Oleh: Agus Dedi Putrawan
Dalam sejarah berdirinya Republik
ini, pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), terdapat dua kubu (Founding Father) yang berdebat habis-habisan
tentang bentuk negara dalam Undang-Undang Dasar. Pada saat itu ada yang
mengusulkan bentuk negara kesatuan, di saat yang sama juga mengusulkan bentuk
negara federal. Mohammad Hatta adalah salah satu dari anggota BPUPKI yang
mendukung bentuk negara federal. Melalui sistem voting pilihan jatuh ke bentuk negara
kesatuan sebab hanya 17% anggota BPUPKI yang mendukung bentuk negara federal
dan 83% lainnya memilih bentuk negara kesatuan. Lahirlah pasal 1 ayat 1 yang
berbunyi “ negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik.
Refleksi sejarah di atas
memberikan kita gambaran bagaimana para Founding
Fathers kita dalam
pembentukan republik ini mengalami pergolakan pemikiran yang begitu hebat di
masa lalu. Negara kesatuan, ingin menyatukan daerah-daerah berjauhan yang dulu
terdapat kerajaan-kerajaan bersatu dalam bingkai “senasip seperjuangan” menjadi
keIndonesiaan. Bentuk negara federal, melihat karena sulitnya mengatur suatu
negara bahari yang letaknya berjauhan.
Dalam sejarahnya cerita-cerita
tentang kerajaan nusantara dibagi menjadi dua tipe kerajaan, kerajaan maritim
dan kerajaan agraris. Kerajaan maritim menjalankan birokrasinya dengan tujuan
melayani perdagangan-perdagangan baik dalam kawasan nusantara maupun
internasional, sedangkan kerajaan agraris menjalankan birokrasinya dengan
konsep produksi pangan, raja mejadi pemilik segalanya (patrimonial) termasuk tanah
dan budak.
Kerajaan-kerajaan di Lombok
mengisahkan dua tipe birokrasi kerajaan di atas (agraris dan maritim), disebut
agraris karena menjelang dan pasca abad ke 16 Lombok dikenal sebagai lumbung
padi, disebut maritim karena sejak saat itu (abad ke 16) maupun sebelumnya
kerajaan-kerajaan di Lombok menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di luar
(Majapahit Jawa, Kesultanan Gowa Makasar, Karang Asem Bali, Belanda dan
Jepang).