin negara maupun menjelaskan pemimpin yang
sudah pernah dan sedang bertahta. Selain itu masyarakat Jawa juga mempercayai
ramalan Joyo Boyo yang sering kita dengar dengan istilah “NOTONEGORO”.
Lantas,
siapa Jaya Baya atau Joyo Boyo itu?
Joyoboyo
adalah seorang raja dari kerajaan kediri yang memerintah sekitar tahun
1135-1157. Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya Parakrama Uttungkadewa adalah gelar yang diberikan ketika itu. Ia
merupakan keturunan langsung Prabu Airlangga penguasa tertinggi kerajaan Kahuripan
yang memerintah pada tahun 1019-1042. Raja Joyo Boyo ketika memerintah kerajaan
kediri membawa kerajaan itu pada masa keemasan di mana ia berhasil menyatukan
kerajaan Jenggala dengan kerajaan Kediri. Kemenangannya atas Jenggala itupun
disimbolkan dengan kemenangan Pandawa atas Korawa atau Kakawin Bharatayuddha yang
semat oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada tahun 1157.
Ramalan
Joyo Boyo yang paling terkenal adalah “Notonegoro”
istilah ini lahir sebagai ramalan siapa saja yang akan memimpin Nusantara.
Notonegoro bukanlah sebuah nama namun merupakan simbolisasi penamaan bagi
pemimpin nasional (presiden). “No” adalah simbolisasi dari Soekarno, presiden
pertama Republik Indonesia. Soekarno adalah Satrio Kinunjoro Murbowiseso. “To”
adalah simbolisasi dari Soeharto,
presiden ke dua Republik Indonesia. Ia adalah Satrio Mukti Wibowo Kesandung
Kesampar. “Ne” adalah simbolisasi dari Habibie (Ne berarti di penguasa dari
luar Jawa) presiden ke tiga Republik Indonesia. Ia adalah Satrio Jinumput
Semelo Atur Gawe Wirang. “Go” adalah simbolisasi dari Gus Dur dan Megawati
Sukarnoputri mereka adalah presiden ke empat dan ke lima Republik Indonesia.
(huruf U pada GUS berarti O, menjadi
“Go”, kemudian kata Ga dalam Mega sama
dengan Mego berarti menggunakan “Go”), Gus Dur adalah Satrio Lelono Topo Ngrame
Wuto, sedangkan megawati adalah Satrio Piningit Hamung Tuwuh. “No” adalah
simbolisasi dari Susilo Bambang Yudoyo “No” (SBY), kembali ke urutan pertama.
Ia adalah presiden ke enam Republik Indonesia. SBY adalah Satrio Pinilih
Hamboyong Pambukaning Gapuro Nggelar Nganglenggahi. Pemimpin yang belum hadir
yang terakhir adalah kata “Ro” simbolisasi dari penamaan presiden berikutnya.
Ia adalah Satrio Pinanditho yaitu seorang kesatria yang mendapat wisdum atau
kebijaksanaan di atas rata-rata manusia normal.
Dikotomi
Jawa dan luar Jawa juga menjadi indikator seseorang hendak mencalonkan diri
menjadi presiden, sebab dalam sejarahnya kerajaan-kerajaan besar berpusat di Jawa.
Dikotomi itu sampai kepada pemilihan presiden era Bung Karno dan M. Hatta, Pertemuan
Nahdatul Ulama (NU) dalam Kiai Khos membahas siapa yang berhak memimpin
Indonesia. Semua ulama kala itu sepakat bahwa keilmuan M. Hatta melebihi Bung Karno baik Spiritual
maupun Intelektualnya, di samping itu juga pendapat M Hatta tidak pernah
bertentangan dengan pendapat para Ulama, berbeda dengan Bung Karno yang sering
melakukan konvrontasi dengan Ulama. Akan tetapi 10 dari 11 Ulama memilih Bung
Karno atas pertimbangan Sosio Historis yang dikarenakan M. Hatta bukan berasal
dari Jawa maka yang dipilih menjadi presiden adalah Bung Karno.
Inilah
nalar politik lokal masyarakat Jawa yang barang siapa memenangkan dirinya di
Jawa, maka dia yang akan menduduki kursi kepresidenan. Ada hal menarik dari
kontestasi 2014 ini, di mana nalar politik lokal masyarakat Jawa menjadi salah
satu indikator dari indikator-indikator lainya yang digunakan konstituen dalam
pemilihan 9 Juli nanti. Berbagai penelitian-penelitian sosiologis, antropologi
telah dilakukan. Dari penelitian tersebut dapat dilihat dari hasil berbagai
survei. Kecendrungan kontituen
mempertimbangkan masalah misalnya: kiai, santri VS abangan, militer VS sipil,
Jawa VS Luar Jawa, Islam VS Non Islam, peragu VS tegas. Nah, silahkan anda
petakan dari kedua poros besar ini antara Prabowo VS Jokowi. Di mana kedua
poros ini masing-masing mempunyai potensi yang kecendrungan konstituen mereka
meletakkan pilihan kepada salah satu calon.
Misalnya mayoritas masyarakat Indonesia akan memilih calon yang
ber-agama Islam ketimbang memilih yang non Islam yang secara otomatis
mengantarkannya meraih kemenagan. Kemudian silahkan petakan kiai, santri dan
abangan, Jawa dan non Jawa, sipil dan militer, peragu dan tegas. Yang pada ujungnya
anda akan bisa menyimpulkan sementara hasil pemilihan presiden 2014 ini.
Lalu
bagaimana nalar politik lokal suku Sasak?
[1] Mahasiswa Pasca Sarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Program Hukum Islam, Jurusan Study Politik dan
Pemerintahan dalam Islam.