Oleh: Hany Inta Dewi
Tatas Tuhu, dan Trasna adalah semboyan dari kabupaten Kabupaten Lombok
Tengah, Provinsi NTB, Indonesia. Ibu kota daerah ini ialah Praya.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.208,39 km² dengan populasi sebanyak
860.209 jiwa. Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi 82° 7' - 8° 30'
Lintang Selatan dan 116° 10' - 116° 30' Bujur Timur, membujur mulai dari kaki Gunung
Rinjani di sebelah Utara hingga ke pesisir pantai Kuta
di sebelah Selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada disekitarnya. Secara
topografi wilayah Lombok Tengah yang membujur dari utara ke selatan tersebut
mempunyai letak dan ketinggian yang bervariasi mulai dari nol (0) hingga 2000
meter dari permukaan laut. Secara garis besar topografi masih mirip dengan
kabupaten lain di pulau Lombok.[1]
Berdasarkan klasifikasi Schmid dan Ferguson,
Kabupaten Lombok Tengah memiliki iklim D dan iklim E, yaitu hujan tropis dengan musim
kemarau kering. Mungkin hal tersebut yang membentuk sebagian besar karakter
masyarakat Lombok Tengah adalah keras. Namun bagi penulis hal tersebut tidak
semuanya benar, ada sisi lain juga yang berperan dan menyebabkan kondisi sosial
di Lombok Tengah sering terjadi chaos, perang, yang terkadang disebabkan oleh
hal-hal sepele yang pada dasarnya bisa diselesikan dengan musyawarah. Al
tersebut bagi penulis dikarenakan oleh tidak teraktualisasikannya nilai-nilai
luhur Tatas, Tuhu, dan Trasna sebagai semboyan hidup masyarakat sasak Lombok
Tengah.
Hal tersebut terbukti ketika muncul pertanyaan mengenai apa
makna dari Tatas, Tuhu, dan Transa?, dan mirisnya tak banyak orang yang tahu
mengenai semboyan ini termasuk masyarakat asli Lombok Tengah itu sendiri baik
dari kalangan masyarakat biasa sampai mahasiswa. Siapa yang salah dalam hal ini
apakah karena pemerintah tidak pernah mensosialisasikan makna ini atau
masyarakat lombok tengah yang memang tidak mau tahu tentang makna lambang ini.
Wallahuallam bissawaf.
Penulis tidak terlalu ingin memperdebatkan pada tataran siapa
yang salah siapa yang benar atau siapa yang patut disalahkan dan siapa yang
patut dikatakan benar. Penulis lebih tertarik untuk mengulas semboyan tersebut satu
persatu dan apa saja dampak dari tidak diaktualisasikannya semboyan tersebut di
masyarakat sasak Lombok Tengah, serta bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai
luhur dan luar biasa tersebut.
Pertama, Tatas-Ilmu (Ber-Ilmu), menurut Einstein “Ilmu tanpa
agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Apakah ilmu itu ? Ilmu
(science) merupakan kumpulan pengetahuan (knowledge) yang mempunyai cirri-ciri
tertentu. Tujuan ilmu untuk mengerti mengapa hal itu terjadi. John G. Kemeny,
1959. H 85 mengatakan “Ilmu dimulai dari fakta dan diakhiri dengan fakta”.[2] Secara terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi, yaitu: Menganggap
obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, bahwa suatu benda
tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu, dan determinasi yaitu
menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan.
Sehingga hakekat ilmu ditentukan oleh cara berfikir yang dilakukan menurut
persyaratan keilmuan. Tujuan utama kegiatan keilmuan adalah mencari pengetahuan
yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum, kaidah, asas dan sebaginya. Jadi
ilmu merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk memperadab dirinya
yang mengahasilkan kebenaran. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dan kesejahteraan bersama.
Kedua, Tuhu-Akhlak (Ber-Akhlak), menurut Imam Ghazali,
akhlak adalah keadaan yang bersifat bathin, di mana, dari sana lahir perbuatan
dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya. Pertanyaannya, mengapa
demikian ?. Bahwa konsep baik dan buruk
menurut ilmu Akhlak berasal dari kata kholaqo yang artinya penciptaan, maka
nilai kebaikan dari akhlak basisnya adalah dari nilai kebaikan universal, yakni
sifat-sifat kebaikan yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Baik. Oleh karena itu sumber
utama nilai akhlak adalah wahyu.
Ketiga, Trasna-Ber-Etika-Ber-Masyarakat, dengan modal
kebudayaan etika, yang diberi sinar-Nur (cahaya) wahyu, maka kehidupan
masyarakat yang diharapkan adalah dengan hipotesys “Jika hati (qalb) nya baik
(nuraniyyun-sesuatu yang bersifat cahaya), maka perilakunya juga baik”. Sehingga pemimpin sejati yang perlu dibangun adalah berani mengatakan kebenaran adalah kebenaran
,memimpin dengan hati, karena hati 70 x
lebih benar dari keberan dari hasil otak kita,
memiliki moralitas yang baik,
dalam kepemimpinan tim / bersama,
mengenali diri sendiri dalam
meraih mimpi / visi,
dan peduli pada diri sendiri dan orang lain serta dilakukan
dengan sempurna.
Pertanyaan selanjutnya pun muncul
yaitu mengenai mengapa kita perlu membumikan nila-nilai Tatas, Tuhu, dan Trasna?.
Penulis menganalogikan ketidaktahuan masyarakat lombok tengah mengenai apa itu
makna tatas, tuhu, dan trasna ibarat seseorang yang tak mengetahui rumahnya
sendiri meskipun dia tinggal bertahun-tahun bahkan berabad-abad di rumah
tersebut, dan dia tidak pernah bisa membedakan mana kamar tidur, mana kamar
mandi, dan mana dapur. Sehingga terkadang dia mandi di kamar tidur, makan di
kamar mandi, dan tidur di dapur. Bayangkan betapa kacaunya kehidupan ketika hal
tersebut terjadi. Hal tersebutlah yang kerap terjadi di masyarakat sasak Lombok
Tengah terhadap kondisi sosial, dan budaya. hal tersebut dikarenakan tidak
memahami apa yang menjadi tujuan bersama yang perlu diperjuangkan dan menjadi
prioritas di atas segalanya yang dimana hal tersebut sudah terpatri didalam
semboyan/moto/visi dari Lombok Tengah itu sendiri yaitu Tatas, Tuhu, dan Trasna.
Maka dari itu diperlukannya sinergi
yang berkelanjutan antara pemerintah, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan
kaum intelektual/ think tank[3] untuk bersinergi
satu sama lain dalam megaktulisasikan nilai-nilai tersebut. Tidak hanya untuk
disosialisasikan akan tetapi diwujudkan dalam bentuk tindakan yang nyata yang
dimana para pemimpin Lombok Tengah harus memulai untuk mencotohkan sudah
terpatrinya nilai-nilai tersebut dalam bersikap, bertutur kata dan memimpin. Kemudian
para tokoh adat dan agama lebih sering mewasukkan pembahasan mengenai
nila-nilai luhru tersebut kedalam khotbah jum’at dan para tokoh adat di
aktualisasikan di dalam sangkep-sangkep besar atau kecil bagi para tokoh adat
sasak di Lombok Tengah [4]. Selanjutnya
dikalangan makasiswa khususnya mahasiswa Lombok Tengah selaku sebagai kaum
cendikia harus sering memasukkan nilai-nilai luhur tersebut di dalam
wacana-wacana diskusi, baik diskusi di tataran komunitas atau tataran yang
lebih luas. Sehingga ketika nilai-nilai tersebut bisa terealisasikan,
teraktualisasikan, dan tertanam dalam diri masyarakat lombok tengah di setiap
aktor seperti individu, komunitas, dan pemimpin maka tidak menutup kemunkinan
cita-cita besar yang diinginkan oleh para Founding
Father yaitu lombok tengah yang Tatas, Tuhu, dan Trasna akan menjadi
kenyataan dan bukan hanya sekedar retorika belaka.
[1] Dinas
Pertanahan Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2001. Di akses pada tanggal 19 Mei
2015
[2] John G. Kemeny, A Philosopher
Lokks at Science, New York: Van Nostrand, 1959.
[3] Think tank adalah para
kaum cendikia/pemikir/mahasiswa. Peter Haas di dalam jurnalnya yang berjudul “Epistemic Community” menyebutnya para Epistemic Community yang artinya suatu
kelompok intelektual yang bekumpul untuk membahas tentang suatu masalah secara
scientific tanpa ada intervensi dari kelompok lain, dalam artian kelompok ini
adalah kelompok netral.
[4] Sangkep adalah sebutan musyawarah bagi masyarakat sasak.