Kamis, 28 Mei 2015


Oleh: Hany Inta Dewi

Tatas Tuhu, dan Trasna adalah semboyan dari kabupaten Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi NTB, Indonesia. Ibu kota daerah ini ialah Praya. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.208,39 km² dengan populasi sebanyak 860.209 jiwa. Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi 82° 7' - 8° 30' Lintang Selatan dan 116° 10' - 116° 30' Bujur Timur, membujur mulai dari kaki Gunung Rinjani di sebelah Utara hingga ke pesisir pantai Kuta di sebelah Selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada disekitarnya. Secara topografi wilayah Lombok Tengah yang membujur dari utara ke selatan tersebut mempunyai letak dan ketinggian yang bervariasi mulai dari nol (0) hingga 2000 meter dari permukaan laut. Secara garis besar topografi masih mirip dengan kabupaten lain di pulau Lombok.[1] Berdasarkan klasifikasi Schmid dan Ferguson, Kabupaten Lombok Tengah memiliki iklim D dan iklim E, yaitu hujan tropis dengan musim kemarau kering. Mungkin hal tersebut yang membentuk sebagian besar karakter masyarakat Lombok Tengah adalah keras. Namun bagi penulis hal tersebut tidak semuanya benar, ada sisi lain juga yang berperan dan menyebabkan kondisi sosial di Lombok Tengah sering terjadi chaos, perang, yang terkadang disebabkan oleh hal-hal sepele yang pada dasarnya bisa diselesikan dengan musyawarah. Al tersebut bagi penulis dikarenakan oleh tidak teraktualisasikannya nilai-nilai luhur Tatas, Tuhu, dan Trasna sebagai semboyan hidup masyarakat sasak Lombok Tengah.
Hal tersebut terbukti ketika muncul pertanyaan mengenai apa makna dari Tatas, Tuhu, dan Transa?, dan mirisnya tak banyak orang yang tahu mengenai semboyan ini termasuk masyarakat asli Lombok Tengah itu sendiri baik dari kalangan masyarakat biasa sampai mahasiswa. Siapa yang salah dalam hal ini apakah karena pemerintah tidak pernah mensosialisasikan makna ini atau masyarakat lombok tengah yang memang tidak mau tahu tentang makna lambang ini. Wallahuallam bissawaf.
Penulis tidak terlalu ingin memperdebatkan pada tataran siapa yang salah siapa yang benar atau siapa yang patut disalahkan dan siapa yang patut dikatakan benar. Penulis lebih tertarik untuk mengulas semboyan tersebut satu persatu dan apa saja dampak dari tidak diaktualisasikannya semboyan tersebut di masyarakat sasak Lombok Tengah, serta bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai luhur dan luar biasa tersebut.
Pertama, Tatas-Ilmu (Ber-Ilmu), menurut Einstein “Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Apakah ilmu itu ? Ilmu (science) merupakan kumpulan pengetahuan (knowledge) yang mempunyai cirri-ciri tertentu. Tujuan ilmu untuk mengerti mengapa hal itu terjadi. John G. Kemeny, 1959. H 85 mengatakan “Ilmu dimulai dari fakta dan diakhiri dengan fakta”.[2] Secara terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi, yaitu: Menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, dan determinasi yaitu menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Sehingga hakekat ilmu ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan. Tujuan utama kegiatan keilmuan adalah mencari pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum, kaidah, asas dan sebaginya. Jadi ilmu merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk memperadab dirinya yang mengahasilkan kebenaran. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dan kesejahteraan bersama.
Kedua, Tuhu-Akhlak (Ber-Akhlak), menurut Imam Ghazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat bathin, di mana, dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya. Pertanyaannya, mengapa demikian ?.  Bahwa konsep baik dan buruk menurut ilmu Akhlak berasal dari kata kholaqo yang artinya penciptaan, maka nilai kebaikan dari akhlak basisnya adalah dari nilai kebaikan universal, yakni sifat-sifat kebaikan yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Baik. Oleh karena itu sumber utama nilai akhlak adalah wahyu.
Ketiga, Trasna-Ber-Etika-Ber-Masyarakat, dengan modal kebudayaan etika, yang diberi sinar-Nur (cahaya) wahyu, maka kehidupan masyarakat yang diharapkan adalah dengan hipotesys “Jika hati (qalb) nya baik (nuraniyyun-sesuatu yang bersifat cahaya), maka perilakunya juga baik”. Sehingga pemimpin sejati yang perlu dibangun adalah  berani mengatakan kebenaran adalah kebenaran
,memimpin dengan hati, karena hati 70 x lebih benar dari keberan dari hasil otak kita,  memiliki moralitas yang baik, dalam kepemimpinan tim / bersama,  mengenali diri sendiri dalam meraih mimpi / visi, dan peduli pada diri sendiri dan orang lain serta dilakukan dengan  sempurna.
            Pertanyaan selanjutnya pun muncul yaitu mengenai mengapa kita perlu membumikan nila-nilai Tatas, Tuhu, dan Trasna?. Penulis menganalogikan ketidaktahuan masyarakat lombok tengah mengenai apa itu makna tatas, tuhu, dan trasna ibarat seseorang yang tak mengetahui rumahnya sendiri meskipun dia tinggal bertahun-tahun bahkan berabad-abad di rumah tersebut, dan dia tidak pernah bisa membedakan mana kamar tidur, mana kamar mandi, dan mana dapur. Sehingga terkadang dia mandi di kamar tidur, makan di kamar mandi, dan tidur di dapur. Bayangkan betapa kacaunya kehidupan ketika hal tersebut terjadi. Hal tersebutlah yang kerap terjadi di masyarakat sasak Lombok Tengah terhadap kondisi sosial, dan budaya. hal tersebut dikarenakan tidak memahami apa yang menjadi tujuan bersama yang perlu diperjuangkan dan menjadi prioritas di atas segalanya yang dimana hal tersebut sudah terpatri didalam semboyan/moto/visi dari Lombok Tengah itu sendiri yaitu Tatas, Tuhu, dan Trasna.
            Maka dari itu diperlukannya sinergi yang berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan kaum intelektual/ think tank[3] untuk bersinergi satu sama lain dalam megaktulisasikan nilai-nilai tersebut. Tidak hanya untuk disosialisasikan akan tetapi diwujudkan dalam bentuk tindakan yang nyata yang dimana para pemimpin Lombok Tengah harus memulai untuk mencotohkan sudah terpatrinya nilai-nilai tersebut dalam bersikap, bertutur kata dan memimpin. Kemudian para tokoh adat dan agama lebih sering mewasukkan pembahasan mengenai nila-nilai luhru tersebut kedalam khotbah jum’at dan para tokoh adat di aktualisasikan di dalam sangkep-sangkep besar atau kecil bagi para tokoh adat sasak di Lombok Tengah [4]. Selanjutnya dikalangan makasiswa khususnya mahasiswa Lombok Tengah selaku sebagai kaum cendikia harus sering memasukkan nilai-nilai luhur tersebut di dalam wacana-wacana diskusi, baik diskusi di tataran komunitas atau tataran yang lebih luas. Sehingga ketika nilai-nilai tersebut bisa terealisasikan, teraktualisasikan, dan tertanam dalam diri masyarakat lombok tengah di setiap aktor seperti individu, komunitas, dan pemimpin maka tidak menutup kemunkinan cita-cita besar yang diinginkan oleh para Founding Father yaitu lombok tengah yang Tatas, Tuhu, dan Trasna akan menjadi kenyataan dan bukan hanya sekedar retorika belaka.


[1] Dinas Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2001. Di akses pada tanggal 19 Mei 2015
[2] John G. Kemeny, A Philosopher Lokks at Science, New York: Van Nostrand, 1959.
[3] Think tank adalah para kaum cendikia/pemikir/mahasiswa. Peter Haas di dalam jurnalnya yang berjudul “Epistemic Community” menyebutnya para Epistemic Community yang artinya suatu kelompok intelektual yang bekumpul untuk membahas tentang suatu masalah secara scientific tanpa ada intervensi dari kelompok lain, dalam artian kelompok ini adalah kelompok netral.
[4] Sangkep adalah sebutan  musyawarah bagi masyarakat sasak.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Populer Post Berugaq Institute

SELAMAT DATANG DI BLOG BERUGAQ INSTITUTE "SELAMAT MENIKMATI DAN TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG" KARENA KUNJUNGAN ANDA SANGAT BERHARGA

Fanspage Berugaq Institute

Pengunjung BI Online


Get this